LUASNYA NIKMAT
ALLAH SWT ?
وَإِنْ
تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).
Muqaddimah
وَمَا
بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka
dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl : 53). (Lihat Adhwaul Bayan, 3: 231).
Dalam ayat
ini pula, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi memberikan pelajaran kaedah
bahasa Arab bahwa isim mufrod jika disandarkan pada isim ma’rifah, maka
menunjukkan makna umum. Semisal dalam ayat ini kata “ni’mat Allah”. Nikmat itu
mufrod (tunggal), lafazh jalalah “Allah” adalah isim ma’rifah. Jadi yang
dimaksud adalah seluruh nikmat, bukan hanya satu nikmat saja.
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata,”Nikmat itu ada dua, nikmat muthlaqoh (mutlak) dan (nikmat)
muqoyyadah (nisbi). Nikmat
muthlaqoh adalah nikmat yang mengantarkan kepada kebahagiaan yang abadi, yaitu nikmat
Islam dan Sunnah. Nikmat inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita
untuk memintanya dalam doa kita, agar Allah menunjukkan kepada kita jalan
orang-orang yang Allah karuniakan nikmat itu padanya.” [1]
Dari keterangan singkat Ibnul Qayyim rahimahullah di atas,
maka jelaslah bagi kita tentang, ”Apakah nikmat Allah yang hakiki
itu?”. Nikmat Allah yang hakiki itu tidak lain dan tidak bukan adalah
ketika Allah Ta’ala memberikan
hidayah kepada kita sehingga kita dapat mengenal Islam dan Sunnah serta
mengamalkannya. Kita dapat mengenal tauhid, kemudian mengamalkannya dan dapat
membedakan dari lawannya, yaitu syirik,
untuk menjauhinya. Kita dapat mengenal dan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam, dan dapat membedakan dan menjauhi lawannya, yaitu bid’ah.
Kita pun dapat mengenal dan membedakan, mana yang termasuk ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan manakah yang maksiat?
Menghitung Nikmat ?
Kemudian
setelah menyebutkan berbagai nikmat tersebut, Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ
تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).
Yang
dimaksud dengan ayat ini disebutkan dalam Tafsir Al
Jalalain (hal. 278), “Jika kalian tidak mampu menghitungnya,
lebih-lebih untuk mensyukuri semuanya. Namun kekurangan dan kedurhakaan kalian
masih Allah maafkan (bagi yang mau bertaubat, -pen), Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir
juga menjelaskan dalam kitab tafsirnya (4: 675), “Allah benar-benar memaafkan
kalian. Jika kalian dituntut unutk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri,
tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintah untuk mensyukuri
seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu dan bahkan enggan untuk
bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu bisa dan itu bukan tanda Allah itu
zholim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah
mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang
sedikit.”
Imam Ibnu
Jarir Ath Thobari berkata, “Sesungguhnya Allah memaafkan kekurangan kalian
dalam bersyukur. Jika kalian bertaubat, kembali taat dan ingin menggapai ridho
Allah, Dia sungguh menyayangi kalian dengan ia tidak akan menyiksa kalian
setelah kalian betul-betul bertaubat.” Demikian beliau sebutkan dalam Jami’ul Bayan fii Ta’wil Ayyil Qur’an, 8:
119.
Muhammad Al
Amin Asy Syinqithi menjelaskan, “Dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia tidak
mampu menghitung nikmat Allah karena begitu banyaknya. Lalu setelahnya Allah
sebutkan bahwa Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ini menunjukkan atas
kekurangan manusia dalam bersyukur terhadap nikmat-nikmat tersebut. Namun Allah
masih mengampuni siapa saja yang bertaubat pada-Nya. Allah akan mengampuni
setiap orang yang memiliki kekurangan dalam bersyukur terhadap nikmat. Hal ini
diisyaratkan pula dalam ayat,
Jalan Menuju
Kenikmatan ?
Kenikmatan yang hakiki sebagaimana penjelasan di atas
tidaklah mungkin kita raih kecuali dengan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i (ilmu
agama). Hanya dengan menuntut ilmu syar’i kita
dapat mengenal Islam ini dengan benar kemudian dapat mengamalkannya. Tidak
mungkin kita dapat mengenal mana yang tauhid dan mana yang syirik, mana yang
sunnah dan mana yang bid’ah atau mana yang taat dan mana yang maksiat kecuali
dengan menuntut ilmu syar’i. Karena pada asalnya, manusia dilahirkan dalam
keadaan bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
”Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun. Dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar
kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl [16]:
78)
Tidak
ada cara lain untuk mengangkat kebodohan ini dari dalam diri kita kecuali
dengan bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Karena ilmu tidak akan pernah
mendatangi kita, namun kita-lah yang harus mencari dan mendatanginya. Oleh
karena itu, Imam Ahmad rahimahullah berkata, ”Tidak ada suatu
amal pun yang sebanding dengan ilmu bagi orang yang benar niatnya”. Orang-orang
pun bertanya,”Bagaimana niat yang benar itu?”. Imam Ahmad rahimahullah
menjawab,”Seseorang berniat untuk mengangkat kebodohan dari dirinya dan
dari selainnya.” [5]
Ketika
Allah memberikan hidayah kepada kita untuk bersemangat dan konsisten dalam
menuntut ilmu syar’i dengan rajin membaca buku agama atau kitab-kitab para
ulama atau rajin menghadiri majelis-majelis ilmu (pengajian) di masjid-masjid atau pun di tempat lainnya,
maka ini adalah tanda bahwa Allah benar-benar menghendaki kebaikan untuk kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa
yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan memahamkan dia dalam
urusan agamanya.” [6]
Ikhtitam
قُلْ
بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا
يَجْمَعُونَ
”Katakanlah,’Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari
apa yang mereka kumpulkan’”. (QS. Yunus
[10]: 58)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan “karunia Allah” dalam ayat di atas adalah Al
Qur’an, yang merupakan nikmat dan karunia Allah yang paling besar serta
keutamaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan “rahmat-Nya”
adalah agama dan keimanan. Dan keduanya itu lebih baik dari apa
yang kita kumpulkan berupa perhiasan dunia dan kenikmatannya. [2]
Footnote
[1] Ijtima’
Al-Juyuus Al-Islamiyyah, hal 5.
[2] Taisiir
Karimir Rahmaan, hal. 367.
[5] Kitaabul
‘Ilmi, hal. 27.
[6] HR. Bukhari
dan Muslim.
Sumber:1.https://muslim.or.id
2.https://rumaysho.com
Jakarta 16/12/2015
nikmat yang dinikamti bertambah nikmat
BalasHapus