فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Ali Imran:159)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
Muqaddimah
Seringkali
dijumpai dalam firman-Nya, Allah Ta’ala
menyandingkan antara tawakal dengan orang-orang yang beriman. Hal ini
menandakan bahwa tawakal merupakan perkara yang sangat agung, yang tidak
dimiliki kecuali oleh orang-orang mukmin. Bagian dari ibadah hati yang akan
membawa pelakunya ke jalan-jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, penyampai wahyu
Allah, “Apakah tawakal itu?” Ia menjawab, “Tawakal adalah yakin pada realita
bahwa makhluk bukanlah pembawa keuntungan, bukan pula pembawa kerugian, tidak
memberi, tidak pula menghalangi, dan tidak menggantungkan harapan kepada
makhluk apapun. Ketika seorang hamba telah yakin demikian, ia tidak melakukan
pekerjaan kecuali untuk Allah, dan tidak mempunyai harapan kecuali dari-Nya.
Inilah hakikat dari tawakal.”
Diantara
firman-Nya tentang tawakal ketika disandingkan dengan orang-orang beriman, “… dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya
kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal” (QS. Al
Ma’idah: 11).
Dari Umar bin Khattab ra berkata, bahwa
beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sekiranya kalian benar-benar
bertawakal kepada Allah SWT dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh
kalian akan diberi rizki (oleh Allah SWT), sebagaimana seekor burung diberi
rizki; dimana ia pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore
hari dalam keadaan kenyang (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).
Makna Dan Hakekat Tawakal
Dari segi
bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan,
mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal
adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala
urusannya hanya kepada Allah SWT.
Sedangkan
dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang
sesungguhnya memiliki muara yang sama. Diantara definisi mereka adalah:
1. Menurut Imam Ahmad bin Hambal.Tawakal merupakan aktivias hati, artinya
tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang
diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan
tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/
Tahdzib Madarijis Salikin, tt : 337)
2. Ibnu Qoyim al-Jauzi“Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca;
penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah
terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa
dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala
‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca ;
faktor-faktor yang mengarakhkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha
keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat
wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)
Sebagian
ulama salafuna shaleh lainnya memberikan komentar beragam mengenai pernak
pernik takawal, diantaranya adalah ungkapan : Jika dikatakan bahwa Dinul Islam
secara umum meliputi dua aspek; yaitu al-isti’anah (meminta pertolongan Allah)
dan al-inabah (taubat kepada Allah), maka tawakal merupakan setengah dari
komponen Dinul Islam. Karena tawakal merupakan repleksi dari al-isti’anah
(meminta pertolongan hanya kepada Allah SWT) : Seseorang yang hanya meminta
pertolongan dan perlindungan kepada Allah, menyandarkan dirinya hanya
kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia bertawakal kepada Allah.
3.Salafus saleh lainnya, Sahl bin Abdillah al-Tasattiri juga
mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan jalan menuju penghambaan kepada Allah.
Penghambaan merupakan jalan menuju kewara’an (sifat menjauhkan diri dari segala
kemaksiatan). Kewaraan merupakan jalan mmenuju pada kezuhudan. Dan kezuhudan
merupakan jalan menuju pada ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336).
4.Imam Ibnu Rajab rahimahullah
berkata, “Hakikat tawakal adalah hati
benar-benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat (hal-hal
yang baik) dan menolak mudhorot (hal-hal yang buruk) dari urusan-urusan dunia
dan akhirat”
5.Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai
berikut, “Tawakkal ialah menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu
kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala
ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.
6.Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Tawakal adalah menyandarkan
permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa-apa
yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan menempuh
sebab (sebab adalah upaya dan aktifitas yang dilakukan untuk meraih tujuan)
yang diizinkan syari’at.”
Syarat-Syarat Tawakal
Untuk
mewujudkan tawakal yang benar dan ikhlas diperlukan syarat-syarat.
Syarat-syarat ini wajib dipenuhi untuk mewujudkan semua yang telah Allah
janjikan. Para ulama menyampaikan empat syarat terwujudnya sikap tawakal yang
benar, yaitu:
1. Bertawakal
hanya kepada Allah saja. Allah berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan
kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan
bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Huud: 123).
2. Berkeyakinan yang kuat bahwa Allah Maha
mampu mewujudkan semua permintaan dan
kebutuhan hamba-hamba-Nya dan semua yang didapatkan hamba hanyalah dengan
pengaturan dan kehendak Allah. Allah berfirman,“Mengapa kami tidak bertawakal kepada Allah padahal Dia telah
menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap
gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja
orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (QS. Ibrahim: 12).
3. Yakin bahwa Allah akan merealisasikan apa yang di-tawakal-kan
seorang hamba apabila ia mengikhlaskan niatnya dan menghadap kepada Allah
dengan hatinya. Allah berfirman, “Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.“
(QS. Ath-Thalaq: 3).
4. Tidak putus asa dan patah hati dalam semua usaha yang
dilakukan hamba dalam memenuhi kebutuhannya dengan tetap menyerahkan semua
urusannya kepada Allah. Allah berfirman, “Jika mereka
berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku, tidak ada
Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang
memiliki ‘Arsy yang agung.’”(QS. At-taubah: 129).
Dampak positif tawakal
1.
Perwujudan dari keimanan dan kepasrahan kepada Allah SWT.
2. Mendukung usaha perdamaian antar sesama manusia.
3. Menguatkan jiwa dalam menghadapi permasalahan hidup.
4. Mendatangkan ketenangan jiwa.
5. Menumbuhkan kesadaran bahwa sesuatu kembali kepada Allah.
6. Mendatangkan kepuasan batin.
7. Membiasakan diri berlaku tawakal
8. Berusaha sabar ketika sudah berusaha dengan sekuat tenaga, tetapi masih
2. Mendukung usaha perdamaian antar sesama manusia.
3. Menguatkan jiwa dalam menghadapi permasalahan hidup.
4. Mendatangkan ketenangan jiwa.
5. Menumbuhkan kesadaran bahwa sesuatu kembali kepada Allah.
6. Mendatangkan kepuasan batin.
7. Membiasakan diri berlaku tawakal
8. Berusaha sabar ketika sudah berusaha dengan sekuat tenaga, tetapi masih
Ikhtitam
Ini semua
menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seorang hamba
ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada Allah semata dan
upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat berlindung selain-Nya. Jika
kita yakin bahwa Allah ta’ala
yang menguasai hidup dan mati kita, mengapa kita menyandarkan hati kita kepada
makhluk yang lemah yang tidak bisa memberikan manfaat dan mudharat kepada kita?
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah!
Kami sekali-kali tidak akan ditimpa musibat, kecuali apa yang telah ditakdirkan
Allah kepada kami; dan orang-orang yang beriman hendaklah bertawakal sepenuhnya
kepada Allah itu. At-Taubah:51
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah saja hendaknya kalian
bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah:
23). Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban menyandarkan hati semata-mata
kepada Allah, karena tawakal adalah termasuk ibadah.
Sumber:
1.era muslim.com 2.muslimah.or.id. 3.Al-Qur’an dan Hadts
Jakarta 14/1/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar