Selasa, 13 Agustus 2013

MINAL AIDIN WAL FAIZIN


                               MEMAKNAI  FITRAH
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS.Ar Ruum:30)
Muqaddimah
Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?
Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad  dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim  dalam Kitabul Qadar (no. 2658).
Jika kita melihat hadits diatas, makna fitrah bukan hanya berkaitan dengan dosa, namun berkaitan dengan akidah. “menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi” artinya ini adalah perubahan akidah dari akidah asal (fitrah) dan apalagi jika bukan akidah Islam yang lurus. Setiap bayi itu dilahirkan dengan akidah yang lurus, namun diubah oleh orang tuanya menjadi Nasrani, Yahudi, dan Majusi. Anda kembali seperti bayi, artinya kembali memiliki akidah yang lurus.
Makna Fitrah
Katan fitrah, berasal dari akar kata fithr dalam bahasa Arab yang berarti membuka atau menguak. Secara bahasa, fitrah berarti al khilqah, keadaan asal saat tiap manusia diciptakan Allah (Li­saa­nul Arab 5/56, Al Qamus Al Muhith 1/881). Yang dimaksud dengan agama fitrah adalah Islam. Roh manusia berjanji kepada Allah akan beriman, dan tiap manusia lahir dalam keadaan beriman/bera­gama Islam (HR Bukhari Muslim: Rasulullah SAW bersabda: Setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya menjadikannya Yahu­di atau Nasrani; juga dalam Al Qu­ran, Surat ar-Ruum, ayat 30). Menu­rut Imam Ibnu Katsir, .. berarti engkau masih berada pada fitrahmu salimah (lurus dan benar). Sebagai­mana ketika Allah ciptakan makhluk dalam keadaan beriman. Allah menciptakan makhluk dalam keada­an mengenal-Nya, mentauhidkan-Nya, dan mengakui: tidak ada yang berhak disembah selain Allah” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/313). Menurut Syaikh Muhammad Shalih al-Utsai­min, Islam adalah agama fitrah yang diterima semua yang memiliki fitrah salimah. Orang memiliki jiwa bersih sebagaimana ia diciptakan, mene­rima ajaran-ajaran Islam dengan sm’an wa tha’atan.
 Jalan Menuju Fitrah
Proses menuju fitrah ini tentu saja tidak terlepas dari kehadiran bulan Ramadan yaitu melalui puasa. Karena dengan berpuasa dapat mengembalikan kehidupan yang sebenarnya.
Fitrah itu ditempuh melalui berbagai macam cara dan puasa ini salah satunya. Pertama, puasa dapat mengajarkan kepada kita pola konsumsi yang benar. Dengan berpuasa kita dituntut untuk menahan hawa nafsu dan makan tidak berlebihan. Dengan pola yang teratur seperti ini tentu kita akan terhindar dari berbagai macam penyakit. Dan ini disebut fitrah secara fisik.
Kedua, melalui puasa kita dapat mengembalikan hubungan komunikasi sosial. Dalam kehidupan yang materialistik dan pragmatis seperti sekarang ini manusia sering memakai istilah waktu adalah uang. Hampir setiap waktu mereka sibuk pada pekerjaan mereka masing-masing dan kurang untuk berinteraksi sosial. Oleh karena itu, kehadiran bulan Ramadan dapat mengembalikan komunikasi di antara sesama manusia melalui salat Tarawih, salat berjamaah, buka bersama dan makan sahur.
Ketiga, fitrah kembali kepada Tuhan. Melalui bulan Ramadan kita senantiasa meningkatkan ibadah dan amalan kepada Allah SWT. Hal itu dapat membangun komunikasi kepada Tuhan sebagai tempat berlindung, tempat mengadu, tempat meminta. Dan kita bukan apa-apa di hadapan-Nya. Melalui hubungan ini kita punya kekuatan untuk tidak diperbudak dan dijajah oleh apapun dan hanya tunduk kepada Allah SWT.
Cara Menjaga Fitrah
Bulan Ramadhan menjadikan kita kembali ke fitrah. Namun tidak berhenti sampai disitu, kita perlu menjaga kefitrahan ini. Kita harus tetap pada kefitrahan itu. Orang tua dan lingkungan bisa mengubah fitrah kita. Lalu bagai mana cara menjaga fitrah kita?
Fitrah kita berubah akibat dokrin dari orang tua dan informasi-informasi dari luar. Untuk itu kita perlu menjaga dengan memasukan informasi yang benar ke dalam pikiran dan hati kita untuk mengalahkan dokrin dan informasi yang merusak fitrah kita. Dan, sumber kebenaran itu tiada lain adalah Al Quran.
Al Qur’an adalah firman Allah, yang pastinya akan sesuai dengan fitrah kita. Siapa lagi yang lebih mengetahui kita kecuali Allah Yang Maha Mengetahui? Maka jagalah fitrah kita dengan mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya. Selama pikiran kita adalah pikiran sesuai dengan Al Quran, artinya fitrah kita masih terjaga.
Fitrah Menuju Taqwa
Takwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah, artinya memelihara. ”Memelihara diri dalam menjalani hidup sesuai tuntunan/petunjuk Allah”. Adapun dari asal bahasa Arab Quraish, kata takwa lebih dekat dengan kata waqa. Waqa bermakna melindungi sesuatu, memelihara dan melindungi dari berbagai hal membahayakan/merugikan. Saat seekor kuda melangkah dengan sangat hati-hati, baik karena tidak ada tapal kuda, atau karena ada luka-luka atau ada rasa sakit atau tanah yang sangat kasar, orang-orang Arab biasa mengatakan waqal farso minul hafa. Dari kata waqa, takwa bisa diartikan berusaha memelihara dari ketentuan Allah dan melindungi diri dari dosa/larangan Allah. Bisa juga diartikan berhati hati dalam menjalani hidup sesuai petunjuk Allah. Adapun arti lain dari takwa adalah: melaksanakan segala perin­tah Allah; menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah (haram); dan ridho (menerima dan ikhlas) dengan hukum-hukum dan keten­tuan Allah SWT.
Kedudukan takwa, wasiat kepa­da seluruh Nabi (QS 4:131): sesung­guhnya kami telah memerintahkan orang-orang yang diberi kitab sebe­lummu dan kamu juga, agar bertak­wa kepada Allah (QS 26:10-11); ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa, ”Datangilah kaum yang Zalim itu”, Yaitu  kaum Fir’aun, mengapa mereka tidak bertakwa? (QS 26:123-124); Kaum Aad telah mendustakan para Rasul, ketika saudara mereka, Hud berkata, ”Mengapa kamu tidak bertakwa?” (QS 26:141-142); Kaum Tsamud telah mendustakan para Rasul, ketika saudara mereka, Saleh berkata, ”Mangapa kamu tidak bertakwa?” (QS 26:160-161); Kaum Luth telah mendustakan para Rasul, ketika saudara mereka, Luth berka­ta, ”Mengapa kamu tak bertakwa?” (QS 26:176-177); Kaum Aikah telah mendustakan para Rasul, ketika saudara mereka, Syu’aib berkata, ”Mangapa kamu tidak bertaqwa?” (QS 37:123-124); Wahai orang-orang yang beriman, sembahlah Tu­han­mu yang menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa (QS 2:21). Takwa sebaik-baik bekal (QS 49: 73): persiapkanlah bekal, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa (QS 7;26): Takwa: keselamatan: demi­kian telah kami selamatkan orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (QS 27:53). Tanda orang takwa (Al-Quran, Ali ’Imran Ayat 134). Ciri-ciri takwa/orang bertak­wa:  QS 2:2-5; QS 2:177; QS 3:133-135; QS 3:15-17; QS 21:48- 49; QS 51:15-19; QS 8:29; QS 65:2-3; QS 65:4; QS 65:5; QS 7;96.
 Jakarta  13/8/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman