وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
إنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung dari
niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan.”
(HR Bukhari-Muslim)
Muqaddimah
“Ikhlas
artinya kita berbuat dan melakukan apapun hanya dengan niat untuk meraih ridha
Alloh Azza wa Jalla, bukan untuk apapun dan bukan untuk siapapun.”
Ikhlas
adalah kunci diterimanya ibadah dan bentuk-bentuk amal kebajikan. Meski besar
nilainya di mata manusia, amal tersebut tidak ada artinya di mata Alloh Azza wa
Jalla bila tidak dibentengi dengan keikhlasan. Namun sekecil apapun kebajikan
itu di mata manusia, bila dibarengi dengan niat ikhlas, ia sangat besar
nilainya di hadapan-Nya.
Perhatikan
frman-firman-Nya di dalam Al Qur’an, semua menegaskan keikhlasan. “Katakanlah,
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Alloh Tuhan
semesta alam.” (Al An-Am : 162)
Ikhlas Menurut Ulama’
Para ulama menjelaskan ikhlas dengan beberapa
pengertian, namun sebenarnya hakikatnya sama. Berikut perkataan ulama-ulama
tersebut.( kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an,
An Nawawi, hal. 50-51, Maktabah Ibnu ‘Abbas, cetakan pertama, tahun 1426 H.)
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah
menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan
ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga
yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari
makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah.”
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah
membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah
kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja
yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah,
bukan komentar dan pujian manusia.
Hudzaifah Al Mar’asiy mengatakan, “Ikhlas adalah
kesamaan perbuatan seorang hamba antara zhohir (lahiriyah) dan batin.”
Berkebalikan dengan riya’. Riya’ adalah amalan zhohir (yang tampak) lebih baik
dari amalan batin yang tidak ditampakkan. Sedangkan ikhlas, minimalnya adalah
sama antara lahiriyah dan batin.
Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:
- Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.
- Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
- Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan
karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan.
Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal tadi.”
Menurut al-Qurtubi, ikhlash pada dasarnya berarti "memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk".
Menurut al-Qurtubi, ikhlash pada dasarnya berarti "memurnikan perbuatan dari pengaruh-pengaruh makhluk".
Ar-Ruwaim mendefinisikannya dengan "tidak ada keinginan dari
pelakunya terhadap imbalan dan pahala di dunia dan akhirat'.
Al-Junaid mengartikannya sebagai "rahasia di antara hamba dan
Allah, tidak diketahui oleh para malaikat lalu mencatatnya, setan juga tidak
mengetahuinya sehingga tidak dapat merusaknya, dan hawa nafsu pun tidak
mengenalinya lalu condong kepadanya". Sejalan dengan Al-Juwaini,
Abu Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan arti ikhlas dengan menampilkan sebuah
riwayat dari Nabi Saw, "Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas.
Lalu Jibril berkata, "Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah,"
lalu Allah berfirman, "(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku yang Aku
berikan ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan
hamba-hamba-Ku."
“Segala sesuatu yang dilakukan tidak untuk mencari
keridhaan Allah, pasti akan pupus sirna” (Rabi’
bin Khutsaim, dinukil dalam Shifatush
Shafwah)
“Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan
rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang
melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana
halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun
kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah” (Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al A’mal)
Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.
Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.
Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.
Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.
Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.
Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.
Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.
Perintah Untuk Ikhlas
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Kitab (Al Qur’an)
kepadamu dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik)” (QS. Az Zumar: 2-3)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama” (QS. Az Zumar: 11)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus” (QS.
Al Baiyinah: 5)
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan
niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya.
Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya
akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena
menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Amal yang
Diterima ?
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan
perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan
wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan
ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas
merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua
syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya.
Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni
sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah
satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan
tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya:
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka
hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan
seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi : 110].
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan
amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal
shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki
selainNya.[13]
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab
tafsir-nya [14]: “Inilah dua landasan amalan yang diterima, ikhlas karena Allah
dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ”.
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah
pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan,
apa yang diperolehnya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Dia
tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga
kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak
mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal
perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu)
mencari wajah Allah. [HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana
perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8].
Ikhtitam
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.al-manhaj.or.id
3.cafe-islamicculture.blogspot.com 4.wisnualfarisy 28.blogspot.com .5.rumaisyo.com. Jakarta
15/1/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar