HUKUM
MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL ?
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ
رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ
الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ
إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾
Artinya : “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak
(pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan
dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)
« مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
”Siapa yang meniru
suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar
ra).
Muqaddimah
Hukum mengucapkan selamat hari Natal bagi setiap muslim tidak bisa diseragamkan karena hukum suatu perbuatan bisa berbeda antara satu orang muslim dari orang muslim lainnya lantaran perbedaan keadaannya dan situasinya. Artinya, tidak mutlak haram. Menjadi berhukum boleh apabila diniatkan untuk menunjukkan keutamaan ajaran Islam dari sisi akhlak.
“Dan tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah, sedangkan ucapan tersebut ditujukan kepada orang yang memiliki kedekatan seperti saudara atau rekan bisnis yang juga menghormati umat Islam. Dalam situasi sebaliknya hukum mengucapkannya bisa berhukum haram,” kata Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin kepada NU Online melalui surat elektronik, Sabtu (20/12).
Hukum mengucapkan selamat hari Natal bagi setiap muslim tidak bisa diseragamkan karena hukum suatu perbuatan bisa berbeda antara satu orang muslim dari orang muslim lainnya lantaran perbedaan keadaannya dan situasinya. Artinya, tidak mutlak haram. Menjadi berhukum boleh apabila diniatkan untuk menunjukkan keutamaan ajaran Islam dari sisi akhlak.
“Dan tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah, sedangkan ucapan tersebut ditujukan kepada orang yang memiliki kedekatan seperti saudara atau rekan bisnis yang juga menghormati umat Islam. Dalam situasi sebaliknya hukum mengucapkannya bisa berhukum haram,” kata Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin kepada NU Online melalui surat elektronik, Sabtu (20/12).
Apa Hukum
Mengucapkan Selamat... ?
Terdapat perbedaan
pendapat seputar hukum mengucapkan selamat Natal. Perbedaan tersebut mengerucut
kepada satu hal; apakah ucapan selamat Natal termasuk kategori akidah
(keyakinan) atau muamalah (pergaulan)? Jika dikategorikan akidah, berarti
ucapan itu merupakan doa dan kerelaan atas agama orang lain. Bila dikategorikan
muamalah, maka ucapan tersebut justru dianjurkan karena merupakan wujud
toleransi yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Ada dua
pendapat didalam permasalahan ini :
1. Ibnu Taimiyah, Ibnul
Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu
Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh
Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal
hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama
mereka. Allah tidak meredhoi adanya
kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam pengucapan selamat
kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.
Diantara
bentuk-bentuk tasyabbuh :
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
2. Jumhur ulama
kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal.
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya.
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya.
Adapun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada
tahun 1981 sebelum mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu mengemukakan
dasar-dasar ajaran Islam dengan disertai berbagai dalil baik dari Al Qur’an
maupun Hadits Nabi saw sebagai berikut :
A) Bahwa
ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan ummat
agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah
keduniaan.
B) Bahwa
ummat Islam tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan
peribadatan agama lain.
C) Bahwa
ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih bin Maryam
sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain.
D) Bahwa
barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai
anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik.
E) Bahwa
Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di
dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya (Maryam) sebagai
Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
F) Islam
mengajarkan bahwa Allah SWT itu hanya satu.
G) Islam
mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari
larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik
kemaslahatan.
FATWA NU (NAHDLATUL ULAMA) SOAL NATAL
Menurut Majalah Tempo, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Slamet Effendy Yusuf tak mempermasalahkan jika umat Islam mengucapkan "Selamat Natal" kepada warga Nasrani yang tidak boleh adalah mengikuti ritual natal. Berikut laporan Majalah Tempo, edisi Kamis, 18 Desember 2014:
Menurut Majalah Tempo, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Slamet Effendy Yusuf tak mempermasalahkan jika umat Islam mengucapkan "Selamat Natal" kepada warga Nasrani yang tidak boleh adalah mengikuti ritual natal. Berikut laporan Majalah Tempo, edisi Kamis, 18 Desember 2014:
"Kalau
sebatas ucapan 'Selamat Natal' tidak apa-apa," kata Slamet Effendy Yusuf kepada Tempo, Kamis, 18 Desember
2014.
Menurut Slamet, ucapan "Selamat Natal" merupakan wujud toleransi beragama. Ucapan itu dinilai tidak akan mempengaruhi akidah dan identitas seorang. "Sikap saling menghormati seperti itu tidak ada urusannya dengan pengakuan imani," kata tokoh NU itu.
Walaupun demikian, kata Slamet, dalam ajaran Islam menyatakan sikap toleransi bukan berarti seorang muslim boleh menghadiri dan merayakan Natal. "Karena aktivitas yang bersifat ibadati jelas dilarang. Islam menegaskan prinsip beribadah menurut ajaran masing-masing," kata Slamet.
Menurut Slamet, ucapan "Selamat Natal" merupakan wujud toleransi beragama. Ucapan itu dinilai tidak akan mempengaruhi akidah dan identitas seorang. "Sikap saling menghormati seperti itu tidak ada urusannya dengan pengakuan imani," kata tokoh NU itu.
Walaupun demikian, kata Slamet, dalam ajaran Islam menyatakan sikap toleransi bukan berarti seorang muslim boleh menghadiri dan merayakan Natal. "Karena aktivitas yang bersifat ibadati jelas dilarang. Islam menegaskan prinsip beribadah menurut ajaran masing-masing," kata Slamet.
FATWA MUHAMMADIYAH TERKAIT NATAL
Muhammadiyah menyatakan bahwa mengikuti ritual Natal adalah haram. Sedangkan mengucapkan selamat natal pada umat Kristiani adalah tidak dianjurkan alias tidak tegas menghalalkan atau mengharamkan. Dalam fiqih ini berarti makruh. Kutipan di bawah berasal dari buku Fatwa Tarjih, Cetakan VI, 2003 hal.209-210:
Poin pertama
mengikuti perayaan natal bersama bagi ummat islam adalah Haram hukumnya dalam
konteks ini, perayaan Natal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
perkara-perkara akidah tersebut di atas.
Poin Kedua mengucapkan Selamat Natal dianjurkan untuk tidak dilakukan karena merupakan bagian dari perkara kegiatan perayaan Natal, agar Umat Islam tidak terjerumus kepada perkara syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah Allah Subhanahu Wata’ala serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
Poin Kedua mengucapkan Selamat Natal dianjurkan untuk tidak dilakukan karena merupakan bagian dari perkara kegiatan perayaan Natal, agar Umat Islam tidak terjerumus kepada perkara syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah Allah Subhanahu Wata’ala serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
PENDAPAT ULAMA MADZHAB EMPAT
Mayoritas ulama salaf dari madzhab empat - Syafi'i, Hanafi Maliki, Hanbali, mengharamkan ucapan selamat pada hari raya non-Muslim. Berikut pendapat mereka:
MADZHAB SYAFI'I
Damiri dalam Al-Najm Al-Wahhaj fi Syarh Al-Minhaj, "Fashl Al-Takzir", hlm. 9/244, dan Khatib Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Ma'ani Alfadzil Minhaj, hlm. 4/191, menyatakan:
Artinya:
Ditakzir (dihukum) orang yang sepakat dengan orang kafir pada hari raya mereka,
orang yang memegang ular, yang masuk api, orang yang berkata pada kafir dzimmi
"Hai Haji", orang yang mengucapkan selamat pada hari raya (agama
lain), orang yang menyebut peziarah kubur orang saleh dengan sebutan haji, dan
pelaku adu domba karena banyaknya menimbulkan kerusakan antara manusia. Berkata
Yahya bin Abu Katsir: Pengadu domba dalam satu jam dapat membuat kerusakan yang
baru bisa dilakukan tukang sihir dalam setahun.
MADZHAB HANAFI
Ibnu Najim dalam Al-Bahr Al-Raiq Syarah Kanz Al-Daqaiq, hlm. 8/555,
Ibnu Najim dalam Al-Bahr Al-Raiq Syarah Kanz Al-Daqaiq, hlm. 8/555,
Artinya: Abu
Hafs Al-Kabir berkata: Apabila seorang muslim yang menyembah Allah selama 50
tahun lalu datang pada Hari Niruz (tahun baru kaum Parsi dan Kurdi pra Islam -
red) dan memberi hadiah telur pada sebagian orang musyrik dengan tujuan untuk
mengagungkan hari itu, maka dia kafir dan terhapus amalnya. Berkata penulis
kitab Al-Jamik Al-Asghar: Apabila memberi hadiah kepada sesama muslim dan tidak
bermaksud mengagungkan hari itu tetapi karena menjadi tradisi sebagian manusia
maka tidak kafir akan tetapi sebaiknya tidak melakukan itu pada hari itu secara
khusus dan melakukannya sebelum atau setelahnya supaya tidak menyerupai dengan
kaum tersebut. Nabi bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia
bagian dari mereka." Penulis kitab Al-Jamik Al-Asghar berkata: Seorang
lelaki yang membeli sesuatu yang dibeli orang kafir pada hari Niruz dia tidak
membelinya sebelum itu maka apabila ia melakukan itu ingin mengagungkan hari
itu sebagaimana orang kafir maka ia kafir. Apabila berniat untuk makan minum
dan bersenang-senang saja tidak kafir.
MADZHAB
MALIKI
Ibnul Haj Al-Maliki dalam Al-Madkhal, 2/46-48 menyatakan:
Ibnul Haj Al-Maliki dalam Al-Madkhal, 2/46-48 menyatakan:
Artinya:
Ibnu Qasim ditanya soal menaiki perahu yang dinaiki kaum Nasrani pada hari raya
mereka. Ibnu Qasim tidak menyukai (memakruhkan) hal itu karena takut turunnya
kebencian pada mereka karena mereka berkumpul karena kekufuran mereka. Ibnu
Qasim juga tidak menyukai seorang muslim memberi hadiah pada Nasrani pada hari
rayanya sebagai hadiah. Ia melihat hal itu termasuk mengagungkan hari rayanya
dan menolong kemaslahatan kufurnya. Tidakkah engkau tahu bahwa tidak halal bagi
muslim membelikan sesuatu untuk kaum Nasrani untuk kemaslahatan hari raya
mereka baik berupa daging, baju; tidak meminjamkan kendaraan dan tidak menolong
apapun dari agama mereka karena hal itu termasuk mengagungkan kesyirikan mereka
dan menolong kekafiran mereka. Dan hendaknya penguasa melarang umat Islam
melakukan hal itu. Ini pendapat Malik dan lainnya. Saya tidak tahu pendapat
yang berbeda.
Artinya: Haram mengucapkan selamat, takziyah (ziarah
orang mati), iyadah (ziarah orang sakit) kepada non-muslim karena itu berarti
mengagungkan mereka menyerupai (mengucapkan) salam. Boleh iyadah kafir dzimmi apabila diharapkan Islamnya
dan hendaknya mengajak masuk Islam. Karena, dalam sebuah hadits riwayat
Bukhari, Nabi pernah iyadah pada orang Yahudi dan mengajaknya masuk Islam lalu
si Yahudi masuk Islam lalu berkata, "Alhamdulillah Allah telah
menyelamatkan aku dari neraka." Dan karena iyadah termasuk akhak mulia.
Ikhtitam
لايَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah, 8)
« مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ».
”Siapa yang meniru
suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar
ra).
Intinya, golongan
pertama ini juga menganggap hari raya sebagai syi’ar agama. Mengucapkan
selamat hari raya berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut. Padahal, menurut
mereka, setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing. Dan umat Kristiani
menjadikan Natal sebagai hari besarnya. Sementara Islam sudah memiliki dua hari
raya sendiri
Golongan kedua,Kebolehan memberikan
ucapan selamat juga berlaku jika orang Kristen yang memberikan ucapan selamat
kepada kita. Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ
بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: Apabila kamu
diberi penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik,
atau balaslah dengan penghormatan yang serupa. Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 86)
Sumber:1.http://www.muslimedianews.com
2.www.alkhoirot.ne
3.http://www.eramuslim.com
Jakarta 22/12/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar