Makanlah Yang Halal !
ETOS KERJA |
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah.” (Qs. Al-Baqarah: 172)
Islam Menghalalkan yang Baik
Konsep Islam dalam permasalahan ini sama dengan permasalahan lainnya, bahwa Islam itu mudah dan lengkap, serta senantiasa menjaga keselamatan jiwa, badan, dan akal manusia. Islam menghalalkan yang baik untuk jiwa, badan dan akal, sebaliknya mengharamkan yang buruk dan merusak, sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al Baqarah: 168)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah.” (Qs. Al-Baqarah: 172)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan dalam kitab Taurat dan Injil tentang salah satu ciri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan segala yang buruk, sebagaimana firman-Nya:
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (Qs. Al A’raf:157)
Demikianlah Islam melarang semua makanan yang merusak badan dan akal manusia atau dapat membunuhnya, seperti racun dan narkoba dan ini dijelaskan dalam firmanNya:
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.“ (Qs. An Nisaa: 29-30)
Rezki Yang Berkah
Secara ilmu bahasa, “al-barakah” berarti “Berkembang, bertambah dan
kebahagiaan.” ((Al-Misbah al-Munir
oleh al-Faiyyumy 1/45, al-Qamus al-Muhith
oleh al-Fairuz Abadi 2/1236, dan Lisanul Arab oleh
Ibnu Manzhur 10/395)).
Imam an-Nawawi berkata, “Asal makna
keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.”[1].
Adapun bila ditinjau melalui
dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka “al-barakah”
memiliki makna dan perwujudan yang tidak jauh berbeda dari makna “al-barakah” dalam ilmu bahasa.
Untuk sedikit mengetahui tentang
keberkahan yang dikisahkan dalam al-Quran, dan as-Sunnah, maka saya mengajak
hadirin untuk bersama-sama merenungkan beberapa dalil berikut:
Dalil Pertama
(وَنَزَّلْنَا
مِنَ السَّمَاء مَاء
مُّبَارَكًا فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ
وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ
لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ {10} رِزْقًا لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتًا كَذَلِكَ
الْخُرُوجُ (ق: 9-11
“Dan Kami turunkan dari langit
air yang diberkahi (banyak membawa kemanfaatan), lalu Kami tumbuhkan dengan air
itu taman-taman dan biji-biji tanaman yang diketam. Dan pohon kurma yang
tingi-tinggi yang memiliki mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki
bagi hamba-hamba (kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati
(kering). Demikianlah terjadinya kebangkitan.” (Qs. Qaaf: 9-11).
Bila keberkahan telah menyertai
hujan yang turun dari langit, tanah gersang, kering keronta menjadi subur
makmur, kemudian muncullah taman-taman indah, buah-buahan dan biji-bijian yang
melimpah ruah. Sehingga negeri yang dikaruniai Allah dengan hujan yang berkah,
menjadi negeri gemah ripah loh jinawi (kata orang jawa)
atau
(بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (سبأ: 15
“(Negerimu adalah) negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (Qs. Saba’:
15).
Demikianlah Allah Ta’ala menyimpulkan kisah bangsa Saba’, suatu
negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shaleh, penuh dengan
keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, bahwa dahulu wanita
kaum Saba’ tidak perlu untuk memanen buah-buahan kebun mereka. Untuk mengambil
hasil kebunnya, mereka cukup membawa keranjang di atas kepalanya, lalu melintas
dikebunnya, maka buah-buahan yang telah masak dan berjatuhan sudah dapat
memenuhi keranjangnya, tanpa harus bersusah-payah memetik atau mendatangkan
pekerja yang memanennya.
Sebagian ulama lain juga
menyebutkan, bahwa dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau
serangga lainnya, yang demikian itu berkat udaranya yang bagus, cuacanya yang
bersih, dan berkat kerahmatan Allah yang senantiasa meliputi mereka[2].
Dalil Kedua
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan
tentang berbagai kejadian yang mendahului kebangkitan hari Kiamat, beliau
bersabda,
يقال للأرض: أنبتي ثمرتك وردي بركتك، فيومئذ تأكل العصابة من الرمانة، ويستظلون بقحفها، ويبارك في الرِّسْلِ، حتى إن اللقحة من الإبل لتكفي
الفئام من الناس، واللقحة من البقر لتكفي القبيلة من الناس، واللقحة من الغنم لتكفي الفخذ من
الناس. رواه مسلم
“Akan diperintahkan (oleh
Allah) kepada bumi: tumbuhkanlah buah-buahanmu, dan kembalikan keberkahanmu,
maka pada masa itu, sekelompok orang akan merasa cukup (menjadi kenyang) dengan
memakan satu buah delima, dan mereka dapat berteduh dibawah kulitnya. Dan air
susu diberkahi, sampai-sampai sekali peras seekor unta dapat mencukupi banyak
orang, dan sekali peras susu seekor sapi dapat mencukupi manusia satu kabilah,
dan sekali peras, susu seekor domba dapat mencukupi satu cabang kabilah.”
(HR. Imam Muslim).
Demikianlah ketika rezeki diberkahi
Allah, sehingga rezeki yang sedikit jumlahnya, akan tetapi kemanfaatannya
sangat banyak, sampai-sampai satu buah delima dapat mengenyangkan segerombol
orang, dan susu hasil perasan seekor sapi dapat mencukupi kebutuhan orang satu kabilah.
Ibnu Qayyim berkata, “Tidaklah kelapangan rezeki dan amalan diukur dengan
jumlahnya yang banyak, tidaklah panjang umur dilihat dari bulan dan tahunnya
yang berjumlah banyak. Akan tetapi, kelapangan rezeki dan umur diukur dengan
keberkahannya.”[3].
Bila ada yang berkata, “Itukan
kelak tatkala Kiamat telah dekat, sehingga tidak mengherankan, karena saat itu
banyak terjadi kejadian yang luar biasa, sehingga apa yang disebutkan pada
hadits ini adalah sebagian dari hal-hal tersebut.”
Ucapan ini tidak sepenuhnya benar,
sebab hal yang serupa -walau tidak sebesar yang disebutkan pada hadits ini-
juga pernah terjadi sebelum zaman kita, yaitu pada masa-masa keemasan umat
Islam.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh, dahulu
biji-bijian, baik gandum atau lainnya lebih besar dibanding yang ada sekarang,
sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu-pen) lebih
banyak. Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah
ditemukan di gudang sebagian khalifah Bani Umawiyyah sekantung gandum yang
biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya: ‘Ini
adalah gandum hasil panen masa keadilan ditegakkan.’” ((Zaadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim, 4 / 363 dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal, 2/296)).
Seusai kita membaca hadits dan
keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas, kemudian kita berusaha mencocokkannya
dengan diri kita, niscaya yang kita dapatkan adalah kebalikannya, yaitu makanan
yang semestinya mencukupi beberapa orang tidak cukup untuk mengenyangkan satu
orang, berbiji-biji buah delima hanya mencukupi satu orang.
Dalil Ketiga
عن عُرْوَةَ بن أبي الجعد البارقي
رضي الله عنه أَنَّ النبي صلّى الله عليه وسلّم أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي له بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى له
بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا
بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا له بِالْبَرَكَةِ
في بَيْعِهِ.
وكان لو اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فيه. رواه البخاري
“Dari sahabat Urwah bin Abil
Ja’id al Bariqy radhillahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memberinya uang satu dinar agar ia membelikan seekor kambing untuk
beliau, maka sahabat Urwah dengan uang itu membeli dua ekor kambing, lalu
menjual salah satunya seharga satu dinar. Dan iapun datang menghadap Nabi
dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing. Kemudian Nabi mendoakannya
agar mendapatkan keberkahan dalam perniagaannya. Sehingga andaikata ia membeli
debu, niscaya ia akan mendapatkan keuntungan padanya.” (HR.
al-Bukhary).
Demikianlah sedikit gambaran
tentang peranan keberkahan pada usaha, penghasilan, dan kehidupan manusia, yang
digambarkan dalam al-Quran dan al-Hadits.
Di sisi lain, agama Islam sangat
menganjurkan dan menekankan keutamaan berusaha mencari rezki yang halal untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
secara khusus menyebutkan keutamaan ini dalam sabda beliau r:إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal)” [6].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh mencari usaha yang halal dan bahwa usaha mencari rezki yang paling utama adalah usaha yang dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri[7].
Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal, bahkan ketidakmauan melakukan usaha yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Ta’ala, yang ini justru menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah.
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan tawakal yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang halal, dalam sabda beliau,
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”[8].
Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta’ala (semata).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).
Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata: “Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung”[9].
Imam Ibnu Rajab memaparkan hal ini secara lebih jelas dalam ucapannya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya merealisasikan tawakal tidaklah bertentangan dengan usaha untuk (melakukan) sebab yang dengannya Allah Ta’ala menakdirkan ketentuan-ketentuan (di alam semesta), dan (ini merupakan) ketetapan-Nya yang berlaku pada semua makhluk-Nya. Karena Allah Ta’ala memerintahkan (kepada manusia) untuk melakukan sebab (usaha) sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertawakal (kepada-Nya), maka usaha untuk melakukan sebab (yang halal) dengan anggota badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya, sebagaimana bertawakal kepada-Nya dengan hati adalah (perwujudan) iman kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ}
“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu” (QS an-Nisaa’:71).
Dan firman-Nya,
{وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ}
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang” (QS al-Anfaal:60).
Juga firman-Nya,
{فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu’ah:10) [10].
Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari[11]: “Barangsiapa yang mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekwensi) iman, dan barangsiapa yang mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”[12].
Pintu Rezki
Pertama: bertakwa kepada Allah SWT.
Allah SWT menjadikan takwa termasuk
diantara sebab yang mendatangkan rezki dan menambahkanya, Dia berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً . وَيَرْزُقْهُ مِنْ
حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
“ Barang siapa bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezki
dari arah yang tidak ia duga“ ( QS: Ath-Thalak: 2-3). Maka barang siapa yang
bertakwa kepada Allah dan senantiasa berada dalam keridloanya dalam seluruh
kondisinya, maka Dia akan memberinya balasan di dunia dan akhirat, dan diantara
balasan-Nya adalah: Dia menjadikan baginya jalan keluar dan solusi dari segala kesulitan
dan kesusahan, serta memberinya rezki dari arah yang tidak diduga dan disadari.
Ibnu katsir mengatakan: “ maksud
ayat di atas adalah: barang siapa bertakwa kepada-Nya dengan menjalankan apa
yang Dia perintahkan, meninggalkan apa yang Dia larang, niscaya Dia akan
memberikan jalan keluar dari permasalahanya dan mengkaruniakan rezki dari arah
yang tidak ia duga atau tidak terlintas dalam benaknya“.
Ibnu Abas r.a. mengatakan: “ Barang
siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya,
yaitu dengan melepaskanya dari kesulitan di dunia dan akhirat, dan memberinya
rezki dari arah yang tidak ia duga, yakni arah yang tidak pernah ia harapkan
atau ia angan-angankan.
Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا
كَانُوا يَكْسِبُون
Imam As-Sa’di mengatakan: “ Kalau
sekiranya penduduk negeri beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar yang
dibuktikan dengan amal perbuatan, menggunakan ketakwaan mereka kepada Allah
secara zahir maupun batin dengan meninggalkan segala yang diharamkan, niscaya
Allah SWT akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit maupun
bumi, Dia akan menurunkan hujan deras bagi mereka, menumbuhkan segala yang
dibutuhkan mereka dalam hidup dan dibutuhkan hewan-hewan mereka, sehingga
mereka berada dalam kehidupan yang makmur dan penuh dengan rezki, tanpa
merasakan keletihan dan kesusahan“.
Kedua: Istigfar dan taubat
Diantara sebab-sebab yang
mendatangkan rezki adalah istigfar dan taubat, Allah SWT berfirman seraya
mengabarkan tentang Nuh as, bahwasanya ia berkata kepada kaumnya:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ
إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً (11) وَيُمْدِدْكُمْ
بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَاراً
“ Maka aku berkata (kepada
mereka),“ mohonlah ampunan kepada tuhanmu, sungguh Dia maha pengampun, niscaya
dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak
harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan
sungai-sungai untukmu“. (QS: Nuh: 10-12).
Imam Qurtubi mengatakan: “ Di dalam
ayat ini dan di dalam surat Hud terdapat dalil yang menunjukan bahwa istigfar
menjadi sarana untuk meminta turunnya rezki dan hujan“.
Ibnu Katsir mengatakan:“ yakni jika
kalian bertaubat kepada-Nya, beristigfar dan mentaati perintah-Nya, niscaya Dia
akan memperbanyak rezki untuk kalian, menurunkan hujan dari keberkahan langit,
menumbuhkan tumbuhan dari keberkahan bumi, menghidupkan tanaman, memperbanyak
susu hewan-hewan perahan kalian dan menyokong kalian dengan harta dan
keturunan, menjadikan untuk kalian kebun-kebun yang di dalamnya terdapat
beraneka ragam buah-buahan serta mengalirkan sungai-sungai di dalamnya“.
Akan tetapi apa gerangan takwa yang
Allah SWT jadikan sebab bagi datangnya rezki, dan mengabarkan bahwa Dia akan
memberi pelakunya rezki dari arah yang tidak terduga?
Takwa adalah anda membuat pelindung
dan penghalang antara diri anda dan apa yang membahayakan anda, yaitu
menjalankan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Dia larang, Dia
tidak mendapatkanmu sedang menjalankan larangan-Nya, dan tidak pula kehilanganmu
saat datang perintah-Nya, Syi’armu adalah perintah dan larangan-Nya. Begitulah
ungkapan para salafusalih dalam mendefinisikan dan menjelaskan makna takwa.
Ibnu mas’ud mendefinisikan takwa,
ia mengatakan: “ Hendaklah Allah SWT ditaati tidak di maksiati, diingat tidak
dilupakan, dan disyukuri tidak dikufuri“.
Ibnu abas r.a. mengatakan: ” Orang
yang bertakwa adalah orang yang senantiasa menghindarkan dirinya dari siksa
Allah akibat meninggalkan petunjuk-Nya, serta mengharap rahmat-Nya dalam
beriman kepada apa yang Dia turunkan.
Talq bin Habib mengatakan: “ Takwa
adalah anda melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari-Nya seraya
mengharap pahala-Nya, dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya diatas cahaya
dari-Nya seraya takut akan siksanya “.
Abu Hurairah pernah ditanya tentang
takwa, maka ia mengatakan: “ Apakah kamu pernah melewati jalan yang dipenuhi
duri?, dijawab: ya, ia berkata: apa yang kamu lakukan?, dijawab: jika aku
melihat duri aku menghindarinya atau melangkahinya, atau meninggalkanya, abu
Hurairah berkata: itulah takwa“. Itulah makna yang dikatakan Ibnu Al-Mu’tamir:
Ketiga: Tawakal kepada Allah SWT.
Dan diantara sebab yang
mendatangkan rezki adalah: tawakal kepada Allah SWT, Allah berfirman:
" وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ
بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً " (الطلاق:3)
“ Dan memberinya rezki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu.” (At-Talak: 3). Maka barang siapa hatinya senantiasa
terkait dengan Allah SWT dalam usaha memperoleh manfaat dan menolak madharat,
menyerahkan semua urusan kepada-Nya, niscaya Allah SWT akan menghilangkan
darinya apa yang menggelisahkanya dan sirnalah apa yang menyusahkanya dan Dia
memberinya rezki dari arah yang sempit atas manusia.
Dan Nabi saw bersabda:
" لو
أنكم توكلون على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير، تغدو خماصاً، وتروح بطانا
" رواه أحمد والترمذي وصححه الألباني
“ Kalau sekiranya kalian bertawakal
kepada Allah SWT dengan tawakal yang sebenarnya, niscaya Dia akan member kalian
rezki yang sebagaimana Dia memberi rezki kepada burung yang pergi di waktu pagi
dengan perut kosong dan pulang di waktu sore dalam keadaan kenyang” ( HR: Ahmad
dan Tirmizi, disahihkan oleh Al-Bani).
Ibnu Rajab mengatakan: ” Hadits di
atas adalah landasan dalam masalah tawakal, ia (tawakal) adalah termasuk sarana
yang teragung yang dapat menjadi sebab diturunkanya rezki.” Para salaf
mengatakan: “ Bertawakalah, niscaya akan digiring kepadamu berbagai rezki
dengan tanpa beban dan keletihan.”
Keempat: Silaturahim
Dan diantara sebab-sebab yang
mendatangkan rezki juga adalah silaturahim, banyak hadits yang menunjukan itu,
diantaranya:
عن أبي هريرة قال: سمعت رسول الله يقول: ((مَنْ سَرَّه أن يبسط
له في رزقه، وأن ينسأ له في أثره؛ فليصل رحمه )) (رواه البخاري)
“ Dari Abu Hurairah semoga Allah
meridhoinya, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “ Barangsiapa
ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menjalin
silaturahim” ( HR: bukhari).
وعن أنس بن مالك أن رسول الله قال: (( مَن أَحب أن يُبسط له
في رزقه، وينسأ له في أثره؛ فليصل رحمه)) (رواه البخاري)
“ Dan dari Anas bin Malik semoga
Allah meridhoinya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa ingin
diluaskan rezkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menjalin
silaturahim” (HR: Bukhari).
Kelima: Infak di jalan Allah SWT.
Banyak dalil dari kitab maupun
sunah menunjukan bahwa infak di jalan Allah SWT termasuk diantara sebab yang
dapat mendatangkan rezki, diantaranya firman Allah:
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ
يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ
خَيْرُ الرَّازِقِينَ (سبأ:39).
“ Katakanlah: “ sesungguhnya
Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara
hamba-hamba-nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendakinya)”, dan barang
apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi
rezki yang sebaik-baiknya. (QS: Saba’: 39).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلا
تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267) الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ
يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلاً وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (البقرة:267، 268).
“ Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.“ (QS: Al-Baqarah:
267-268).
Ibnu Abas mengatakan: “ Dua perkara
dari Allah dan dua dari setan,“ Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan“ seraya mengatakan: Jangan kamu infakan hartamu, biarkan ia menumpuk
karena kamu akan membutuhkanya, “ Dan menyuruh kamu berbuat kejahatan“. “
Sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya“ atas
kemaksiatan-kemaksiatan itu,“ Dan karunia“ dalam rezki “. Ampunan adalah
perlindungan atas hamba-hamba-Nya di dunia dan di akhirat, sedang karunia adalah
keluasan rezki di dunia dan di akhirat serta kenikmatan di akhirat.
Keenam: Mengerjakan haji dan umrah
secara berurutan.
Mengerjakan haji dan umrah secara
berurutan termasuk diantara sebab yang mendatangkan keluasan rezki dan
kemudahan urusan, dari Ibnu Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
" تابعوا
بين الحج والعمرة، فإنهما ينفيان الفقر والذنبوب كما ينفي الكير خبث الحديد
والذهب والفضة، وليس للحجة المبرورة ثواب إلا الجنة " (رواه الترمذي والنسائي وصححه
الألباني )
“ Laksanakanlah haji dan umroh
secara beriringan, karena ia dapat menghapus kefakiran dan dosa sebagaimana api
melenyapkan karatan besi, emas dan perak, dan tidak ada balasan atas haji
mabrur melainkan surga.”( HR: Tirmizi dan Nasa’I, dan disahihkan Imam Al-Bani).
Ketujuh: Berbuat baik kepada orang
lemah.
Nabi saw menjelaskan bahwa Allah
SWT memberi rezki kepada hamba-hamba-Nya dan menolong mereka disebabkan
kebaikan mereka kepada orang-orang lemah, dari Mus’ab bin Sa’ad r.a. berkata:
Saad r.a. melihat bahwa dirinya memiliki kelebihan atas orang lain( orang
lemah), maka Rasulullah saw bersabda:
" هل
تنصرون وترزقون إلا بضعفائكم " (رواه البخاري)
“ Kalian tidaklah mendapat
pertolongan dan rezki melainkan disebabkan oleh orang-orang lemah diantara
kalian“ (HR: Bukhari).
Kedelapan: Totalitas dalam ibadah.
عن أبي هريرة عن النبي قال: إن الله تعالى يقول: يا ابن آدم، تفرغ لعبادتي أملاً صدرك غنى، واسد فقرك، وإن لا تفعل ملأت يدك
شغلاً، ولم أسد فقرك " (رواه الترمذي وابن ماجه وصححه الألباني)
“ Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi
saw, ia bersabda,“ Sesungguhnya Allah SWT berfirman,“ Wahai anak Adam,
totalitaslah dalam beribadah, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan
dan menutup kefakiranmu, dan jika kamu tidak melakukanya, maka Aku akan
memenuhi tanganmu dengan kesibukan dan menutup kefakiranmu.“ (HR: Tirmizi dan
Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Bani).
Kesembilan: Hijrah dijalan Allah
SWT.
Allah SWT berfirman:
" وَمَنْ
يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً
" (النساء:100)
“ Barang siapa hijrah di jalan
Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas, dan
rezki yang banyak.“ ( QS: An-Nisa‘: 100).
Ibnu Abbas dan ulama lainya
mengatakan:“ وَسَعَةً” artinya; keluasan rezki. Imam Qatadah mengatakan: maknanya
adalah; keluasan dari kesesatan kepada petunjuk, dan dari kefakiran kepada
kekayaan.
Kesepuluh: Jihad di jalan Allah.
Sabda Rasul saw:
" وجُعل
رزقي تحت ظل رمحي " (رواه أحمد)
“ Dan dijadikan rezkiku dari bawah
tombaku” ( HR: Ahmad).
Kesebelas: Bersyukur kepada Allah
SWT.
Allah SWT berfirman:
" وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"
“ Dan ( ingatlah juga), tatkalah
Tuhanmu mema’lumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatku), maka azabku sangat
pedih.” (QS: Ibrahim: 7). Allah SWT mengaitkan bertambahnya rezki dengan
bersyukur, dan bertambahnya rezki tidak ada habisnya. Umar bin abdul Aziz
berkata: “ Mereka mengaitkan Datangnya nikmat Allah dengan bersyukur
kepada-Nya, Syukur adalah syarat datangnya kenikmatan dan sebab bertambahnya
rezki.
Kedua belas: Nikah
Allah SWT berfirman:
" وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ "
“ Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.“ ( QS:
An-Nur: 32). Umar bin Khatab pernah mengatakan: “ Orang yang enggan mencari
kekayaan melalui nikah itu aneh, padahal Allah SWT mengatakan:
" إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ "
“Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui.“
Kedua belas: Berlindung kepada
Allah saat mengalami kemiskinan.
Rasulullah saw bersabda:
" من
نزلت به فاقةٌ فأنزلها بالناس لم تسد فاقته، ومن نزلت به فاقة فأنزلها بالله فيوشك
الله له برزق عاجل أو آجل " (رواه الترمذي وصححه الألباني)
“ Barang siapa menderita kefakiran
lalu berlindung kepada manusia, maka itu tidak akan menutup kefakiranya, dan
barang siapa mengalami kefakiran, lalu ia berlindung kepada Allah SWT, maka
Allah akan memberinya rezki dengan segera atau tertunda.“ ( HR: Tirmizi,
disahihkan Al-Albani).
Keempat belas: Meninggalkan maksiat
dan istiqamah di jalan agama Allah dan menjalankan ketaatan.
Makna Tawakkal yang HakikiImam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah (semata)”[2].
Tawakkal adalah termasuk amal yang agung dan kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam, bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakal kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
{رَبَّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلا}
“(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung” (QS al-Muzzammil:9)[3].
Tawakkal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menumbuhkan dalam hati seorang mukmin perasaan ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[15].
Islam Mewajibkan Kerja
Tidak sebagaimana ajaran beberapa agama, Islam memberikan ruang yang demikian luas dan menilai penting semua kerja yang produk¬tif. Kristen misalnya, menganggap kerja sebagai hukuman Tuhan yang ditimpakan pada manusia karena adanya dosa asal (original sin) yang dilakukan oleh Adam. Kerja keras untuk hidup tidak dianjurkan karena sangat bertentangan dengan kepercayaan terhadap Tuhan. [1] Manusia ideal menurut kepercayaan Hindu, adalah melakukan dis-asosiasi (pemutusan hubun¬gan) dengan segala aktivititas sosial serta semua kenikmatan apapun, dalam rangka mencapai kemanunggalan dengan Tuhan. [2] Sementara, pandangan Islam terhadap kerja (amal) bisa dilihat diantaranya dari ayat-ayat Al-Qur'an berikut ini :
"Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan¬Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (At-Taubah: 105)
"Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan baik maka (hasilnya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (balasannya) untuk dirinya sendiri, dan sekali-kali Tuhanmu tidaklah me¬nganiaya hamba-hamba (Nya)." (Fushshilat: 46).
"Tak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, ber¬zikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat." (Al-Baqarah : 198). [3]
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan pernia¬gaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan jangan¬lah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya adalah Allah Maha Penya¬yang kepadamu."
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar dan menuju kepadanya dan mereka tinggal¬kan kamu sedang berdiri (berkhotbah). "Katakanlah apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan?” dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi rizki." (Al-Jumu' ah : 10-11).
"Dan tiap-tiap orang memperoleh hasil (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (Al-An' aam : 132).
Islam menetapkan kerja (amal) sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dirinya. Bukan hanya sebatas itu, Islam juga telah mengangkat kerja (amal) pada level ”Wajib” dengan menyebutkan kerja (amal) itu secara konsisten sebanyak 50 kali yang digandengkan dengan iman, alladzina amanu wa 'amilu al-shalihat. [5] Karena adanya pene¬kanan terhadap amal (kerja) inilah yang membuat Abdul Hadi mengatakan: Al-Islamu 'aqidatu 'amalin wa 'amalu 'aqidatin (Islam adalah ideologi praktis sekaligus praktek ideologi). [6] Ismail Raji Al-Faruqi secara simpatik mengatakan bahwa Islam adalah a religion of actions (agama aksi). Saat menerangkan sikap Islam pada ekonomi dan bisnis, dia menyatakan: ”memenuhi dunia, ruang dan waktu dengan nilai-¬nilai, bukan hanya penting bagi agama namun ini adalah kepentingan agama.” [7]
Hubungan antara iman dan amal (kerja) itu sama dengan hubungan antara akar dan pohon. Yang salah satunya tidak mungkin bisa eksis tanpa adanya yang lain. Islam tidak mengakui bahkan menolak keimanan yang tidak membuahkan amal yang baik. [8] Al-Qur'an dengan tegas menga¬takan bahwasanya jika seorang Muslim selesai melakukan shalat Jumat, sebagai ibadah ritual pekanan, hendaknya dia kembali melakukan aktivitas kerjanya. Dengan kata lain, pekerjaan yang dia lakukan hanya bisa dihentikan dalam waktu sementara pada saat dia melakukan ibadah shalat. [9] Dengan berdasar¬kan perintah ayat Al-Qur'an (62: 10; 19; 93 dan 67: 15) Ibrahim Ath-Thahawi dan Abdul Mun'im Khallaf menyatakan bahwa kerja (amal) adalah sebuah faridhah (kewajiban) dimana setiap orang akan dimintai pertanggungan jawabnya. [10]
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi, [11] dan Allah telah menundukkan semesta ini untuk kepentingan manusia. [12] Sebagai khalifah ia berkewajiban untuk membangun dunia ini dan mengeksplorasi sumber-sumber alamnya dengan cara yang benar dan profesional. Sebagaimana Allah berfirman,
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (Huud : 61).
Berinfaq dan Sedekah
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“D an apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (Qs. Saba': 39).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713).
Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“ Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya.” (HR. Muslim, no. 2588).
Arti “ tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta'ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta'ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata.” (Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim, 16/141 dan Faidhul Qadir, 5/503).
Maka, keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rezeki yang Allah Ta'ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka, walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma” (HR. al-Bukhari, no. 1351 dan Muslim, no. 1016).
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“D an apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (Qs. Saba': 39).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713).
Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“ Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya.” (HR. Muslim, no. 2588).
Arti “ tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta'ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta'ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata.” (Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim, 16/141 dan Faidhul Qadir, 5/503).
Maka, keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rezeki yang Allah Ta'ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Ta'ala. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka, walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma” (HR. al-Bukhari, no. 1351 dan Muslim, no. 1016).
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً . وَيَرْزُقْهُ مِنْ
حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
“ Barang siapa bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezki
dari arah yang tidak ia duga“ ( QS: Ath-Thalak: 2-3).
ABI NAUFAL
Jakarta 3-2-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar