مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang
siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang tidak sesuai
dengannya, maka ia tertolak”. (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang
siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka
baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya
dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya
(mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Bid‘ah Secara Etimologi (Bahasa)
Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy
syai-a, yabda‘uhu bad‘an wabtada‘ahu; artinya menciptakan sesuatu
atau mengawali penciptaan sesuatu. Badda‘ar
rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u, artinya sesuatu yang
menjadi awal permulaan.
Dalam
al-Qur-an disebutkan:
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah:
‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul.’” (QS. Al-Ahqaaf: 9)
Bid‘ah Secara Terminologi (Syar'i)
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut terminologi syar‘i (istilah
syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan dari sunnah; dan ada pula yang
menjadikannya sebagai perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan
setelah zaman Rasul, baik yang terpuji maupun yang tercela. Hal itu akan kami
terangkan pada uraian berikut ini.
Pendapat pertama:
Segala sesuatu yang diada-adakan
setelah zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah bid‘ah, baik yang
terpuji maupun yang tercela.
Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin
‘Abdis Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali dalam kitab al-Ihyaa’, Ibnul Atsir dalam
kitab an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsar, an-Nawawi dalam Syarh
Shahiih Muslim. [Lihat Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi (VI/154-155)
Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar
Imam asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah
yang tercela. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan
yang bertentangan dengan sunnah Nabi itulah yang tercela.” [Lihat Hilyatul
Auliyaa’ karya Abu Nu‘aim (IX/113). Lihat juga Fat-hul Baari (XIII/253)]
Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam berkata tentang definisi
bid‘ah: “Bid‘ah adalah amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah.” [Lihat
Qawaa-idul Ahkaam (II/172)].
Dalam hal ini mereka berpatokan pada perkataan yang
diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab , bahwa ia pernah berkomentar tentang
shalat Tarawih: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih
berjamaah).” [HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/250], Kitab
“ash-Shalaatut Taraawiih”, no. 2010) dan Imam Malik dalam al-Muwaththa’
(I/114), dengan redaksi: “Inilah bid‘ah yang terbaik!”]
Pendapat kedua:
Kata bid‘ah hanya digunakan untuk
menyebut amalan-amalan yang bertentangan dengan sunnah Nabi.
Inilah pendapat asy-Syathibi [Lihat al-I’tisham
(I/37)], Ibnu Hajar al-Asqalani [Lihat Fat-hul Baari (XIII/253)], Ibnu
Hajar al-Haitami [Lihat al-Fataawa al-Haditsiyyah (hlm. 150-151)], Ibnu
Rajab al-Hanbali [Lihat Jaami‘ul Uluum wal Hikam (hlm. 233-235)], Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah [Lihat catatan biografinya dalam kitab ad-Durarul
Kaaminah (I/144-160), Dzail Thabaqaatul Hanabilah (II/378-408), Fawaatul
Wafayaat (I/74-80), dan al-Bidaayah wan Nihaayah (XIV/117-121)}, dan az-Zarkasyi
[Lihat al-Mantsur fiil Qawaa‘id (I/217)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam kaidah sunnah dan
bid‘ah telah kami tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah amal ibadah
yang tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal ibadah yang
tidak diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang diwajibkan
atau dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal tersebut
termasuk ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, meskipun para ulama berbeda
pendapat tentang sebagian hukumnya. Sama saja halnya, baik amal ibadah itu
pernah dilaksanakan pada zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam maupun
belum. Amal apa pun yang dilaksanakan sepeninggal Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam atas dasar perintah beliau, misalnya memerangi kaum yang
murtad dan kaum Khawarij, menyerang bangsa Persia, Turki, dan Romawi,
mengeluarkan bangsa Yahudi dari Jazirah Arab, ataupun perbuatan lain yang
semisalnya, maka semua itu termasuk sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam.” [Lihat Majmuu’ Fataawa (IV/107-108)].
Al-Imam asy-Syathibi mendefinisikan bid‘ah sebagai berikut: “Bid‘ah adalah
suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at,
dan yang dimaksud dari penerapannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Ta'ala.”
Demikianlah menurut pendapat ulama yang tidak
menggolongkan perkara adat (kebiasaan) ke dalam bid‘ah, yaitu mereka yang mengkhususkan
bid‘ah hanya pada perkara-perkara ibadah.
Adapun menurut ulama yang menggolongkan perkara adat
ke dalam bid‘ah, mereka berkata:
“Bid‘ah adalah suatu cara
yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang
dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan yang dimaksud dari penerapan
syari‘at.” [Lihat al-I’tishaam (I/37)]
Macam-Macam Bid’ah ?
Pertama:Bid’ah
Dlalalah.Disebut
pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah.Yaitu
perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua:
Bid’ah Hudadisebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah.Yaitu perkara baru yang sesuai dan
sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam
asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب ” مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara
baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau
dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru
semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik
dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru
seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang
Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam
riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada
dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai
dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah
bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian
bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi’i ini disepakati oleh para ulama setelahnya
dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para
ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Di antara
mereka adalah para ulama terkemuka, sepertial-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi,
Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan
ahli hadits di antaranya Ibn al-‘Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn
Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari
kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan
lainnya.
Sebagian besar ulama membagi Bid’ah menjadi
lima macam:
1) Bid’ah
Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan
oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain.Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah
seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW secara
sempurna.
2) Bid’ahn
Muharramah,Yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Seperti madzhab
Jabariyyaah dan Murji’ah.
3) Bid’ah
Mandubah,yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa
Rasulullah SAW. Misalnya, shalat tarawih secara berjamaah, mendirikan madrasah
dan pesantren.
4) Bid’ah
Makruhah,seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
5) Bid’ah
Mubahah,seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat.(Qawa’id
al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, Juz, 1 hal, 173).BERSAMBUNG...,
JAKARTA 29/1/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar