Muqaddimah
Radikalisme dalam beragama (baca:
dalam berislam) telah menjadi sebuah mainstream isu global yang mengganggu
Barat dan sebagi-an Umat Islam yang Westernized-mindset. Untuk mengatasi
radikalisme dan kaum radikalis itu, Barat dan sekutunya mengumandangkan perang
terhadap radikalisme dan kaum radikalis, untuk melenyapkan mereka dari kolong
jagat. Berbagai upaya tipu daya dan makar dilakukan untuk melenyapkan
radikalisme dan kaum radikalis. Mulai dari upaya dan tipu daya yang paling
halus sampai yang paling biadab. Dengan lenyapnya radikalisme dan kaum
radikalis--kata mereka--maka akan terwujudlah kedamaian dan keamanan dunia.
Apakah Islam itu agama radikal? Kalau
"ya", apa sebenarnya yang dinamakan "radikalisme" itu?
Kalau "tidak", mengapa radikalisme dalam berislam muncul? Apa latar
belakangnya? Apakah Barat tidak berperan bagi la-hirnya radikalisme itu
sendiri? Benarkah tujuan Barat dan sebagian Umat Islam memerangi radikalisme
dan kaum radikalis adalah untuk menciptakan kedamaian dan keamanan dunia?
Benarkah tidak ada "tujuan terselubung" di balik peperangan terhadap
radikalisme dan kaum radikalis? Bagaimana pula upaya dan solusi untuk menangani
radikalisme tersebut?
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi--melalui buku--ini mengupas tuntas tema tersebut. Ketajaman analisis, kekuatan argumentasi, dan bahasa yang mudah tidak menyisakan apapun bagi kita selain "kejelasan" tentang masalah tersebut. Tidak ada yang dapat diungkapkan kepada Anda tentang isi buku ini selain "Anda harus membacanya". (goodreads.com)
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi--melalui buku--ini mengupas tuntas tema tersebut. Ketajaman analisis, kekuatan argumentasi, dan bahasa yang mudah tidak menyisakan apapun bagi kita selain "kejelasan" tentang masalah tersebut. Tidak ada yang dapat diungkapkan kepada Anda tentang isi buku ini selain "Anda harus membacanya". (goodreads.com)
Makna Radikalisme
Radikal dalam bahasa Indonesia
berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu, radikalisme adalah paham
yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan
kekerasan.
Radikalisme Agama
Istilah radikalisme atau terorisme
sering sengaja atau tidak dialamatkan kepada umat Islam, hal ini merupakan
semacam kecelakaan sejarah. Menjadi demikian karena memang posisi Islam sebagai
kekuatan peradaban sedang berada di buritan.
Umat Islam sangat tersudut, karena
pelaku teroris mayoritas beragama Islam dan dalam aksinya selalu menggunakan
simbol-simbol Islam. Bahkan, media massa yang didominasi oleh media Barat
menuduh Islam sebagai basic Idea dari terorisme, dan pesantren-pesantren yang
banyak tersebar di Indonesia dituding sebagai sarang teroris.
Sebenarnya apa yang
dimaksud dengan radikalisme?
Dalam sebuah buku sederhana berjudul
Islam dan Radikalisme (2004), Rahimi Sabirin menjelaskan bahwa radikalisme
adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai oleh empat hal, yaitu: (1)
sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain,
(2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri (paling benar), menganggap
orang lain salah, (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan (memisahkan) diri dari
kebiasaan umat Islam kebanyakan, dan (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.(Diposkan oleh Hasbullah Ahmad di 11/28/2012)
Pada dasarnya, perlu dibedakan antara radikal, radikalisme dan radikalisasi.
Menurut KH. Hasyim Muzadi (ketua PBNUdan pengasuh pe-santren al-Hikam Malang),
yang ditemui pada saat mengisi seminar nasional “Deradikalisasi Agama melalui
Peran Muballigh di Ja
wa
Tengah”3, pada dasar-nya seseorang yang berpikir radikal (maksudnya berp
ikir
mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh-boleh saja, dan memang berpi
kir sudah
seharusnya-lah seperti itu. Katakanlah misalnya, seseorang yan
g dalam
hatinya ber-pandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah
(ekonomi,
pen-didikan, hukum, dan politik) disebabkan Indonesia t
idak
menerapkan syariat Islam. Dan oleh karena itu, misalnya, dasar Negara
Indonesia
harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam (khilāfah islāmiyyah). Pendapat
yang radikal seperti itu sah-sah saja.
Sedangkan radikalisme, masih menurut
Muzadi, adalahradikal dalam
paham
atau ismenya. Biasanya mereka akan menjadi radikal secara per-
manen.
Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secarademokratis,
force(ke-kuatan)
masyarakat dan teror.5Dengan kata lain, radikalisme adalah radikal
yang
sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Dalam pandangan
peneliti,
setiap orang berpotensi menjadi radikal dan penganut paham radikal
(radikalisme),
tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau tidak.
Sedangkan
yang dimaksud dengan radikalisasi, menurut
Muzadi adalah
(seseorang
yang) tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di
masyarakat.
Biasanya radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketikadilan eko-
nomi,
politik, lemahnya penegakan hukum dan seterusnya. Jadi, jangan di-
bayangkan
ketika teroris sudah ditangkap, lalu radikalisme hilang. Sepanjang
keadilan
dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan selalu muncul
di
masyarakat. Keadilan itu menyangkut banyak aspek, baik aspek hukum,
politik,
pendidikan, sosial, hak asasi, maupun budaya. Hukum itu berbeda
dengan
keadilan. Hukum adalah aspek tertentu, sedangkan keadilan adalah
akhlak
dari hukum itu (walisongo.ac.id)
Paradigma Hubungan Agama dengan Negara ?
Itu sebabnya
dalam politk Islam, paling tidak, ada tiga paradigma tentang hubungan agama
dengan Negara.
Paradigma
pertama adalah
konsep bersatunya agama dan negara.
Agama (Islam) dan Negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama
juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini negara
merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara
diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (divine sovereigenity), karena
memang kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan” Tuhan. Pandangan ini
banyak dianut oleh golongna syi’ah dengan menyatakan bahwa imamah
(kepemimpinan) sebagai rukun Islam yang keenam.
Artinya
seorang muslim syi’ah harus mengikuti imam dan jika tidak, maka keislamannya
rusak. Mereka sepakat akan keharusan adanya penunjukan imam yang didasarkan
pada teks agama dan kepastian akan terpeliharanya para Nabi dan imam dari dosa
kecil maupun besar.
Paradigma
kedua, yang
merupakan antítesis dari kelompok pertama, bersifat
sekularistik. Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu
kewajiban agama. Dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut
kewajiban mendirikan negara, namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya,
melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum muslimin. Paradigma ini menolak
baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara.
Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan
negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara
pada agama (Islam), atau paling tidak, menolak determinasi Islam akan bentuk
tertentu dari negara.
Paradigma
ketiga memandang
agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan.
Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara agama berkembang.
Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan tentang simbiosis agama
dan negara ini dapat ditemukan dalam pemikiran Al-Mawardi. Pemeliharaan agama
dan pengaturan dunia adalah dua aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara
simbiotik. Keduanya adalah dua dimensi dari misi kenabian.(Hilwanisari.wordpress.com)
Agenda Perjuangan
Pada dasarnya, semua ormas Islam beraliran radikal,
seperti Laskar Jihad, FPI, KISDI, dan Majelis Mujahidin menyuarakan aspirasi
Islam, terutama nasib umat Islam di tanah air dan umat Islam di negeri lainnya.
Sehingga tak berlebihan, jika perjuangan umat Islam selalu menjadi agenda
utama. Dalam konteks inilah, ada empat isu/tema yang diperjuangkan kelompok
Islam radikal:
a) Piagam Jakarta
b) Pemberantasan Tempat-tempat Maksiat
c) Konflik antaragama
d) Solidaritas Dunia Islam
Meski keempat kelompok Islam radikal memperjuangkan
isu tersebut, tetapi masing-masing kelompok memiliki konsentrasi perjuangan
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kelompok islam radikal dengan pandangan
politik , gerakan dan karakter simboliknya, telah menciptakan dinamika yang
lain bagi perkembangn islam di Indonesia pasca kejatuhan rezim orde baru.
Momentum perubahan politik diambil secara baik oleh kelompok islam radikal,
sehingga memunculkan banyak varian kelompok islam yang berbeda-beda dan selalu berdialog
dengan sejarahnya sendiri dalam setiap perubahan politik. Karena bagaimanapun
juga, kemunculan mereka diawali dari momentum politik, sehingga
keberlangsungannya pun banyak dipengaruhi oleh bagaimana perubahan politik yang
akan terjadi di kemudian hari.(Hilwanisari.wordpress.com)
Ikhtitam
Ada juga pihak yang secara radikal menghendaki syariah jihad dihilangkan dari Ajaran Islam,
karena jihad berpotensi menimbulkan radikalisme yang berujung kepada perilaku
terorisme. Hal ini tentu bukan sebuah usulan yang bijak. Karena pensyariatan
jihad ada dalam al-Qur`an dan Hadis. Justru yang lebih mendesak untuk dilakukan
adalah upaya menyosialisasikan pemahaman jihad yang sebenarnya. Sehingga tidak
dipahami secara keliru dan ekstrim.
Mereka yang melakukan kegiatan terorisme, sebagaimana faksi-faksi sempalan lain yang
melakukan kejahatan dan penyelewengan atas nama Agama, memang menggunakan
ayat-ayat al-Qur`an serta Hadis Rasulullah sebagai legitimasi kejahatan yang
mereka lakukan. Namun bukan berarti mereka melakukan “hal yang benar”, karena
ayat-ayat dan Hadis yang mereka gunakan memang valid, hanya saja penafsiran
atasnya berpotensi salah. Kondisi ini pernah diprediksikan Ali bin Abu Thalib lewat perkataannya, “kalimah al-haqq wa urid
bi ha al-bathil” (kalimat haq yang
digunakan sebagai legitimasi atas kebatilan).(andiwowo.blogspot.com)
Lewat kesenian, lanjut Kyai muda ini, Islam kemudian
membaur dalam pergumulan masyarakat, meniupkan ajaran suci Alquran secara
halus. Ketika ingin mengajarkan tentang keesaan Tuhan, walisongo tidak banyak
mengobral dalil. Mereka lebih menggunakan narasi pewayangan, bagaimana lakon
sedemikian banyak dan rumit tidak mungkin dilakukan lebih dari satu Dalang—yang
berarti skenario kehidupan itu pasti ada yang merancang, dan perancang itu
hanya satu. Begitu, cara walisongo menyemai moralitas masyarakat, dengan tidak
melulu membagi-bagikan petuah-petuah, doktrin. “Kesenian terbukti memberikan sumbangsih yang nyata bagi suksesi dakwah
Islam,” tegasnya.
Tidak aneh, jika Sunan Kalijaga bahkan membeberkan tips
dakwah dalam tujuh prasyarat yang harus ada, di antaranya adalah miyogo
(pemukul gong) dan gongso (gong), yang berarti misi dakwah harus
didukung dengan kesenian, selain prasyarat lain; wisma (papan), wanita
(pendamping), pusaka (pelindung), turonggo (alat mobilitas), kukilo
(medan). “Kesenian memang menjadi andalan dakwah di tanah Jawa tempo dulu, dan
saya rasa masih relevan hingga sekarang,” tegasnya.
Jakarta
13/1/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar