”Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa
yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata:
“Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan
demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap
kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).(QS. At-Taubah:59)
قَالَ اللهُ : مَنْ لَمْ يَرْضَى بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ بِنِعْمَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ بِبَلاَئِيْ فَلْيَخْرُجْ تَحْتَ سَمَائِيْ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ
Artinya:
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”. (Hadits Qudsi)
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”. (Hadits Qudsi)
Muqaddimah
Ridha kepada Tuhan, menurut para sufi; mengandung
makna yang luas, diantaranya: Tidak menentang pada qadha dan qadar Tuhan,
menerimanya dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga
yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang
menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta
surga dari Tuhan dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha
sebelum turunnya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah
turunnya, bahkan perasaan senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.
Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap
optimis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik,
bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang
terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan.
Berbeda dengan orang-orang yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini,
mereka selalu ridha apabila melakukan perbuatan yang Allah haramkan, dalam
hatinya selalu merasa kurang apabila meninggalkan kebiasaan buruk yang selama
ini mereka perbuat, bermakna merasa puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa
membuat risau, khawatir, dan selalu mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu
ia lakukan karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya
syaitan telah menjerat dirinya dalam kubangan dosa.
Mukmin yang Benar ?
Dalam hadits atha’, Ibnu
Abbas berkata: Ketika Rasulullah SAW menemui sahabat – sahabat Anshor, Beliau
bersabda: ”apakah kamu orang – orang mukmin?” , lalu mereka diam, maka
berkatalah Umar : “ Ya, Rasulullah”. Beliau SAW bersabda lagi: “ apakah tanda
keimananmu?”, mereka berkata: “ kami bersyukur menghadapi kelapangan, bersabar
menghadapi bencana, dan ridha dengan qada’ ketentuan Allah”, kemudian Nabi SAW
bersabda lagi:”Orang- orang mukmin yang benar, demi Tuhan Ka’ba”.
Ridha bermakna menerima semua realita takdir dan ketentuan
Allah dengan senang hati, ikhlas, lapang dada, bahagia, tanpa merasa kecewa
atau marah. Walaupun ketentuan Allah tersebut tidak sesuai dengan keinginan
kita dan kadang membawa kita pada kesedihan. Saya mengatakan demikian,
karena kadang realita kehidupan memang ada yang membawa kita pada kekecewaan
dan kesedihan. Tapi kalau kita bisa ridha menerima semuanya dan mengembalikan
semua kejadian pada Penguasa Segala Kejadian (Allah), maka kita akan terbebas
dari rasa kekecewaan dan kesedihan hingga kita pun bisa berlapang dada menerima
kenyataan hidup, ridha menerima ketentuan-Nya. Karena sesungguhnya, tidak ada
ketentuan-Nya yang buruk, semua pasti ada hikmahnya, hanya saja memang kadang
butuh waktu bagi kita untuk memahami, hikmah apa yang terkandung dalam setiap
ketentuan-Nya.
Macamnya Ridha ?
Ridha berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan “menerima dengan suci hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Ridha hamba terhadap hukum Allah. ORang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut.
Rida adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas
menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Rida
merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambaNya daripada
usahanya yang maksima dalam pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan
manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya
tersebut. Allah berfirman yang bermaksud:
“Dan keredhaan Allah adalah lebih besar.” (QS.At-Taubah:72)
”Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS 98: 8).
“Hai jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diredhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu.”(QS.Al-Fajr:27-30)
Ridha berasal dari kata radhiyah yang memiliki arti “rela” dan “menerima dengan suci hati”. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu :
Ridha hamba terhadap hukum Allah. ORang yang ridha terhadap hukum Allah akan senantiasa menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, selalu bersyukur dan menjauhi segala yang dibenci Allah swt.
Ridha Allah terhadap hamba-Nya. Jika Allah swt. meridhai hamba-Nya, Ia akan memberikan tambahan kenikmatan, pahala dan meninggikan derajat hamba-Nya tersebut.
Rida adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas
menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Rida
merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hambaNya daripada
usahanya yang maksima dalam pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan
manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya
tersebut. Allah berfirman yang bermaksud:
“Dan keredhaan Allah adalah lebih besar.” (QS.At-Taubah:72)
”Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS 98: 8).
“Hai jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diredhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu.”(QS.Al-Fajr:27-30)
Ridha alal Sufi ?
Abdul wahid bin Zaid berkata, Ridha adalah pintu Allah yang
terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.
Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total terhadap
ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ridha kepada Allah).
Bagi al-Ghazali kelebihan rida Allah SWT merupakan
manifestasi daripada
keredhaan hamba.Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada
Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan
Tuhannya agar sentiasa dekat dengan Tuhannya.
Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahawa seorang sufi tidak merasa terbeban dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela di atas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Rida pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini.
Ibn Khatib mengatakan: “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
keredhaan hamba.Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada
Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan
Tuhannya agar sentiasa dekat dengan Tuhannya.
Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahawa seorang sufi tidak merasa terbeban dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela di atas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Rida pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini.
Ibn Khatib mengatakan: “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
Syekh Maulana Jalaluddin al-Rumi menggambarkan para sufi yang berhati ridha
kepada Allah, antara lain sebagai berikut : “ Aku perkenalkan para wali, yang
mulutnya tidaklah berkomat-kamit dengan lafadz do’a; mereka adalah orang-orang
mulia yang tunduk dengan hati ridha. Mereka memandang haram permohonan untuk
menolak qadha. Mereka melihat bahwa pada qadha dan qadar Tuhan itu ada rasa
nikmat yang khas, dan memandang kufur upaya memohon kelepasan dari-Nya.
Berprasangka baik telah membuka dan memenuhi hati mereka, sehingga tidaklah
mereka memakai pakaian biru karena sedih. Apa saja yang datang kepada mereka,
menggembirakan hati mereka; ia akan berubah menjadi api kehidupan, kendati ia
yang datang itu api; racun yang berada di kerongkongan mereka, mereka pandang
seperti gula; dan batu di jalanan seperti permata; sama bagi mereka yang baik
dengan yang buruk. Semua sikap ini berkembang dari “husnuzzan”, prasangka baik
mereka. Berdo’a bagi mereka suatu kekufuran, karena bila mereka melakukannya
itu berarti mereka mengatakan: Ya Tuhan kami, rubahlah qadha ini sehingga
menjauh dari kami, atau rubahlah qadha ini sehingga dapat membawa keuntungan
untuk kami. Bagaimanakah jadinya dunia ini, bila ia harus berjalan menurut
keinginan manusia, bukan menurut qadha dan qadar-Nya? Demikianlah antara lain
sikap sufi yang hatinya dipenuhi ridha kepada Tuhan. Walaupun berdo’a di
syariatkan oleh agama, mereka karena mencapai taraf kerohanian yang tinggi,
tidak merasa pantas lagi meminta ini dan itu kepada Allah.
Ridha
menurut sufi wanita Rabi'ah
al-Adawiyah mengatakan:''kapan seorang hamba menjadi orang yg ridha? lalu
Rabi'ah menjawab, ''Bila kegembiraanya waktu ditimpa bencana sama dengan
kegembiraanya dikala mendapat karunia''.
Keutamaan Ridha atas Qadha’ dan Qadar-Nya ?
Jikalau
mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya
kepada mereka dan berkata “cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan
sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami
adalah orang-orang uyang berharap kepada Allah” (tentunya yang demikian itu
lebih baik bagi mereka) (QS. At Taubah ayat 59)
Balasan
mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga ‘Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi
orang yang takut kepada Tuhannya. (QS.Al
bayyinah ayat 8)
Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepda Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya selama-lamanya. Mereka kekal
didalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah ayat 100)
“….Allah
ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al Mujaadilah ayat 22)
Ridha Allah
kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan
derajat kemuliaannya. Sedangkan ridha seorang hamba kepada Allah mempunyai arti
menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah
ialah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Adapun menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika mendapatkan
nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah.
Ikhtitam
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar ridha akan qadhā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya.”
Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ridha, hatinya tidak boleh mendongkol. Ridha dengan qadhā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.
Sumber:1.Al-Qur’an
Hadits 2.https://jalandakwahbersama.wordpress.com 3.http://belajarilmutasawuf.blogspot.com
4.http://tanbihun.com
jakarta 22/1/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar