Hidupkan Sunnah Rasul !
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS Ali ‘Imran:31).
تَرَكْتُ
فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ نَبِيِّهِ
Aku
telah tinggalkan pada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya:
kitab Allâh dan Sunnah NabiNya.(HR Malik)
Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya:
kitab Allâh dan Sunnah NabiNya.(HR Malik)
Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ
لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari
sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan
(pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak
mengurangi pahala mereka sedikit pun“(HR Ibnu Majah)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”
(QS al-Ahzaab:21).
Muqaddimah
Imam
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat diatas berkata, “Ayat yang mulia ini
merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai
Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam
pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan
agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
semua ucapan, perbuatan dan keadaannya”
Imam
al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang
mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya.
Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya
dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam
(pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda
(bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
utama adalah (dengan) meneladani beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam,
mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan
segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab
(etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang
maupun sempit”
Makna
Sunnah
- Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah segala sesuatu yang bersumber
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun
penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ditujukan sebagai syariat bagi
umat Islam.
- Arti
“menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” adalah memahami
petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan dan menyebarkannya
di kalangan manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang
dari menyelisihinya.
Perintah
Memuliakan Sunnah
Allah
berfirman:
“Dan apa
yang diberikan Rasul kepada kalian maka ambillah sedang apa yang beliau larang
darinya maka berhentilah.” (Al Hasyr: 7)
Asy
Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan: “Perintah ini mencakup prinsip-prinsip
agama dan cabang-cabangnya baik lahir maupun batin dan bahwa yang dibawa oleh
Rasul maka setiap hamba harus menerimanya dan tidak halal menyelisihinya. Apa
saja yang disebut oleh Rasul seperti apa yang disebut oleh Allah, tidak ada
alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya dan tidak boleh mendahulukan
ucapan siapapun atas ucapan Rasul.” (Taisir Al Karimirrahman, 851)
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul berarti ia mentaati Allah.” (An Nisa’: 80)
Maksudnya,
setiap orang yang taat kepada Rasul dalam perintah dan larangan berarti ia taat
kepada Allah karena Nabi tidak memerintah atau melarang kecuali dengan perintah
dari Allah. Ini berarti pula terlindunginya Nabi dari kesalahan karena Allah
memerintahkan kita untuk taat kepadanya secara mutlak. Kalau seandainya beliau
tidak ma’shum (terjaga dari salah) pada apa yang beliau sampaikan dari Allah,
tentu Allah tidak akan memerintahkan taat kepadanya secara mutlak dan tidak
memujinya. (Taisir Al Karimirrahman, 189 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/541)
“Dan
tidaklah ada pilihan bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya
telah memutuskan sebuah perkara pada urusan mereka.” (Al Ahzab: 36)
Ibnu
Katsir mengatakan: “Ayat ini umum pada seluruh perkara yaitu jika Allah dan
Rasul-Nya menetapkan hukum sebuah perkara maka tidak boleh bagi seorangpun
untuk menyelisihinya. Tidak ada peluang pilihan, ide atau pendapat bagi
siapapun di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/498)
Ketiga
ayat ini menunjukkan secara jelas bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah
Nabi, yakni wajib mengambilnya dan merupakan keharusan yang tidak ada
tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan Sunnah tersebut sebagai pedoman dalam
melangkah melakukan ketaatan kepada Allah. Hal itu karena Allah jadikan
Nabi-Nya sebagai penjelas Al Qur’an sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan
kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang
diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Selanjutnya
kita lihat bagaimana hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti Sunnah,
di antaranya:
Dari Al
Irbadh bin Sariyah ia berkata: “Rasulullah memberikan sebuah nasehat kepada
kami dengan nasehat yang sangat mengena, hati menjadi gemetar dan matapun
menderaikan air mata karenanya, maka kami katakan:’ Wahai Rasullullah
seolah-olah ini nasehat perpisahan maka berikan wasiat kepada kami’, lalu
beliau katakan: ‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar
dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak karena sesungguhnya
barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan melihat perbedaan yang banyak,
maka wajib atas kalian bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al
Khulafa Ar Rasyidin, gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah oleh
kalian perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.”
(Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al
Albani dalam Shahihul Jami’, 2549)
Demikian
Nabi mewasiatkan kepada para sahabat beberapa wasiat penting di antaranya
perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnahnya dan Sunnah para Khulafa Ar
Rasyidin. Bahkan beliau menyuruh untuk menggigitnya dengan gigi kita yang
paling kuat. Di masa sahabat saja Rasulullah telah berwasiat demikian,
lebih-lebih di zaman sepeninggal beliau di mana kondisi masyarakat dari sisi
keagamaan semakin buruk dengan munculnya berbagai perselisihan dan bid’ah pada
perkara-perkara yang prinsipil.
Keutamaan Sunnah Rasulullah saw
Sunnah
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, memiliki kedudukan yang sangat agung dalam
Islam, karena Allah Ta’ala sendiri yang memuji semua
perbuatan dan tingkah laku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dalam firman-Nya,
{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ
عَظِيمٍ}
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung”
(QS al-Qalam:4).
Ayat
yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah al-Qur’an“.
Ini
berarti bahwa Rasulullah r adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan
mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan
adab-adabnya.
Demikian
pula dalam firman-Nya Ta’ala,
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Ayat
yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua
perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang
lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala.
Ketika
menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan
landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam“.
Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan
yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini,
yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah
orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari
akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan
balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi
seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“.
Karena
agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu
berusaha mengamalkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan
orang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
((من أحيا سنة من سنتي فعمل
بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))
“Barangsiapa
yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh
manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya,
dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“(HR Ibnu Majah)
Hadits
yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan
kebanyakan orang. Oleh karena itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini
dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab: (keutamaan) orang yang menghidupkan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang
telah ditinggalkan (manusia).
Syaikh
Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan)
mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya)
akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan)
menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia”.
Para
Ulama Ahlus Sunnah Berkomentar
Para
ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan
karena inilah Allah Ta’ala memuliakan mereka.
Sampai-sampai
imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata,
“Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh)
sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka
lakukanlah!”.
Demikian
pula ucapan imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i. “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan
(dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka
amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang
mengerjakannya”.
Bahkan
semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah
yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut.
Imam
Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah
orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),
karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di
kalangan manusia)”.
Oleh
karena itulah, para ulama Ahlus sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang
yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
pujian yang setinggi-tingginya.
Imam
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi adalah seorang
imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus sunnah) dan sangat
tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling
semangat mengikuti sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di
zamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku satu
sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka (ketika) seorang ulama Ahlus sunnah
di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok
terbesar/Ahlus sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang
berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul
a’zham“, ulama tersebut menjawab: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi
dialah as-sawaadul
a’zham“.
Kemudian
Ibnul Qayyim berkata, “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena
sesungguhnya jika pada suatu zaman, ada seorang yang memahami sunnah
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),
(mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah
(argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para
ulama Ahlus sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok
terbesar/Ahlus sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya
orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan
mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang
diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu
adalah seburuk-buruk tempat kembali”.
Senada
dengan ucapan di atas, imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidaklah aku menulis
sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang
bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada
tukang bekam”.
Bahkan
para ulama Ahlus sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya,
maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang
menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada imam Ahmad bin Hambal, ketika dia
mendengar satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa
lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika
ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”.
Kita dapati Abu Bakar Ash Shiddiq mengatakan:
“Saya tidak meninggalkan sesuatu yang Rasulullah melakukannya kecuali aku pasti
melakukannya juga dan saya takut jika saya tinggalkan sesuatu darinya lalu saya
sesat.”
Wahai saudaraku…orang yang paling jujur (Abu
Bakar) khawatir terhadap dirinya untuk tersesat jika menyelisihi sesuatu dari
jalan Nabi. Maka bagaimana jadinya dengan sebuah jaman yang penduduknya
mengolok-olok Nabi mereka dan perintah-perintahnya bahkan berbangga dengan
menyelisihi dan mengolok-oloknya.
Kami memohon kepada Allah perlindungan dari
perbuatan salah dan memohon keselamatan dari amal yang jelek. Demikian
dikatakan oleh Ibnu Baththah, seorang ulama akidah yang hidup pada abad keempat
hijriyah dalam kitab Al Ibanah,1/246, dan Ta’dhimus Sunnah, 24. Lalu bagaimana
jika beliau hidup di jaman kita? Apa yang kira-kira akan beliau katakan?
Seorang tabi’in bernama Abu Qilabah mengatakan:
“Jika kamu ajak bicara seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan
kami dari ini dan datangkan Kitabullah.’ Maka ketahuilah bahwa dia
sesat.”(Tabaqat Ibni Sa’ad, 7/184, Ta’dhimus Sunnah, 25)
Demikian pula suatu saat Imam Syafi’i ditanya
tentang sebuah masalah maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini
diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi. Maka si penanya mengatakan:
“Wahai Imam Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka
beliau langsung gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan membawaku
dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi
kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan
penglihatanku.” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’dhimus Sunnah, 28).
Pahala bagi Orang yang Berpegang Sunnah Rasul
Karena pentingnya mengagungkan Sunnah Nabi
sekaligus beratnya tantangan bagi yang mengagungkannya maka Allah sediakan
pahala yang besar bagi mereka yang berpegang teguh dengannya dan menjunjungnya
tinggi-tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari
kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang
beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.”
Seseorang bertanya: “Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah” Rasulullah
menjawab: “Pahala limapuluh dari kalian.” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi
lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494)
Dalam hadits yang lain Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Islam berawal dengan keasingan dan
akan kembali kepada keasingan sebagaimana awalnya maka maka bergembiralah bagi
orang-orang yang asing.” Rasulullah ditanya: “Siapa mereka wahai Rasulullah?”
Jawab beliau: “Yaitu yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak.” (Shahih HR
Abu Amr Ad Dani dari sahabat Ibnu Mas’ud, lihat Silsilah Ash Shahihah no. 1273)
Demikian pula Allah menjamin hidayah bagi
orang-orang yang mengikuti Nabi dalam firman-Nya:
“Dan jika kalian mentaatinya niscaya kalian
akan mendapatkan hidayah.” (An-Nur: 54)
Hidayah untuk menempuh jalan yang lurus baik
dengan ucapan atau perbuatan, di mana tidak ada jalan menuju kepada hidayah
kecuali dengan taat kepada Rasulullah. Adapun tanpa itu maka tidak mungkin,
bahkan mustahil (Taisir Al Karimirrahman, 572-573).
Semakna dengan ayat itu hadits Nabi yang
berbunyi:
“Sesungguhnya setiap amalan itu ada masa
giatnya dan setiap giat itu ada masa jenuhnya maka barangsiapa yang jenuhnya
itu kepada Sunnahku berarti ia mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang masa
jenuhnya itu kepada selainnya maka ia binasa.” (Shahih, Al Baihaqi dalam
Syu’abul Iman dari Ibnu Amr, lihat Shahihul Jami’ no: 2152)
Selama seseorang berada di atas Sunnah Nabi
maka dia tetap berada di atas istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian
berarti ia telah melenceng dari jalan yang lurus sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Umar: “Manusia tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka
mengikuti jejak Nabi.” ( Riwayat Al Baihaqi, lihat Miftahul Jannah no.197).
‘Urwah mengatakan: “Mengikuti Sunnah-Sunnah
Nabi adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no:
198)
Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan:
“Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi maka dia
berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no. 200)
1) Hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang banyak dan mustahil mereka
sepakat untuk berdusta atau kebetulan sama-sama berdusta sedang hadits ahad
adalah yang selain itu. Ahlussunnah berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih
harus diterima dan diamalkan. (lihat An Nukat ‘Ala Nudzhatinnadhar, 53-57)
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian
maka ambillah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” (Al
Hasyr: 7)
JAKARTA
1/3/2013
gimana cara mengamalkan sunnah menurut Imam ahmad
BalasHapus