HIDUP Yang Berkah
Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya. (al-A’raf:96)
Makna Barokah
BEKAL IBADAH |
Dalam bahasa Arab, barokah bermakna tetapnya
sesuatu, dan bisa juga bermakna bertambah atau berkembangnya sesuatu.[1] Tabriik adalah mendoakan seseorang
agar mendapatkan keberkahan. Sedangkan tabarruk adalah istilah untuk
meraup berkah atau “ngalap berkah”.
Adapun makna barokah dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah
langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan
bisa bermakna kedua-duanya[2]. Sebagaimana do’a keberkahan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering kita baca saat tasyahud mengandung
dua makna di atas.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maksud
dari ucapan do’a “keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad karena
engkau telah memberi keberkahan kepada keluarga Ibrahim, do’a keberkahan ini
mengandung arti pemberian kebaikan karena apa yang telah diberi pada keluarga
Ibrahim. Maksud keberkahan tersebut adalah langgengnya kebaikan dan
berlipat-lipatnya atau bertambahnya kebaikan. Inilah hakikat barokah”.[3]
Seluruh Keberkahan Berasal dari Allah
Kadang kita salah paham. Yang kita harap-harap adalah kebaikan
dari orang lain, sampai-sampai hati pun bergantung padanya. Mestinya kita tahu
bahwa seluruh kebaikan dan keberkahan asalnya dari Allah. Allah Ta’ala
berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ
تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ
مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ
”Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di
tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26). Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah
segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada
seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah
yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobari
rahimahullah.[4]
Dalam sebuah do’a istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam disebutkan,
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ
“Seluruh kebaikan di tangan-Mu.”
(HR. Muslim no. 771)
Begitu juga dalam beberapa ayat lainnya disebutkan bahwa nikmat
(yang merupakan bagian dari kebaikan) itu juga berasal dari Allah. Dan nikmat
ini sungguh teramat banyak, sangat mustahil seseorang menghitungnya. Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ
اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka
dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
“Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah”
(QS. Ali Imron: 73).
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ
لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah
kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).
Kita telah mengetahui bahwa setiap kebaikan dan nikmat, itu
berasal dari Allah. Inilah yang disebut dengan barokah. Maka ini menunjukkan
bahwa seluruh barokah, berkah atau keberkahan berasal dari Allah semata.[5]
Berbagai Keberkahan yang Halal
Setelah kita mengerti dengan penjelasan di atas, maka untuk meraih
barokah sudah dijelaskan oleh syari’at Islam yang mulia ini. Sehingga jika
seseorang mencari berkah namun di luar apa yang telah dituntunkan oleh Islam,
maka ia berarti telah menempuh jalan yang keliru. Karena ingatlah sekali lagi
bahwa datangnya barokah atau kebaikan hanyalah dari Allah.
Perlu diketahui bahwa keberkahan yang halal bisa ada dalam hal
diniyah dan hal duniawiyah, atau salah satu dari keduanya. Contoh yang mencakup
keberkahan diniyah dan duniawiyah sekaligus adalah keberkahan pada Al Qur’an Al
Karim, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Keberkahan seperti ini juga terdapat pada majelis orang sholih, keberkahan
bulan Ramadhan, keberkahan makan sahur. Keberkahan pada hal diniyah saja
semisal pada tiga masjid yang mulia yaitu masjidil harom, masjid nabawi, dan
masjidil aqsho. Sedangkan keberkahan pada hal duniawiyah seperti keberkahan
pada air hujan, pada tumbuhnya berbagai tumbuhan, keberkahan pada susu dan
hewan ternak.[6]
Ada satu catatan yang perlu diperhatikan. Keberkahan yang halal di
atas kadang diketahui karena ada dalil tegas yang menunjukkannya, kadang pula
dilihat dari dampak, di sisi lain juga dilihat dari kebaikan yang amat banyak
yang diperoleh. Namun untuk keberkahan dalam hal duniawiyah bisa diperoleh jika
digunakan dalam ketaatan pada Allah. Jika digunakan bukan pada ketaatan, itu
bukanlah nikmat, namun hanyalah musibah.[7]
Rasa aman dan terhindar dari bahaya itulah yang sekarang
dibutuhkan negeri ini. Betapa tidak, hampir setiap saat, kita dikagetkan dengan
berbagai macam bencana dan musibah, tak ada ujungnya. Bencana ada di sekitar
kita, lebih-lebih di bulan ini, mulai dari banjir lumpur Warior, tsunami
Mentawai dan gunung Merapi, bahkan gempa bumi setiap hari. Ratusan jiwa
meninggal.
Ayat-ayat di atas menginformasikan syarat meraih keberkahan hidup
dan sekaligus syarat terhindar dari bencana.
“Jikalau sekiranya penduduk suatu
kampung atau negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, …”
Langit bukan menurunkan hujan yang membawa mala petaka banjir
sebagaimana yang terjadi di wilayah Ibu Kota dan sekitarnya pada pekan lalu. Rumah-rumah terendam banjir, macet di mana-mana,
bahkan menyeret korban seorang mahasiswi yang mencoba menghindari banjir malah
terseret air di gorong-gorong terbawa arus air sampai puluhan kilo meter dan
meninggal dunia…
Bumi bukan memuntahkan awan panas yang melelehkan kulit karena
panasnya sampai lebih dari 600 derajat celcius… bumi bukan lari-lari atau
bergoyang atau gempa, yang hari-hari ini terjadi di banyak tempat, di Maluku,
Sulawesi, Lampung, Sumatera…
Laut bukan memuntahkan gelombang setinggi 8 meter yang
menghanyutkan semua yang dilaluinya… tsunami menggulung semua yang
diterjangnya, kecuali masjid tempat bersujud hamab-hamba Allah swt.
Bencana ada di sekitar kita, kebakaran di mana-mana, letusan
tabung gas masih menelan korban… rasa aman tercerabut dari lingkungan kita.
Bencana itu karena sikap manusia yang mendustakan firman-firman
Allah, tidak mempercayai aturan dan syariat Allah dan tidak melaksanakannya. “tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Kehidupan ini ada pada Genggaman Allah swt. Dialah Dzat Pencipta,
Pengatur alam mayapada ini. Dengan sangat mudah Allah swt. menunjukkan kekuatan
dan kekuasaan-Nya. Allah swt. tinggal berucap “Kun! fayakun”. Ketika Allah swt.
sudah menunjukkan kekuatan dan kekuasan-Nya, tidak ada yang dapat menolak dan
menghindarinya. Tidak ada rasa aman dari makar Allah, dari murka dan
bencana-Nya. “Maka Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa
aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka
sedang tidur? sebagaimana yang terjadi di Mentawai…
Atau Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan
siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka
sedang bermain? sebagaimana yang terjadi di Wasior
atau juga yang terjadi di sekitar gunung Merapi –yang bahkan terjadi pada siang
dan malam hari-…
Tidak ada tempat untuk lari dari makar Allah. Manusia dengan
keterbatasan kemampuan yang dimilikinya bahkan teknologi yang dikuasainya tidak
mampu menghindar dari bencana yang terjadi.
Kita dengar dan lihat ketika teknologi manusia mengatakan wilayah
aman dari bencana awan panas merapi berjarak 10KM, kemudian direvisi lagi 15KM…
jarak itupun tidak aman, bahkan puluhan meninggal karena berada di sekitar
diradius itu… terkena awan panas, semua hangus terbakar, binatang, pohon-pohon,
bangunan-bangunan dan semua yang dilewati awan panas. Kemudian direvisi lagi,
jarak aman berada di radius 20KM dari puncak gunung merapi. “Maka
Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang
merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ (30)
“Dаn apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”
Syuro/42:30
( ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ) [الروم: 41]
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
QS. Rum/30:41
(#qèù÷rr&ur ÏôgyèÎ/ «!$# #sÎ) óO?yg»tã wur (#qàÒà)Zs? z`»yJ÷F{$# y÷èt/ $ydÏÅ2öqs? ôs%ur ÞOçFù=yèy_ ©!$# öNà6øn=tæ ¸xÏÿx. 4 ¨bÎ) ©!$# ÞOn=÷èt $tB cqè=yèøÿs? ÇÒÊÈ
Iman, Amanah dan Aman
Selanjutnya umat manusia harus membuktikan iman dan taqwa dengan
sebenarnya. Iman bahwa bahwa dibalik kehidupan ini ada yang mengatur dan
memiliki segalanya. Dialah Allah ‘Azza wa Jalla. Aturan-aturan-Nya harus
diikuti. Hukum alam-Nya harus dijaga. Iman bahwa janji Allah pasti benar.
Kata iman, amanah dan aman adalah
berasal dari satu akar kata dari Bahasa Arab. Iman di atas diimplementasikan
dalam menjalankan amanah yang diembannya. Siapapun kita, apapun profesinya
pasti mengemban amanah ini.
Sebagai seorang ayah dalam keluarga atau sebagai kepala rumah
tangga yang diamanahi anak dan istri hendaknya melaksanakan amanah itu dengan
sejujurnya.
Sebagai profesional atau pekerja, hendaknya melaksanakan amanah
yang dijalaninya dengan sebenarnya.
Sebagai dosen atau mahasiswa atau pelajar, hendaknya menjalankan
amanah keilmuan dengan sejujurnya.
Sebagai public figur hendaknya menggunakan amanah dan titipan
popularitas dengan bertanggungjawab.
Sebagai pegiat media massa, harus menjalankan amanah profesi
dengan jujur dan bertanggungjawab.
Sebagai wakil rakyat harus menggunakan amanah yang diembannya
dengan jujur dan bertanggungjawab, juga sebagai teladan dalam kebaikan.
Sebagai pemimpin, dalam ragam level, mulai dari ketua RT, RW,
lurah, camat, bupati, wali kota, gubenur bahkan presiden sekalipun hendaknya
menjalankan amanah kepemimpinannya dengan serius dan bertanggungjawab, juga
sebagai teladan dalam setiap kebaikan.
Sebagai apapun kita, amanah itu melekat dalam diri kita.
كُلُّكُمْ رَاعٍ ومَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ
رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ ، ومَسْئُولٌ عَنْهُمْ ، وَامْرَأَةُ الرَّجُلِ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُ ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ ،
أَلا كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ .
Rasulullah saw. bersabda: “Setiap
kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang pejabat
yang mengurus rakyatnya adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya.
Laki-laki adalah pemimpin di rumah tangganya, dan ia bertanggungjawab atasnya.
Perempuan atau seorang istri adalah pemelihara di rumah suaminya,
ia dimintai pertanggungjawaban atasnya. Seorang budak adalah penjaga harta
tuannya, ia dimintai tanggungjawab atasnya. Ingatlah setiap kalian adalah
pemimpin, dan setiap kalian dimintai tanggungjawab atas yang dipimpinnya.”
Hadits Sahish riwayat Ibnu Hibban, bab Khilafah dan Imarah, jilid 18, halaman
480.
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. dan tepatilah Perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)
itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu
(terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat” An-Nahl:90-91
Rasulullah saw. bersabda:
“مَا مِنْ
عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ غَاشًّا
لِرَعِيَّتِهِ إِلا حَرَّمَ اللَّهُ
عَلَيْهِ الْجَنَّةَ”
“Tiada seorang hamba yang Allah beri amanah mengurus rakyat, ia
meninggal dalam keadaan menipu terhadap rakyatnya, kecuali Allah haramkan
baginya masuk surga. Muttafaqun alaih
Ketika iman sudah benar, yaitu dengan dijalankannya amanah
masing-masing, maka secara otomatis rasa aman akan mewujud. Allah swt.
berfirman:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ
يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
(82)
82. orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. Al-An’аm:82
Yang kedua adalah taqwa yang sejujurnya, yaitu dengan melaksanakan
perintah-perintah-Nya sesuai dengan kemampuan kita. Sejujur taqwa dengan
meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya, sekecil apapun itu, karena hanya
akan membawa petaka dan mengundang bencana.
Qana’ah dengan karunia Allah
Sifat qana’ah dan lapang dada dengan
pembagian Allah Ta’ala adalah kekayaan yang tidak
ada bandingnya. Dahulu orang berkata,
إذا كنْتَ ذا قَلْبٍ قَنُوعٍ،
فَأَنْتَ وَصَاحِبُ الدُّنْيَا سَوَاء
“Bila engkau memiliki hati yang qana’ah, maka
engkau dan pemilik dunia (kaya raya) adalah sama.”
القناعة كنْزٌ لا يفنى
“Qana’ah adalah harta karun yang tidak akan
pernah sirna.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggambarkan keadaan orang yang dikaruniai sifat qana’ah dengan sabdanya,
(مَنْ
أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِناً فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ
يَومِهِ ؛ فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ
الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا (رواه الترمذي وابن ماجة والطبراني وابن
حبان والبيهقي.
“Barangsiapa dari kalian yang merasa aman di
rumahnya, sehat badannya dan ia memiliki makanan untuk hari itu, maka
seakan-akan telah dikumpulkan untuknya dunia beserta isinya.” (HR.
аt-Tirmidzy, Ibnu Majah, ath-Thabrany, Ibnu Hibban dan al-Baihaqy).
Al-Munawi rahimahullah berkata, “Maksud
hadits ini, barangsiapa yang terkumpul padanya kesehatan badan, jiwanya merasa
aman kemanapun ia pergi, kebutuhan hari tersebut tercukupi dan keluarganya
dalam keadaan selamat, maka sungguh Allah telah mengumpulkan untuknya seluruh
jenis kenikmatan, yang siapapun berhasil menguasai dunia tidaklah akan
mendapatkan kecuali hal tersebut.” (Faidhul Qadir oleh al-Munawi,
9/387).
Dengan jiwa yang dipenuhi dengan qana’ah dan keridhaan dengan segala
rezeki yang Allah turunkan untuknya, maka keberkahan akan dianugerahkan
kepadanya,
إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
يبتلي عَبْدَهُ بِمَا أَعْطَاهُ فَمَنْ رضي بِمَا
قَسَمَ الله عز وجل له بَارَكَ الله له فيه وَوَسَّعَهُ وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ له ولم
يزده على ما كتب له
.رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني
.رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني
“Sesungguhnya Allah yang Mahaluas Karunia-nya
lagi Mahatinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rezeki yang telah Ia
berikan kepadanya. Barang siapa yang ridha dengan pembagian Allah ‘Azza wa
Jalla, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rezeki tersebut untuknya. Dan
barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rezekinya tidak akan
diberkahi.” (HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albany).
Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir menyebutkan, “Bahwa
penyakit ini, (yaitu: tidak puas dengan apa yang telah Allah karuniakan
kepadanya-pen.) telah banyak didapatkan pada pemuja dunia, sehingga engkau
dapatkan salah seorang dari mereka meremehkan rezeki yang telah dikaruniakan
untuknya, merasa hartanya itu sedikit, buruk, serta mengagumi rezeki orang lain
dan menggapnya lebih bagus dan banyak. Oleh karenanya, ia akan senantiasa
banting tulang untuk menambah hartanya, hingga akhirnya habislah umurnya,
sirnalah kekuatannya, dan iapun menjadi tua renta (pikun) akibat dari ambisi
yang tergapai dan rasa letih. Dengan itu ia telah menyiksa tubuhnya,
mengelamkan lembaran amalannya dengan berbagai dosa yang ia lakukan demi
mendapatkan harta kekayaan. Padahal, ia tidaklah akan memperoleh selain apa yang
telah Allah tentukan untuknya. Pada akhir hayatnya ia meninggal dunia dalam
keadaan pailit, ia tidak mensyukuri apa yang telah ia peroleh, dan ia juga
tidak berhasil menggapai apa yang ia inginkan.” (Faidhul Qadir oleh al-Munawi,
2/236).
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa
menjaga kehormatan agama dan dirinya dalam setiap usaha yang ia tempuh guna
mencari rezeki. Sehingga, seorang muslim tidak akan menempuh
melainkan jalan-jalan yang dihalalkan dan dengan tetap menjaga kehormatan
dirinya.
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه قال:
سألت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم فأعطاني، ثم
سألته فأعطاني، ثم سألته فأعطاني، ثم قال: يا حكيم، إن هذا المال خضرة حلوة، فمن أخذه بسخاوة
نفس، بورك له فيه، ومن أخذه بإشراف نفس لم يبارك له فيه، وكالذي يأكل ولا يشبع. اليد العليا خير من اليد السفلى، قال حكيم:
فقلت يا رسول الله، والذي بعثك بالحق لا أرزأ أحدا بعدك شيئا حتى أفارق الدنيا. متفق عليه
Dari sahabat Hakim bin Hizam
radhiallahu ‘anhu, ia mengisahkan, “Pada suatu saat, aku pernah meminta sesuatu
kepada Rasulullah ishallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliaupun memberiku,
kemudian aku kembali meminta kepadanya dan beliau kembali memberiku, kemudian
aku kembali meminta kepadanya dan beliaupun kembali memberiku, kemudian
beliau bersabda, ‘Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini bak buah yang segar lagi
manis, dan barang siapa yang mengambilnya dengan tanpa ambisi (dan tamak atau
atas kerelaan pemiliknya), maka akan diberkahi untuknya harta tersebut. Dan
barang siapa yang mengambilnya dengan penuh rasa ambisi (tamak), niscaya harta
tersebut tidak akan diberkahi untuknya dan ia bagaikan orang yang makan dan
tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang berada di atas lebih mulia
dibanding tangan yang berada di bawah.’ Hakim melanjutkan kisahnya dengan
berkata, ‘Kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Dzat yang telah
mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku tidak akan meminta harta seseorang sepeninggalmu
hingga aku meninggal dunia.’” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Hadits ini menunjukkan, bahwa sifat qana’ah, memeras keringat sendiri
untuk memenuhi kebutuhan, serta menempuh jalan yang baik ketika mencari rezeki
akan senantiasa diiringi dengan keberkahan. Dan bahwa orang yang mencari harta
kekayaan dengan ambisi dan keserakahan, sehingga ia tidak mengumpulkan dengan
cara-cara yang dibenarkan, niscaya harta kekayaannya tidak akan pernah
diberkahi, bahkan akan dihukumi dengan dihalangi dirinya dari kemanfaatan harta
yang telah ia kumpulkan (Syarah Shahih Bukhari oleh Ibnu
Batthal, 3/48).
Pada hadits lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberikan contoh nyata bagi pekerjaan yang terhormat dan tidak merendahkan
martabat diri pelakunya,
وَالَّذِي نَفْسِي بيده لَأَنْ
يَأْخُذَ أحدكم حَبْلَهُ فَيَحْتَطِبَ على ظَهْرِهِ
خَيْرٌ له من أَنْ يَأْتِيَ رَجُلا
فَيَسْأَلَهُ أَعْطَاهُ أو مَنَعَهُ
“Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada di
Tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kamu membawa talinya, kemudian ia
mencari kayu bakar dan memanggulnya di atas punggunya, lebih baik baginya
daripada ia mendatangi orang lain, kemudian meminta-minta kepadanya, baik ia
diberi atau tidak.” (HR. Bukhary).
Pada hadits lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan wujud lain dari penjagaan terhadap kehormatan diri dan agama
seseorang ketika bekerja, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
(مَنْ
طَلَبَ حَقّاً فَلْيَطْلُبْهُ فِي عَفَافٍ وَافٍ أَوْ غَيْرَ وَافٍ (رواه الترمذي
وابن ماجه وابن حبان والحاكم
“Barangsiapa yang menagih haknya, hendaknya ia menagihnya dengan
cara yang terhormat, baik ia berhasil mendapatkannya atau tidak.“
(HR. аt-Tirmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan mengadakan beginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari
arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya, Allah (berkuasa untuk)
melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya, Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap urusan.” (Qs. аt-Thalaq: 2-3).
Pada ayat lain, Allah Ta’ala
berfirman,
$yJ¯RÎ) crßç7÷ès? `ÏB Èbrß «!$# $YZ»rO÷rr& cqà)è=ørBur %¸3øùÎ) 4 cÎ) tûïÏ%©!$# crßç7÷ès? `ÏB Èbrß «!$# w cqä3Î=ôJt öNä3s9 $]%øÍ (#qäótGö/$$sù yZÏã «!$# XøÎh9$# çnrßç6ôã$#ur (#ráä3ô©$#ur ÿ¼ã&s! ( Ïmøs9Î) cqãèy_öè? ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu
tidak mampu memberikan rezki kepadamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah,
dan beribadah dan bersyukurlah kepada-Nya,. Hanya kepada-Nyalah kamu akan
dikembalikan.” (Qs. al-Ankabut: 17).
Janji Allah Ta’ala pada ayat kedua ayat ini
bukan berarti bila kita telah shalat, puasa, dan berdzikir lalu akan segera
turun hujan emas dan perak. Tidak demikian, ayat ini
ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan sabdanya,
(لو
أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ على اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كما
يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً
وَتَرُوحُ بِطَاناً (رواه أحمد وغيره
“Andaikata engkau bertawakkal kepada Allah
dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan melimpahkan rezeki-Nya
kepadamu, sebagaimana Allah melimpahkan rezeki kepada burung, yang (setiap)
pagi pergi dalam keadaan lapar dan pada sore hari pulang ke sarangnya dalam
keadaan kenyang.“ (HR. Ahmad dan lain-lain).
Demikianlah aplikasi ayat ini, umat Islam
harus bekerja keras, berjuang dengan pantang menyerah. Gambaran tawakkal umat Islam
adalah bagaikan seekor burung yang bekerja jeras pantang menyerah. Pada setiap
pagi, setiap burung meninggalkan sarangnya menuju ke berbagai arah, guna
mengais rezekinya, dan pada sore hari, masing-masing kembali ke sarangnya dalam
keadaan kenyang.
Alangkah indahnya jiwa seorang mukmin yang mengamalkan ayat dan
hadits di atas. Ia bekerja keras, pantang menyerah, dan pada saat yang sama, ia
beriman bahwa rezekinya ada di Tangan Allah Ta’ala. Setiap usahanya senantiasa
diiringi dengan iman, doa dan tawakkal, serta ditutup dengan rasa syukur.
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan mengadakan beginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari
arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya, Allah (berkuasa untuk)
melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya, Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap urusan.” (Qs. аt-Thalaq: 2-3).
Referensi:
[1] Lihat Mu’jam Maqoyisil Lughoh, Ibnu Faris,
1/227-228 dan 1/230. Dinukil dari At Tabaruk, Dr. Nashir bin ‘Abdurrahman
bin Muhammad Al Judai’, Maktabah Ar Rusyd Riyadh, 1411 H, hal. 25-26.
[2] Demikian kesimpulan dari Dr. Nashir Al
Judai’ dalam At Tabaruk, hal. 39.
[3] Jalaul Afham fii Fadhlish Sholah ‘ala
Muhammad Khoiril Anam, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul ‘Urubah Kuwait, cetakan
kedua, 1407, hal. 308.
[4] Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Muhammad
bin Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420, 6/301,
[5] Lihat At Tabarruk, hal. 15-17.
[6] Lihat At Tabarruk, hal. 44.
[7] Lihat At Tabarruk, hal. 44.
Jakarta 17-1-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar