HIKMAH dibalik MUSIBAH
Tidak ada
sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang
siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam)
hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu
(Qs at-Taghâbun/64:11
(Qs at-Taghâbun/64:11
SAYANGNYA ALLAH |
Kerusakan di darat dan di laut ?
Lagi-lagi kekeringan. Sepertinya kekeringan di negeri ini telah menjadi rutinitas tahunan yang dihadapi masyarakat. Bagaimana tidak, setiap musim kemarau, sebagian besar wilayah di Indonesia dilanda kekeringan. Begitu juga sebaliknya, setiap musim hujan, sebagian besar wilayah Indonesia dilanda kebanjiran.
Kondisi ini pada dasarnya tidak luput dari prilaku manusia. Jika kita mau kembali membuka kembali Alquran, tampak jelas bahwa bencana alam dan krisis lingkungan akibat dari ulah merusak sebagian dari umat manusia.
Kerusakan lingkungan telah lama disinyalir dalam Quran. Dalam sebuah ayat Allah berfirman,”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum[30]:41).
Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi disebabkan ulah tangan manusia. Bencana yang datang silih berganti bukan fenomena alam. Akan tetapi karena prilaku merusak manusia sendiri yang telah merusak alam ciptaan Allah.
Para pemikir Timur dan Barat kontemporer memandang masalah utama kerusakan parah Bumi akibat terjadinya pemisahan serius antara sains dan dari spiritualitas dan nilai-nilai moral. Para pemikir menilai krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara dunia dilanda problem nilai dan spiritualitas.
Jangan Buruk Sangka
Kira-kira, manusia sekarang ini mengidentifikasi
“musibah” sebagai segala hal dahsyat, yang terjadi “di luar” kehendak manusia
dan menyebabkan kematian dan kesengsaraan banyak manusia. Pada saat terjadinya
“musibah” itu, manusia baru merasakan keprihatinan yang mendalam. Tidak tahu
apa yang harus dilakukan, tetapi kebanyakan menyerahkan kepada Yang Maha
Tunggal. Sayangnya, “penyerahan” kepada Sang Kuasa tersebut lebih bernuansa Su’
udz-Dzan atau Negative Thinking kepada-Nya.
Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan, bahwa musibah adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan
terjadi diluar dugaan manusia dan kejadian tersebut dapat berupa kesusahan atau
kesenangan. Tetapi pada umumnya masyarakat lebih memahami makna musibah sebagai
hal yang buruk, pada hal sesuatu yang kita anggap buruk itu sebenarnya ada
nilai baik karena dibalik keburukan terdapat hikmah atau pelajaran yang dapat
kita ambil.
Makna Bala’,
Musibah, ‘Adzab ?
Secara literal,
al-bala’ bermakna al-ikhtibar (ujian). Istilah bala’ sendiri digunakan
untuk menggambarkan ujian yang baik maupun yang buruk (Imam ar-Razi, Mukhtâr
al-Shihâh, hal. 65). Dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an
dinyatakan, bahwa bala’ itu memiliki tiga bentuk; ni’mat (kenikmatan),
ikhtibaar (cobaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu yang dibenci) (Syihâb
al-Dîn Ahmad, al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, juz 1, hal. 85). Di dalam
al-Quran, kata bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang berbeda-beda;
(Qs. al-Baqarah [2]: 49; Qs. al-A’râf [7]: 141; Qs. al-Anfâl [8]: 17; Qs.
Ibrahim [14]: 6; Qs. ash-Shafât [37]: 106; Qs. ad-Dukhân [44]: 33). Ada yang
bermakna cobaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang berarti
kemenangan atau kenikmatan (bala’ hasanan).
Bala’ dalam
konteks ujian yang buruk, misalnya terdapat di dalam firman Allah SWT berikut
ini:
“Dan pada yang
demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” (Qs. al-Baqarah
[2]: 49).
Ayat ini
bercerita tentang diselamatkannya Bani Israil dari penyembelihan dan kekejaman
Fir’aun. Menurut Ali ash-Shabuni, bala’ dalam ayat ini adalah al-mihnah wa
al-ikhtibâr (ujian dan cobaan) yang ditimpakan oleh Fir’aun kepada Bani Israil;
yakni penyembelihan anak laki-laki (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 1,
hal. 57).
Adapun bala’
dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Maka
sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang
melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi
kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an
hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs.
al-Anfâl [8]: 17).
Menurut Imam
al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidhawi, kata bala’ pada ayat di atas adalah
kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman, yang berujud,
pertolongan Allah (al-nashr), al-ghanimah (harta rampasan perang), dan
al-musyahadah (mati syahid) (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 3, hal.
97).
Musibah menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
mu•si•bah n 1
kejadian (peristiwa) menyedihkan yg menimpa: dia mendapat — yg beruntun,
setelah ibunya meninggal, dia sendiri sakit sehingga harus dirawat di rumah
sakit; 2 malapetaka; bencana: – banjir itu datang dng tiba-tiba.
Musibah menurut Bahasa Arab
Musibah ~ ashaaba, yushiibu, mushiibatan = mengenai, menimpa, atau
membinasakan.
- Musibah menurut bahasa Inggris
Musibah ~ disaster
Disaster
berasal dari bahasa Yunani, disastro, dis berarti ”jelek” dan astro yang
berarti “peritiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi”.
- Ahli tafsir
Muhammad Husin Tabataba’i, dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an
Musibah adalah
kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendaki.2
- Prof. Quraish
Shihab
Musibah pada mulanya berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”.
Sebenarnya sesuatu yang menimpa itu tidak selalu buruk. Hujan bisa menimpa kita
dan itu dapat merupakan sesuatu yang baik. Memang, kata musibah konotasinya
selalu buruk, tetapi boleh jadi apa yang kita anggap buruk itu, sebenarnya
baik, maka Al-Quran menggunakan kata ini untuk sesuatu yang baik dan buruk (QS.
Al-Baqarah : 216)
Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa musibah adalah suatu
kejadian yang tidak dikehendaki dan terjadi diluar dugaan manusia dan kejadian
tersebut dapat berupa kesusahan atau kesenangan. Tetapi pada umumnya masyarakat
lebih memahami makna musibah sebagai hal yang buruk, pada hal sesuatu yang kita
anggap buruk itu sebenarnya ada nilai baik karena dibalik keburukan terdapat
hikmah atau pelajaran yang dapat kita ambil.
Musibah adalah
al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu
Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, bahwa musibah adalah al-dahr
(kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1,
hal. 535).
Menurut Imam
al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat
manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara yang
menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz
1, hal. 431).
Kata musibah
disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan
bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum
Muslim untuk menyakini, bahwa semua musibah itu datang dari Allah SWT, dan atas
ijinNya. Allah SWT berfirman:
“Tidak ada
sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan
barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Taghâbun [64]: 11).
Secara literal,
‘adzab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan
siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585).
Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain.
Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di
hari akhir. Allah SWT berfirman:
“Allah telah
mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 7).
“Sesungguhnya,
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, Kami sediakan bagi
mereka adzab yang pedih.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya. Namun
demikian, kata ‘adzab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia.
Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu
negeripun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari
kiamat, atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang keras. Yang demikian
itu telah tertulis di dalam kitab Lauh al-Mahfuudz.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58).
Menurut Ali
ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiyat kepada perintah
Allah SWT, mendustakan Rasul-rasulNya, niscaya Allah akan menghancurkan mereka,
baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), maupun ditimpa dengan hukuman
yang amat keras (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).
Di ayat yang
lain, Allah SWT berfirman:
“Sekiranya
mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengadzab orang-orang kafir di
antara mereka dengan adzab yang pedih.” (Qs. al-Fath [48]: 25).
Tatkala
menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang kafir
itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin
dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengadzab orang-orang kafir dengan adzab
yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri
mereka-negeri mereka.” (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48).
Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang lain, yakni:
“Dan jikalau
tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar
Allah mengadzab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akherat adzab neraka.” (Qs.
al-Hasyr [59]: 3).
Ayat ini
bercerita tentang pengusiran Bani Nadzir, sekaligus mengisahkan, bahwa jikalau
Allah SWT tidak menetapkan hukuman pengusiran terhadap Bani Nadzir, niscaya
mereka akan diadzab dengan pembunuhan (al-qatl). Hukuman bagi mereka cukup
dengan pengusiran, bukan pembunuhan seperti halnya hukuman bagi Yahudi Bani
Quraidzah.
Ayat di atas
juga menunjukkan, bahwa ‘adzab tidak hanya berasal dari Allah SWT saja, akan
tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, yakni berupa hukuman atau sanksi di
kehidupan dunia.
Menyikapi Musibah
Seorang Mukmin
dengan ketakwaannya kepada Allâh Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam
hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan
membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan
keimanannya yang kuat kepada Allâh Ta’ala membuat dia yakin bahwa apapun
ketetapan yang Allâh Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik
baginya.
Dengan
keyakinannya ini pula Allâh Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya
berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh
Allâh Ta’ala dalam firman-Nya:
Tidak ada
sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allâh; barang
siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam)
hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu
(Qs at-Taghâbun/64:11)
(Qs at-Taghâbun/64:11)
Imam Ibnu
Katsîr rahimahullâh berkata:
“Maknanya:
seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut
merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia bersabar dan
mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk
berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka Allâh Ta’ala akan
memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang
menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa
jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang
lebih baik baginya.”
Inilah sikap
seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya.
Meskipun Allâh
Ta’ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu
akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan
tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang
kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allâh Ta’ala dalam
menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan
beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.
Dalam
menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:
“Sesungguhnya
semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama)
Allâh Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan
pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka
adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban
musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan
(kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan
musibah tersebut.
Tuntunan Menghadapi Musibah
Islam telah memberikan
tuntutan bagaimana seharusnya sikap seorang muslim mengahadapi musibah, baik
yang menimpa dirinya sendiri maupun orang lain. Jika musibah menimpa diri
sendiri, maka ia dianjurkan sebagai berikut :4
§ Mengucapkan kalimat istirja’,
yaitu kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami
semuaadalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami akan kembali) sebagaimana dalam
firman Allah :
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun.” (QS.
2:156)
Tafsir Al-Baqarah: 156
Di dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan
kepada Nabi Muhammad SAW supaya memberi kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar. Apabila mereka ditimpa sesuatu musibah mereka mengucapkan: “inna lillahi
wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami semuaadalah milik Allah dan
kepada-Nya-lah kami akan kembali)”5.
Dan dalam hadist yang diriwayatkan Imam Muslim,
Imam Malik, Ibnu Majah, serta hadist yang diriwayatkan al-Hakim an-Naisaburi
dan Imam tirmizi yang artinya : “Tidak ada suatu musibah yang menimpa seorang
hamba, kemudian ia mengucapkan istirja’, melainkan Allah menetapkan pahala
baginya.”
§ Memajatkan
do’a kepada Allah SWT agar diberi pahala dari musibah yang dihadapinya
sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya : “Apabila kamu diberi
musibah oleh Allah, maka ucapkanlah do’a “Allahumma jurni fi musibati wa akhlif
li khairan minha” (Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibah ini, dan
gantikanlah bagiku dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya)” HR. Muslim,
Ibnu Majah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal.
Selain memohon pahala dari musibah yang
dihadapi, juga dianjurkan memohon agar musibah itu berakhir dari dirinya,
sebagaimana permohonan Nabi Ayub AS ketika mengalami musibah penyakit yang
berkepanjangan, sesuai pada surah al-Anbiya’ : “Dan (ingatlah kisah) Ayub,
ketika ia menyeru Tuhannya : (Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa
penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.
Maka kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang
ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi
peringatan bagi semuayang menyembah Allah”. (QS. Al-Anbiya’:83-84)
§ Bersikap
sabar dan tidak putus asa dalam menghadapi musibah, karena dengan kesabaran
itulah seseorang mendapatkan pahala dari musibah yang menimpanya. Bersikap
sabar dalam menghadapi semua bentuk kesulitan dan tantangan telah banyak
diajarkan oleh Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW seperti pada surah Al-Baqarah
ayat 155 di atas dan ayat : “…….. Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (QS. Az-Zummar:10).
Dalam ayat ini Allah SWT berfirman : “Hai
orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah:153).
Mengenai pentingnya kesabaran dalam kesulitan dijelaskan dalam hadist “Jika
seorang mukmin memperoleh kebaikan lalu ia bersyukur, maka kebaikan itu menjadi
pahala baginya, dan jika ia ditimpa kemudharatan itu menjadi pahala baginya.”
(HR. Muslim).
Tafsir Al-Baqarah:153
Untuk menghadapinya haruslah perjuangan itu
dilakukan dengan giat, dihadapi dengan penuh kesabaran dengan memperbanyak
shalat, sehingga menjadi kecil serta ringanlah segala kesukaran dan cobaan itu,
karena Allah SWT senantiasa beserta orang-orang yang sabar. Dia akan menolong,
menguatkan dan membahagiakan orang-orang yang berjuang menegakkan kebenaran.6
§ Menerima
dengan ikhlas dan tidak menyesali atau membenci musibah yang diberikan Allah
SWT kepadanya.
‘Adzab Akibat Pembesar-Pembesar Fasiq Dan
Dzalim
Jika pembesar-pembesar suatu negeri atau kota
melakukan kemaksiyatan kedurhakaan, dan kedzaliman, niscaya Allah akan
mengirimkan ‘adzab kepada penduduk negeri tersebut. Al-Qur’an telah menyatakan
hal ini dengan sangat jelas:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
(supaya mentaati Allah SWT), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri
itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. al-Isrâ’ [17]:
16).
Ibnu ‘Abbas tatkala menafsirkan ayat ini
menyatakan:
“Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah)
telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian
mereka berbuat maksiyat di dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan penduduk
di negeri tersebut dengan ‘adzab.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal.
371).
Di ayat lain, Allah SWT telah mendiskripsikan
kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia. Allah SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang
benar.” (Qs. ar-Rûm [30]: 41).
Imam Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan
kerusakan (pada ayat tersebut) adalah paceklik al-jadb), kebakaran yang
merajalela, ketenggelaman, hilangnya keberkahan, dan banyaknya kelaparan,
akibat kemaksiyatan dan ulah perbuatan manusia.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi,
juz 2, hal. 106).
Menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud
kerusakan adalah berkurangnya hasil-hasil pertanian dan buah-buahan karena
kemaksiyatan manusia. Sebab, baiknya bumi dan langit tergantung dengan ketaatan
(Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, hal. 57).
Kedzaliman penguasa, keengganan rakyat
melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa merupakan pemicu datangnya
‘adzab dari Allah SWT. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah SWT merupakan kunci
bagi perbaikan bumi dan seisinya.
Hikmah
dibalik Musibah1. Sebagai peringatan
Allah l berfirman:
“Dan Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (al-Isra’: 59)
Qatadah t menerangkan, “Sesungguhnya Allah l menakuti manusia dengan tanda-tanda (bencana, petaka, pen.) apa pun yang Dia l kehendaki. Mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran, menjadi ingat kepada Allah l, kemudian kembali kepada-Nya.”
Beliau menyatakan, “Telah sampai kepada kami berita bahwa di masa Abdullah bin Mas’ud masih hidup, terjadi gempa di Kufah. Beliau mengingatkan kepada manusia, seraya berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian meminta—dengan adanya bencana—agar kalian kembali kepada apa yang menjadi keridhaan-Nya. Maka dari itu, bertaubatlah!’.”
2. Hukuman
Firman Allah l:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)
As-Sa’di t berkata, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, yaitu rusak dan berkurangnya mata pencaharian mereka dan terjadinya bencana alam. Diri mereka juga terserang penyakit, wabah, dan yang lainnya. Semua itu terjadi karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), berupa perbuatan yang rusak dan merusak. Hal ini supaya mereka mengetahui bahwa Allah l membalas amal perbuatan dan membuat contoh/pelajaran untuk mereka dari balasan amal mereka di dunia, agar mereka kembali ke jalan yang benar. Mahasuci Allah, Dzat yang menganugerahkan nikmat kepada hamba-Nya melalui cobaan-Nya serta memuliakan hamba-Nya dengan hukuman-Nya. Jika tidak, kalau saja Allah l merasakan (azab) kepada mereka disebabkan apa yang mereka perbuat, niscaya Ia tidak membiarkan di atas permukaan bumi ini satu pun makhluk yang melata (manusia).”
3. Penghapus dosa
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah berupa kesalahan, rasa sakit, kegundahan, kesusahan, gangguan dan tidak pula dukacita, sampai duri yang menusuknya, melainkan Allah l akan menghapuskan dengannya dari kesalahan-kesalahannya.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah c)
4. Pahala yang mulia
Rasulullah n bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي طَرِيقٍ إِذْ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ فَأَخَّرَهُ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Tatkala seorang laki-laki berjalan tiba-tiba ia mendapati ranting berduri berada di jalan lalu ia menyingkirkannya, Allah l memberikan kepadanya pahala dan mengampuninya.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah z)
Faedah Cobaan
Di samping
sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan
yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan menghayati
hikmah-hikmah agung yang Allâh Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang
terjadi pada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi
hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan yang
menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan
keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allâh Ta’ala.
Semua ini, di
samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu
bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allâh Ta’ala dalam semua musibah
dan cobaan yang menimpanya.
Dengan sikap
ini, Allâh Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena
Allâh Ta’ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba
tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi yang
artinya:
“Aku (akan
memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku”.
Maknanya: Allâh
Ta’ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba
tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan
baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu
menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allâh Ta’ala.
Pembelajaran
Dalam Musibah
1.
|
Allâh Ta’ala
menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk
mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Kalau
seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan
celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di
sisi Allâh Ta’ala. Jadi musibah dan cobaanlah yang membersihkan
penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna
dan kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Ta’ala
|
2.
|
Allâh Ta’ala
menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan
penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allâh
Ta’alamencintai hamba- Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua
keadaan, susah maupun senang.[10]Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam :
“Sungguh
mengagumkan keadaan seorang Mukmin, semua keadaannya (membawa) kebaikan
(untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang Mukmin; jika dia mendapatkan
kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia
ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.”
|
3.
|
Allâh Ta’ala
menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan
keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allâh Ta’ala
sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan
surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia Allâh Ta’ala
menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi,
serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau
seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka
tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hatinya akan
terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi
kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti.]Inilah di antara makna yang
diisyaratkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam :
”Jadilah kamu
di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan
perjalanan.”
|
Musibah tidah membedakan sasaran yang dikenainya. Ia dapat menimpa
manusia yang shaleh atau manusia yang biasa berbuat maksiat. Jika orang shaleh
mendapatkan musibah, maka musibah itu dipandang sebagai penguji iman keimanan
(cobaan).
Allah SWT berfirman : “Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah
beriman, sedang mereka tidak diuji lagi ?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”.
(QS. Al-Ankabut:2-3).
Jakarta 6/2/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar