Rabu, 02 Desember 2015

JIHAADUS SYAITHAAN





MEMAKNAI JIHAD FI SABILILLAH ?


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [At-Taubah: 73] [43]
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah saja. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” [Al-Baqarah: 193]

Muqaddimah

جَاهِدُوا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ.

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.”[7]
Para ulama tafsir,para fikih, ushul, dan hadits mendefinisikan jihad dengan makna berperang di jalan Allah swt dan semua hal yang berhubungan dengannya. Sebab, mereka memahami, bahwa kata jihad memiliki makna syar’iy, dimana, makna ini harus diutamakan di atas makna-makna yang lain (makna lughawiy dan ‘urfiy).
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.[1]
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.[2]
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”.[3] Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.
Keistimewaan Jihad ?
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : ‘Amal apa yang paling utama?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: ‘Jihad fii sabiilil-laah.’” [12]
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Barangsiapa yang berperang supaya kalimat Allah tinggi, maka ia fii sabiilillaah (di jalan Allah).” [15]

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ...

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah…” [37]
Keutamaan jihad sangat banyak sekali, di antaranya adalah:
1. Geraknya mujahid (orang yang berjihad di jalan Allah) di medan perang itu diberikan pahala oleh Allah.[23]
2. Jihad adalah perdagangan yang untung dan tidak pernah rugi.[24]
3. Jihad lebih utama daripada meramaikan Masjidil Haram dan memberikan minum kepada jama’ah haji. [25]
4. Jihad merupakan satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid).[26]
5. Jihad adalah jalan menuju Surga. [27]
6. Orang yang berjihad, meskipun dia sudah mati syahid namun ia tetap hidup dan diberikan rizki. [28]
7. Orang yang berjihad seperti orang yang berpuasa tidak berbuka dan melakukan shalat malam terus-menerus. [29]
8. Sesungguhnya Surga memiliki 100 tingkatan yang disediakan Allah untuk orang yang berjihad di jalan-Nya. Antara satu tingkat dengan yang lainnya berjarak seperti langit dan bumi. [30]
9. Surga di bawah naungan pedang. [31]
10. Orang yang mati syahid mempunyai 6 keutamaan: (1) diampunkan dosanya sejak tetesan darah yang pertama, (2) dapat melihat tempatnya di Surga, (3) akan dilindungi dari adzab kubur, (4) diberikan rasa aman dari ketakutan yang dahsyat pada hari Kiamat, (5) diberikan pakaian iman, dinikahkan dengan bidadari, (6) dapat memberikan syafa’at kepada 70 orang keluarganya.[32]
11. Orang yang pergi berjihad di jalan Allah itu lebih baik dari dunia dan seisinya.[33]
12. Orang yang mati syahid, ruhnya berada di qindil (lampu/ lentera) yang berada di Surga. [34]
13. Orang yang mati syahid diampunkan seluruh dosanya kecuali hutang.[35]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata: “Maksud dan tujuan dari perang di jalan Allah bukanlah sekedar menumpahkan darah orang kafir dan mengambil harta mereka, akan tetapi tujuannya agar agama Islam ini tegak karena Allah di atas seluruh agama dan menghilangkan (mengenyahkan) semua bentuk kemusyrikan yang menghalangi tegaknya agama ini, dan itu yang dimaksud dengan ‘fitnah’ (syirik). Apabila fitnah (kemusyrikan) itu sudah hilang, tercapailah maksud tersebut, maka tidak ada lagi pem-bunuhan dan perang.” [39]
Tingkatan Jihad ?
Menurut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah jihad memiliki empat tingkatan [41], yaitu:

Pertama: Jihaadun Nafs (Jihad melawan hawa nafsu).
Jihad ini ada empat tingkatan:
1.Berjihad untuk mempelajari ilmu dan petunjuk, yaitu mem-pelajari agama yang haq. Seseorang tidak akan dapat mencapai kejayaan, kebahagiaan di dunia dan akhirat melainkan dengan ilmu dan petunjuk. Apabila dia tidak mau mempelajari ilmu yang bermanfaat, maka dia akan celaka dunia dan akhirat.

2. Berjihad untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya. Bila hanya semata-mata berdasarkan ilmu saja tanpa amal, maka bisa jadi ilmu itu akan mencelakainya bahkan tidak bermanfaat baginya.

3. Berjihad untuk mendakwahkannya, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, maka apabila dakwah ini tidak dilakukannya maka hal ini termasuk menyembunyikan ilmu yang telah Allah turunkan baik berupa petunjuk maupun keterangan-keterangan [42]. Maka ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak pula dapat menyelamatkannya dari adzab Allah.

4. Berjihad untuk sabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam ber-dakwah di jalan Allah dan juga sabar terhadap gangguan ma-nusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah. Apabila terpenuhi keempat tingkatan tersebut maka ia akan termasuk sebagai orang yang Rabbani. Maka, para Salafush Shalih bersepakat bahwa seseorang tidak dapat disebut sebagai seorang yang Rabbani sampai ia dapat mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Oleh karena itu orang yang berilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ia akan disanjung di sisi para Malaikat-Nya.
Kedua: Jihaadus Syaithaan (Jihad Melawan Syaithan)
Jihad jenis ini ada dua tingkatan:
1. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan syubhat dan keraguan yang dapat merusak iman.
2. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan keinginan-keinginan yang merusak dan syahwat.
Tingkatan Jihadusy Syaithan yang pertama akan ada sesudah adanya keyakinan dan pada tingkatan yang kedua akan ada sesudah adanya kesabaran.
Allah al-Haafizh berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [As-Sajdah: 24]
Allah mengabarkan bahwa kepemimpinan dalam agama hanya dapat diperoleh dengan sabar dan yakin. Sabar itu akan dapat menolak syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak. Sedangkan yakin akan dapat menolak dari keraguan dan syubhat.
Ketiga: Jihaadul Kuffaar wal Munaafiqiin
Pada jihad ini terdapat empat tingkatan:
1. Jihad dengan hati.
2. Jihad dengan lisan.
3. Jihad dengan harta.
4. Jihad dengan jiwa
Jihadul Kuffar (jihad melawan orang-orang kafir) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan tangan (kekuatan), sedangkan Jihadul Munafiqin (jihad melawan orang-orang munafiq) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan (kekuatan) lisan.
Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [At-Taubah: 73] [43]

Tokoh yang Zhalim, Pelaku Bid’ah dan Kemungkaran)
Pada jihad ini terdapat tiga tingkatan:
1. Dengan tangan apabila sanggup.
2. Apabila tidak sanggup maka dengan lisan.
3. Apabila tidak sanggup maka dengan hati.
Pembagian Jihad ?
Jihad melawan orang-orang kafir dibagi menjadi 2 (dua):

Pertama: Jihadul Fat-h wath Thalab (jihad ofensif).
Jihad ini memerlukan terpenuhinya syarat-syarat syar’iyyah (syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam), sebagai berikut:
1. Adanya seorang imam (pemimpin).
2. Ada Daulah (negara).
3. Ada ar-Raayah (bendera jihad).

Kedua: Jihadud Difaa' (jihad defensif, pembelaan terhadap sebuah negeri Muslim).
Jihad ini hukumnya fardhu ‘ain atas seluruh penduduk negeri yang diserang oleh musuh (agresor). Jika penduduk negeri tersebut lemah, maka mereka harus dibantu oleh penduduk negeri tetangga-nya yang terdekat.
Hukum Berjihad ?
Menurut Seorang ulama 'Hanafiah, Yaitu Al Kasani, Yang diberi sedangkan gelar raja ulama' (Malik Al ulama '), hearts bukunya Yang Terkenal, Al-Badai Al-Shana'i fi tartib Al-Syara'i Dia menulis.:
"Apabila hukum jihad fardhu kifayah, Pemimpin TIDAK boleh mengosongkan Satu Tempat pun Dari pasukanpun Yang cakap hearts berperang Dan Musuh ditakuti. Umat ​​Islam Yang ADA di Belakang Tentara-yang memucat Dekat Dan seterusnya-Harus Pergi Kepada Tentara tersebut untuk review memberikan Bantuan Senjata, kuda, Dan dana ".
Menurut Imam Syafi'i Berkata "Kemudian Allah mengizinkan Rasul-Nya untuk review berhijrah KE Madinah. Penghasilan kena pajak ITU, mengizinkan   mereka untuk review melakukan jihad Dan mewajibkan mereka berhijrah berhijrah Dari negeri kaum musyrik ".  Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin berhijrah Menahan kesusahan Berjuang DENGAN harta, Tenaga Dan jiwa mereka ITU merupakan Bagian Dari Bentuk jihad. Sebagaimana SECARA bahasa jihad Berarti Dari asal isim masdar "jahdan" Yang Berarti kesusahan, berlebih-lebihan Dan Terlalu. Sedangkan DENGAN Bentuk isim masdar "juhdun" Berarti Kekuasaan, Tenaga Dan Daya Upaya.
Dalam Zad Al-Ma'ad, Ibnu Al-Qayyim menulis: "jihad merupakan tulang Punggung Islam. Kedudukan orang-orangutan Yang berjihad amatlah Tinggi di akhirat Kelak. ".
Footnote
[23]. Lihat at-Taubah:120-121.
[24]. Lihat ash-Shaaf: 10-13
[25]. Lihat at-Taubah: 19-21.
[26]. Lihat at-Taubah: 52.
[27]. Lihat Ali ‘Imran: 142.
[28]. Lihat Ali ‘Imran: 169-171.
[29]. HR. Al-Bukhari (no. 2785), Muslim (no. 1878), at-Tirmidzi (no. 1619) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[30]. HR. Al-Bukhari (no. 2790) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[31]. HR. Al-Bukhari (no. 3024-3025) dari Sahabat ‘Abdullah bin Abi ‘Aufa Radhiyallahu ‘anhu
[32]. HR. At-Tirmidzi (no. 1663), Ibnu Majah (no. 2799) dan (Ahmad IV/131) dari Sahabat Miqdam bin Ma’di al-Kariba Radhiyallahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”
[33]. HR. Bukhari (no. 2792), Fat-hul Baari (VI/13-14) dari Sahabat Anas bin Malik.
[24]. HR. Muslim (no. 1887) dan Tirmidzi (no. 3011) dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu
[35]. HR. Muslim (no. 1886) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu at-Tirmi-dzi
Sumber:1.http://margasungkaibungamayangbuaysemen.blogspot.co.id
2.http://almanhaj.or.id 3.http://hizbut-tahrir.or.id
Jakarta 3/12/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman