“Allah
bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Dia, dan
[bersaksi pula] para malaikat serta orang-orang yang berilmu, demi tegaknya
keadilan. Tiada ilah [yang benar] selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)
“Iman terdiri dari tujuh puluh sekian
atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha
illallah dan yang terendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang
keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Muqaddimah
Asyhadu an laa
ilaaha illallÄh wa
asyhadu anna Muhammad RasuulullÄh.
Kalimat ini adalah pondasi Islam dimana bangunan Islam dibangun diatasnya.
Kalimat ini memiliki makna agung dan konsekuensi besar yang wajib ditunaikan
oleh setiap pengucapnya. Oleh karena itu, setiap dari kita wajib mengetahui,
memahami, dan mengamalkan kandungannya.
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah
berkata, “… sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling
utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling
darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang
melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya
dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya,
demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa
merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)
Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan
berbeda-beda problematika mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang
pokok. Sama saja apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian
sebagiamana yang dialami penduduk Madyan -kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam-
atau masalah mereka dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis
salam. Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal
perpolitikan! Sebab realitanya umat para nabi terdahulu itu -pada umumnya-
tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka…
Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min
Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah,
hal. 18-19)
Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab
Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian
setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah
Kitab al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang
paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang
benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian,
yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan
as-Sunnah] (lihat dalam mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul
Hadits, hal. 6)
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang
paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab
itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan
ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus
untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat
al-Ushul, hal. 41)
Makna Kalimat Tahlil ?
Laa
ilaaha illallÄh memiliki 2
rukun yaitu an nafyu
(peniadaan) dan al itsbat
(penetapan). An nafyu ditunjukkan pada kalimat ’Laa ilaaha’, yang
artinya meniadakan semua peribadahan kepada selain Allah. Sedangkan Al
itsbat ditunjukkan pada kalimat ’illallÄh’, yang artinya menetapkan bahwa hanya Allah saja yang berhak diibadahi,
tidak ada sekutu bagiNya.
Maka, makna Laa
ilaaha illallÄh adalah laa
ma’buda bi haqqin illallÄh, yang artinya tidak ada sesembahan
yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. Sebagaimana firman Allah
(yang artinya), ”Yang demikian itu karena Allah adalah sesembahan yang Haq
(benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah sesembahan
yang bathil.” (QS. Luqman : 30).
Makna ”ilah” adalah sesembahan yang ditaati dan
yang dipuja dalam hati dengan cinta, pengagungan, dan ketundukan. Sehingga,
tidak ada ilah yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. (Tadzhib
Tas-hil ’Aqidah Islamiyyah, hal 32-33 dengan tambahan).
Kalimat laa ilaha illallah adalah kalimat yang sangat
ringan diucapkan dengan lisan namun memiliki bobot yang sangat agung. Karena
pada hakikatnya ia merupakan intisari ajaran Islam. Akan tetapi tentu saja
kalimat ini bukan sekedar ucapan tanpa makna dan tanpa konsekuensi yang harus
dijalankan (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid oleh Syaikh Dr. Shalih
bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 5)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik
juga mempersaksikan keesaan Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi mereka
hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya
tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak
bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 23
cet. Dar Tsurayya).
Kalimat laa ilaha illallah tidak cukup hanya
diucapkan, tanpa ada keyakinan dan pelaksanaan terhadap kandungan dan
konsekuensinya. Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik (yang
artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di dalam kerak paling
bawah dari neraka Jahannam, dan kamu tidak akan mendapati penolong bagi
mereka.” (QS. An-Nisaa': 145)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya),
“Apabila datang kepadamu orang-orang munafik seraya mengatakan: Kami bersaksi
bahwa engkau benar-benar utusan Allah. Allah mengetahui bahwa engkau
benar-benar utusan-Nya. Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu
benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus
melandasi syahadatnya dengan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang
mengucapkan laa ilaha illallah karena [ikhlas] mencari wajah Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)
Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah pun harus
melandasi syahadatnya dengan keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar
selain Allah dan bahwsanya aku -Muhammad- adalah utusan Allah. Tidaklah seorang
hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua persaksian ini tanpa keragu-raguan
lalu dihalangi masuk surga.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu para ulama menerangkan bahwa untuk
mewujudkan laa ilaha illallah di dalam kehidupan kita, harus terpenuhi hal-hal
sebagai berikut:
- Mengucapkannya
- Mengetahui maknanya
- Meyakini kandungannya
- Mengamalkan kandungan dan konsekuensinya; yaitu beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain-Nya
- Membela orang yang menegakkan tauhid dan memusuhi orang-orang yang menyimpang dan menentangnya (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal. 11 dan 16)
Komitmen Syahadat Tauhid ?
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan semua bentuk ibadah dan menggantungkan hati kepada
Allah semata serta mengingkari dan meninggalkan semua bentuk peribadahan kepada
selain-Nya, karena dia telah mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallÄh.
Siapa yang memalingkan sebagian ibadah kepada selain
Allah, seperti berdo’a atau menyembelih atau bernadzar kepada selain Allah,
atau meminta pertolongan kepada selain Allah padahal yang mampu memberikan
pertolongan itu hanyalah Allah, maka dia telah terjatuh kepada syirik akbar,
yaitu dosa yang paling besar yang tidak diampuni Allah kecuali dengan taubat.
Baik dia tujukan ibadah tersebut kepada berhala, pohon, nabi, wali yang hidup
atau yang sudah mati, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini.
Sesungguhnya Allah tidak ridha dipersekutukan dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), ”Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah saja dan janganlah
berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 36). (Al Irsyad
ila Shahih Al I’tiqad, hal 24-25).
Komitmen Syahadat Rasulullah ?
Diantaranya, kita wajib membenarkan semua yang beliau
beritakan, termasuk perkara ghaib berupa tanda-tanda hari kiamat,
kejadian di alam akhirat, kisah ummat terdahulu, dan yang lainnya. Karena
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah berdusta. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), ”Dan tidaklah dia berkata menurut hawa
nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya ” (QS. An
Najm : 3-4).
Selain itu, mentaati semua yang beliau perintahkan.
Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu, kecuali terdapat kebaikan dan manfaat di
dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Dan Kami tidak
mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS.
An Nisaa’ : 64).
Kemudian, meninggalkan semua yang beliau larang untuk
dikerjakan. Tidaklah beliau melarang sesuatu kecuali terdapat keburukan dan
bahaya didalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila
aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah dan apabila aku
memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Yang terakhir, tidaklah beribadah kepada Allah kecuali
dengan syariat yang beliau ajarkan. Tidak boleh beribadah dengan hawa nafsu dan
bid’ah. Karena ibadah adalah perkara tauqifiyyah (membutuhkan dalil),
yang harus berdasarkan Al Qur’an dan sunnah beliau. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beribadah dan beramal dengan
amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalan tersebut tertolak”.(HR.
Muslim). (Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul, hal 274-276)
Ikhtitam
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa
ilaha illallah karena [ikhlas] mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban
bin Malik radhiyallahu’anhu)
Demikianlah, 2 kalimat syahadat ini
juga merupakan pondasi ibadah dimana semua ibadah dibangun diatasnya. Tidaklah
diterima suatu ibadah, kecuali jika diniatkan ikhlas karena Allah (kandungan
syahadat Laa ilaaha illallÄh) dan mengikuti syariat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (kandungan syahadat Muhammad Rasulullah). Dan kualitas
ibadah seseorang berbeda-beda sebanding dengan kadar ikhlas dan ittiba’
dalam ibadahnya tersebut. (Lihat Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul).
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits
2.http://buletin.muslim.or.id 3.https://abu0mushlih.wordpress.com
Jakarta
22/1/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar