Muqaddimah
Al Quran
sebagai pedoman manusia mengandung keindahan dan kehebatan yang sangat luar
biasa. Ia disusun dengan bahasa yang sangat indah. Kandungan sastranya yang
begitu tinggi membuat orang – orang tidak mampu menandingi kehebatannya.
Disamping itu, Al Quran merupakan rujukan dari semua tingkah laku (akhlak) Nabi
SAW. Meskipun demikian, karena kehebatannya yang luar biasa itulah, terkadang
terdapat masalah – masalah yang belum begitu jelas. Oleh karena itu diperlukan
penafsiran terhadap ayat – ayat Al Quan tersebut. Akan tetapi, untuk
menghindari terjadinya penafsiran –penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud
dari kandungan Al Quran tersebut, sehingga dibentuklah kaidah – kaidah sebagai
pedoman bagi seorang mufassir untuk menafsirkan. Dengan makalah singkat ini,
kami berusaha menyampaikan untuk bersama – sama belajar tentang kaidah – kaidah
tersebut. Dengan demikian Al Quran tidak akan kehilangan eksistensinya sebagai
kalam Alloh.
Pengertian Kaidah dan Tafsir
Qowaid al tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari
kata qowaid dan kata tafsir. Qowaid, secara etimologis, merupakan bentuk jamak
dari kata qoi’dah atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qo’idah sendiri,
secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip(Supiana-M.
Paman, Ulumul Qur’an ( Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 273.)
Secara bahasa tafsir mengikuti wazan “taf’il”,
berasal dari aal kata Al-fasr yng berarti menjelaskan dan mengungkapkan.
Menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang absrak( Manna Khalil
al qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an ( Bogor : Pustaka Lintera Antar Nusa), hlm.
456.)
Sedangkan menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu
Hayyan, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara
mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna
yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya( Manna Khalil al qattan. Ibid. Hlm. 456.)
Secara terminologis terdapat banyak difinisi yang di
ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh Az-Zarqani yang mengungkapkan bahwa tafsir
adalah “ suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an dari segi dalalahnya
sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan manusiawi. Begitu pula imam
Al-Qurtubi yang mengatakan, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz”. Sedangkan
As-Suyuti yang dikutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “ ilmu yang
membahas maksud Allah ta’ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang
mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna”.
Urgensi Kaidah Tafsir
Untuk menekuni
bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya
kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa
Arab, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu
memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh
kemudahan dalam menangkap pesan-pesan
Al-Qur’an.
Ibn ‘Abbas,
yang dinilai sebagai seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud
firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama,
yang dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan
bahasa mereka.kedua, yang tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak
mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama.keempat,
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Cakupan Kaidah Tafsir
Menurut Qurais Shihab komponen kaidah-kaidah
penafsiran Al Qur’an mencakup:
1. Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran
2. Sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran
3. Patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik
dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik
langsung dari penggunaan Al-Quran.
Para ahli tafsir berbeda pandangan
dalam hal menentukan kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an. Berikut akan
dipaparkan dua orang ulama yang merumuskan kaidah tafsir. Abd ar-Rahman ibn
Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an
mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan
secara umum seperti hukum dan tauhid.Beberapa kaidah pokok diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Kaidah yang
terkait dengan kebahasaan
2. Kaidah yang
terkait dengan hukum
3. Kaidah yang
berhubungan dengan tauhid
4. Kaidah yang
berhubungan dengan pedoman hidup
Muhammad ibn Alawi Al-Maliki Al-Hasani
misalnya, berpandangan bahwa oleh karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab
yang jelas, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yusuf (10) : 2,“
sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-qur’an dengan bahasa arab, agar kamu
memahami “. Maka
kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat
pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman azas-azasnya, penghayatan terhadap
redaksinya dan pengetahuan akan rahasia-rahasia yang dikandungnya.
Kaidah Al Qur’an
1.Kaidah Quraniyah ialah penafsiran al-Quran
yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran.
Hal ini didasarkan atas pernyataan Al Quran
bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna al-Quran secara tepat hanyalah Allah.
QS. Al Qiyamah (75) : 19, “Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya.”
Jika satu nas menggunakan redaksi yang
bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut,
sekalipun nas itu turun untuk menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini
dipegangi oleh mayoritas ulama dengan argumentasinya yang bervariatif.
Misalnya pada QS. AL Maidah (5) : 38 “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Menurut riwayat ayat ini turun untuk
menanggapi suatu kasus pencurian perhiasan yang dilakukan seorang perempuan
bernama Tumah. Persoalan yang muncul dalam hal ini, lafaz yang digunakan
berbentuk isim mufrad yang dita’rifkan termasuk kategori lafaz umum. Jumhur ulama’ menerapkan langsung hukum tersebut
tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul karena lafaz tersebut
berbentuk umum.
Selain pendapat tersebut, ada ulama’ yang memberikan analisis berbeda, yaitu dengan mengetahui
sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik
kualitas peristiwa, pelaku, tempat maupun waktunya. Mekanisme pendapat kedua
ini lebih banyak menggunakan metode qiyas, karena jika seandainya yang
dikehendaki lafaz umum, mengapa Allah masih menunggu peristiwa-peristiwa
tertentu.
1) Kandungan suatu ayat
yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukan bahwa hukum yang
terkandung berkaitan dengan nama yang mulia. Misalnya pada QS. Al Baqarah (2)
: 32 , mereka menjawab:“maha suci engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya engkaulah yang
maha mengetahui lagi maha bijaksana.” ayat tersebut merupakan dialog Tuhan
dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di
bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan mengatakan: “Apakah
Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat
kerusakan dan saling membunuh?”. QS. Al Baqarah (2) : 30. Untuk membuktikan kemahatahuan Tuhan, Dia
mengajar Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini
mengakui kemaha-tahuan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan
keterbatasannya.
2) Kaidah yang bertalian
dengan mutasyabihat dan muhkamat
Dalam satu pengertian Al Quran semuanya
muhkam, dalam pengertian lain semuanya mutasyabih, tetapi pada pengertian lain
lagi sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih.
Maksud muhkam, ayat-ayatnya tidak ada
yang kontradiksi, semua perintahNya kembali kepada kebaikan manusia dan semua
laranganNya kembali kepada kejelekan.
Ungkapan yang menunjukkan semuanya muhkam diantaranya pada QS. Zumar
(39): 23, “Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)
lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya
seorang pemimpinpun. “
Argumen lain yang menyatakan semuanya
mutasyabih adalah seperti pada QS. Ali Imran (3) : 7: “Dia-lah yang
menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Mutasyabih dalam hal kebaikan dan
kejujuran, petunjuk dan kebenaran dan lain-lain. Di samping hal itu juga ada
anggapan sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih, sebagaimana dalam
penjelasan di dalam al-Quran.Misalnya ada ayat yang menjelaskan kekuasaan
Allah, sedangkan apa yang Dia kehendaki terjadi dan apa yang tidak dikehendaki
tidak terjadi, Allah juga memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki tetapi
juga menyesatkan kepada orang yang dikehendaki.
Memahami mutasyabih itu harus setelah
memahami ayat-ayat muhkamat. Muhkamat adalah ummul kitab, sebagai
sesuatu yang pokok, sedangkan yang mutasyabih adalah sebagai cabang. Memahami
yang pokok harus terlebih dahulu dari pada memahami cabangnya. Dengan demikian
jika menafsirkan suatu ayat mutasyabih, maka terlebih dahulu harus mengetahui
ayat yang muhkam sehingga mendapat suatu pengertian yang kongkrit dan mendapat
keyakinan yang mendalam tanpa adanya keragu-raguan.
Untuk memahami mutasyabih itu cara
mentakwilkannya harus dikembalikan pada muhkamnya. Apabila mufasir sudah
mendapat suatu pengertian yang positif dari ayat yang muhkam, maka ia harus
menyelidiki dan membahas ayat-ayat mutasyabih dengan berpedoman pada ayat-ayat
muhkam.
Kaidah Sunnah
Berdasarkan penjelasan yang ada dalam
al-Quran 16:44 dan 64, Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan
ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka Rasul merupakan sumber
penjelas tentang makna-makna al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal
pikiran tetapi menurut wahyu ilahi. Dalam hal ini, Abd. Muin
Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber penafsiran yaitu
penafsiran yang bersumber pada wahyu al-Quran dan penafsiran yang diturunkan
kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Quran dan kemudian dikenal dengan
al-Sunnah.
Kaidah yang dipergunakan di antaranya
ialah:
1.Sunnah harus dipakai sesuai dengan
petunjuk al-Quran
Berdasarkan atas hadis Nabi sebagai
penjelas al-Quran, secara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan Al Quran sebagai materi yang dijelaskannya.
2.Menghimpun hadis yang pokok bahasannya
sama.
Hadis yang dimaksud dalam hal ini
adalah hadis yang sahih. Dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih
kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad dan menkhususkan
yang umum. Dengan demikian akan didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh
berdasarkan suatu ketetapan, bahwa hadis berfungsi menafsirkan Al Quran dan
menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum
terungkap dan lain sebagainya.
Kaidah Perkataan Sahabat
Mufassir tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut
pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis. Selanjutnya, apabila terdapat
penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat Al Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan
tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang
tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
Kaidah Perkataan Tabi’in
Keberadaan perkataan tabiin dalam
menafsirkan Al Qur’an ini
diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan
alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya
sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
Kaidah
Penafsiran Kontemporer
Tafsir
kontemporer dapat dikatakan sebagai konsep penafsiran yang dikembangkan oleh
para pemikir muslim neo-modernisme atau post-modernisme. Modernisme Islam yang
tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 memang mampu melahirkan pembaruan
pemikiran menuju masyarakat muslim modern. Akan tetapi di sisi lain modernisme
masih memiliki celah konservatisme dalam konsep pemurnian Islam. Pendekatan
konservatif terhadap konsep ini kembali menarik Islam ke arah pemikiran
tradidional yang dikenal dengan istilah puritanisme.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Pada saat umat Islam terjebak pada puritanisme ini muncullah pembaru-pembaru Islam abad ini. Mereka inilah yang dikenal pemikir Islam kontemporer. Dalam hal penafsiran al-Qur’an, terdapat banyak variasi tafsir yang ditawarkan. Para pemikir mampu memberikan alternatif penafsiran yang unik. Di antara para pemikir tersebut adalah Muhammad Shahrur, dan Fazlurrahman.
Berikut ini
adalah kaidah khusus tafsir yang dikembangkan oleh keduanya:
Muhammad
Shahrur
Muhammad
Shahrur mengembangkan metode penafsiran yang disebut dengan intratektualitas
dan paradigma-sintagmatis. Kaidah yang digunakan dalam metode ini adalah
sebenarnya adalah kaidah dasar tafsir yang juga digunakan dalam
penafsiran-penafsiran yang lain, yaitu sebagian ayat al-Qur’an menafsirkan ayat
yang lain. Namun yang menjadikannya berbeda adalah analisis yang digunakan.
Analisis pemahaman terhadap sebuah konsep dari suatu teks dilakukan dengan cara
mengaitkannya dengan konsep dari teks-teks lain yang mendekati atau yang
berlawanan (paradigmatik).
Kaidah lain
yang dikembangkan oleh Shahrur adalah bahwa di dalam bahasa Arab tidak terdapat
sinonim, setiap kata mempunyai kekhususan makna. Bahkan satu kata bisa jadi
memiliki lebih dari satu potensi makna. Salah satu faktor yang bisa menentukan
makna mana yang lebih tepat dari potensi-potensi makna yang ada ialah konteks
logis dalam suatu teks di mana kata itu disebutkan. Inilah yang disebut dengan
analisis sintagmatis, yang memandang bahwa makna setiap kata pasti dipengaruhi
oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya.
Fazlur Rahman
a)
Metode tafsir yang dikembangkan oleh
Fazlur Rahman dikenal dengan metode gerakan ganda (double movements). Metode
ini sangat terkait dengan kaidah khusus yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman
dalam memaknai al-Qur’an. Menurutnya esensi al-Qur’an adalah moral yang
menekankan pada monoteisme dan keadilan sosial. Barawal dari kaidah ini
dikembangkanlah metode gerakan ganda.
b)
Metode ini dikembangkan dengan
menarik situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu ditarik
kembali ke masa sekarang. Elaborasi definitif dari metode ini adalah sebagai
berikut:
c)
Pertama, memahami arti atau makna dari suatu teks dengan cara mengkaji situasi
atau problem historis pada saat itu. Dari kajian tersebut ditarik suatu
kesimpulan ke arah nilai-nilai moral, prinsip-prinsip umum dan tujuan jangka
panjang.
d)
Kedua, nilai-nilai tersebut kemudian ditarik dalam konteks sosio-historis pada
saat sekarang ini dan digunakan untuk mengkaji dan menilai berbagai persoalan
kontemporer yang sedang berlangsung.
Di samping dua pemikir di atas masih ada sederetan
pemikir Islam kontemporer yang mengembangkan kaidah penafsiran secara unik
sesuai dengan perkembangan sosio-historisnya masing-masing. Seperti Nasr Abu
Zaid, Farid Esack, Mohammad Arkoun, Bint Syati’ dan lain-lain.
KESIMPULAN
1.Kaidah tafsir
dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan
pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran merupakan
suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan perkembangan sosial,
ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan lebih tepat jika
dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini, kaidah tersebut
tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur kerja yang sama.
Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda asalkan memiliki
kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan
2.Penerapan
kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para mufasir. Dari
berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah dasar, kaidah
umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai dengan metode penafsirannya
masing-masing
3.Pada era
kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan
intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan perkembangan
intelektualitas global. Para pemikir muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran
sesuai dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.(makalah islami.blogspot.com)
Jakarta 12/1/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar