SIAPA SYEH SITI JENAR ?
Muqaddimah
Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama
lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa.[1] Tidak ada yang
mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat banyak variasi
cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam
menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang
intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya
tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh
Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi
yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan
praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek
formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh
Walisongo.
Asal Usul Syeh Siti Jenar
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat
populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang
punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah
alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau
Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia
memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa
Lemah Abang]…
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya
memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa
menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh
struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan
kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama
asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah
Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul
Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik
atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi
kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah
distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya
yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi,
telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan
ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai
bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak
bidang spiritual.
Nasab Syekh Siti Jenar Bersambung Sampai ke Rasulullah
saw diakui oleh Rabithah Azmatkhan
Kematian Syeh Siti Jenar
Versi Keenam
Bahwa Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati oleh Wali
Songo. Pada saatu hukuman harus dilaksanakan, para anggota Wali Songo
mendatangi Syekh Siti Jenar untuk melaksanakan hukuman mati. Akan tetapi
kemudian para anggota Wali Songo tidak jadi melaksanakan hukuman tersebut,
karena Syekh Siti Jenar justru memilih cara kematiannya sendiri, dengan memohon
kepada Allah agar diwafatkan tanpa harus dihukum oleh pihak Sultan dan para
Sanan, sekaligus Syekh Siti Jenar menempuh jalan kematiannya sendiri, yang
sudah ditetapkan oleh Allah. Versi ini mengacu pada Serat Seh Siti Jenar yang
digubah oleh Ki Sosrowidjojo, yang kemudian disebarluaskan kembali ileh Abdul
Munir Mulkan (t.t).
Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan
Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita
fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan
film atau sinetron. Bantahan saya: Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di
tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu
memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang
jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin
9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah
dari keturunan yang sama.” Tidak bisa diterima akal sehat. Penghancuran sejarah
ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah
Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni
dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah
Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et
Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1. Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2. Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah,
Sultan Demak]
3. Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti
Jenar]
Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh
Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing.
Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu
Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti
Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan
seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi
atau Biologi Quantum sekalipun. Manusia lahir dari manusia dan akan wafat
sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para
habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata
bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman
Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru
mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa
Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti
dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang
Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada
Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti
bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan
ayat Al-Quran yang menerangkan
tentang penciptaan manusia:[2]
Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila
telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S.
Shaad: 71-72
|
”
|
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh
Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat
Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di
dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling
Kawula Gusti.
Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan
kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah
bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab
Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat
“Fana’ wal Baqa’”. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan
Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid,
yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya
“Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti
Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid
Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti
Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh
Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya
berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata
kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan
sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada
manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah”
dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa
Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
Sembilan Ajaran Pokok Syekh Siti Jenar (1)
Nah, ajaran pokok yang pertama dari Syekh Siti
Jenar adalah tidak mengabsolutkan pendapat. Pendapat boleh diperdebatkan, akan
tetapi pendapat tidak untuk melindas pendapat orang lain. Munculnya berbagai
mazhab dalam berbagai agama di dunia membuktikan bahwa ajaran agama pasca
pendirinya sebenarnya merupakan pendapat yang dikembangkan dari ajaran asal
agama itu. Jadi, kebenaran pendapat adalah kebenaran yang dibangun atas
akseptabilitas masyarakat atau komunitas tempat pendapat itu berkembang.
Ajaran pokok yang kedua adalah menjadi
manusia hakiki, yaitu manusia yang merupakan perwujudan dari hak, kemandirian,
dan kodrat.
Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditentukan oleh para elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan. Menurut Syekh Siti Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, begitu seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki, manusia sebenarnya yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun warga sebuah negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.
Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditentukan oleh para elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan. Menurut Syekh Siti Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, begitu seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia harus dipenuhi terlebih dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki, manusia sebenarnya yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun warga sebuah negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.
Ajaran pokok Syekh yang ketiga adalah hubungan
antara satu orang dengan orang lain merupakan hubungan kodrat dan iradat.
Hubungan satu orang dengan orang lain bagaikan hubungan kerja dalam satu tim,
sehinga tidak terjadi hubungan posisi yang memerintah dan yang diperintah. Tak
ada hubungan kekuasaan. Antara manusia yang satu dengan yang lain terikat oleh kodrat
dan iradatnya, sehingga seperti hubungan sel yang yang satu dengan sel lainnya
dalam satu tubuh, dan hubungan organ yang satu dengan organ lainnya dalam satu
tubuh.
Kalau kita amati cara kerja organ-organ dalam tubuh
manusia, maka kita akan ketahui bahwa masing-masing organ –seperti otak,
penglihatan, penciuman, pendengaran, paru-paru, jantung, hati, ginjal, usus,
dan lain-lain– akan bekerja sama, dan masing-masing menjalankan peranannya.
Seharusnya kehidupan masyarakat manusia juga demikian. Dengan mewujudkan
masyarakat yang berupa kumpulan manusia-manusia hakiki, masing-masing orang
atau kelompok menjalankan fungsinya dengan benar, maka akan terbentuk kehidupan
yang sehat dan tidak terjadi penghisapan antara orang yang satu terhadap orang
lainnya. Inilah kehidupan dunia yang didambakan oleh Syekh Siti Jenar, yang
justru sekarang tumbuh dan berkembang di negara maju.
Ajaran pokok yang keempat : segala sesuatu di
alam semesta ini adalah satu dan hidup. Dalam salah satu pupuhnya disebutkan
bahwa bumi, angkasa, samudra, gunung dan seisinya, semua yang tumbuh di dunia,
angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan rembulan, semuanya merupakan
keadaan hidup. Jadi, semua yang ada merupakan wujud kehidupan.
Menurut Syekh Siti Jenar yang dinamakan makhluk hidup
adalah kehidupan yang terperangkap dalam alam kematian. Zat mati tak akan dapat
menimbulkan kehidupan, sedangkan zat hidup tak akan tersentuh kematian. Tuhan
disebut zat yang mahahidup karena Dia eksis karena Diri-Nya sendiri. Kekuatan
hidup-Nya mengalir dalam alam kematian sehingga muncul sebagai makhluk hidup.
Sekarang bandingkan dengan tulisan-tulisan dari Barat dewasa ini, akan kita
temukan pernyataan mereka bahwa semuanya satu, semuanya hidup. Dengan demikian,
pandangan Syekh Siti Jenar luar biasa. Banyak pandangannya yang justru
bersesuaian dengan pandangan kaum teosofi maupun para spiritualis dari Barat.
Bila kita menyadari bahwa lingkungan kita adalah
keadaan yang hidup, maka tentu kita akan memperlakukan lingkungan kita dengan
sebaik-baiknya karena kita dan lingkungan kita sebenarnya satu dan sama-sama
sebagai keadaan yang hidup. Bila kita menyadari tentu kita akan berhati-hati
dalam memperlakukan lingkungan kita.
Ajaran pokok yang kelima: pemahaman tentang
ilmu sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti Jenar yang ditulis oleh Aryawijaya:
Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi, pustining pangèstinira,
gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng kahanan eneng ening.
Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud dan tujuannya
disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan jernih.
Menurut Syekh Siti Jenar manusia haruslah kreatif
karena manusia telah diberi anugerah oleh Yang Mahakuasa untuk dapat
mengaktualisasikan ilmunya yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Jadi, ilmu
sejati bukanlah ilmu yang kita terima dari orang lain. Yang kita dapatkan
melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu hanyalah refleksi ilmu. Dan,
ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa ilmu lahir dari kedalaman batin telah
menjadi pemahaman yang universal. Itulah sebabnya orang-orang Barat tekun dalam
melakukan perenungan dan pengkajian terhadap tanda-tanda di alam semesta.
Jadi, harus ada suasana kondusif bagi orang-orang yang
mendalami ilmu pengetahuan. Suasana kondusif bagi ilmuwan adalah iklim kerja
yang membuat ilmuwan tersebut dapat bekerja dengan tenang, nyaman, dan bebas
dari berbagai penyebab kekalutan dan kesulitan. Dan, tentunya hak-hak untuk
dapat menjadi ilmuwan sejati haruslah dipenuhi. Ingat, setiap orang telah
diberi potensi dan talenta yang disebut kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki
kodrat untuk menjadi ilmuwan harus disediakan iklim kerja yang kondusif
sehingga bisa menghasilkan hal-hal yang dibutuhkan manusia.
Ajaran pokok yang keenam: umumnya orang hidup
saling membohongi. Banyak hal yang sebenarnya kita sendiri tidak tahu, tapi
kita menyampaikannya juga kepada teman-teman kita. Hal ini banyak sekali
terjadi dalam ajaran agama. Banyak orang yang sekadar hafal dalil, tetapi
sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh dalil itu. Akhirnya
pemahaman yang keliru itu menyebar dan terbentuklah opini yang salah.
Masyarakat yang dipenuhi dengan pemahaman dan opini
yang salah sama dengan masyarakat yang dipenuhi sampah. Masyarakat demikian
pasti rawan terhadap serangan penyakit. Oleh karena itu, masyarakat harus
dibebaskan dari berbagai macam kebohongan. Masyarakat harus diajar dan dididik
untuk memahami segala sesuatu seperti apa adanya.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya. Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya. Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.
Ayat-ayat kitab suci harus dipahami berdasarkan
kenyataan, dan tidak diindoktrinasikan serta diajarkan secara harfiah sesuai
dengan asal kitab suci tersebut. Agama harus diajarkan secara arif dan bisa
dibumikan, tidak terus menggantung di langit. Agama harus diterjemahkan dalam
bentuk yang dapat dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat penerimanya.
Ajaran pokok yang ketujuh: nama Tuhan
diberikan oleh manusia. Lima ratus tahun yang lalu Syekh telah menyatakan
dengan tegas bahwa manusialah yang memberikan nama pada Tuhan. Oleh karena itu,
nama bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa yang
menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak perlu
nama, karena Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk membedakan
dengan sesuatu lainnya. Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah
sebut.
Bagi Syekh Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan
kepada-Nya haruslah sebutan yang terpuji, yang baik, yang pantas. Bahkan dalam
Alquran dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180 bahwa manusia diperintah untuk
memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u l-husnâ. Dan, pada
Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar Rahman, atau
dengan nama-nama baik-Nya yang lain.
Sungguh, sangat mengherankan bila di zaman sekarang
ini kita berebut nama Tuhan. Secara teoritis umat Islam dididik untuk meyakini
bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam
–seperti yang terjadi di Malaysia – malah meminta orang yang beragama lain
untuk tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama lain
tersebut. Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita –yang Muslim— menolak pemeluk
agama lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak sadar kita mengakui
bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama
sesungguhnya raja penipu. Sebagaimana telah diterangkan bahwa agama adalah
jalan hidup. Oleh karena itu, agama harus diajarkan untuk menjadi jalan hidup,
sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat dalam
menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan
perilaku, sehingga agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi rahmat
bagi semesta alam.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh agama.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh agama.
Jika di Eropa pada abad ke-19 orang-orang mulai
mempertanyakan peranan agama, dan bahkan ada yang memandang bahwa agama sebagai
candu bagi masyarakat dan harus disingkirkan dari gelanggang kehidupan
bernegara, maka empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti Jenar justru ingin
menerapkan agama sebagai penyegar dan pencerah bagi pemeluknya. Oleh karena
itu, agama diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara. Di sinilah Syekh
bertabrakan dengan kepentingan Walisanga.
Syekh amat sadar bahwa di dunia ini penuh dengan tipu
daya. Hampir di semua negara pada waktu itu terjadi relasi keuasaan antara
raja/penguasa dengan para tokoh agama. Dengan kata lain, raja dan tokoh agama
berbagi kekuasaan. Yang dikuasai dan yang dijadikan pijakan hidup oleh raja dan
tokoh agama adalah rakyat. Inilah yang oleh Syekh disebut sebagai penipuan.
Oleh karena itu, sudah waktunya agar agama benar-benar menjadi milik
masyarakat, dan negara tidak mengurusi agama. Yang diurusi oleh negara adalah
tegaknya hukum positif, perlindungan bagi setiap orang tanpa memandang agama
dan kepercayaannya. Yang diurusi oleh negara adalah kemakmuran, kesejahteraan,
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ajaran pokok yang kesembilan: segala sesuatu di alam
semesta adalah Wajah-Nya. Inilah ajaran puncak dari Syekh Siti Jenar. Dunia
adalah manifestasi wujud yang satu, dan hakikat keberadaan bukanlah dualitas.
Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri kita, maka sesungguhnya kita senantiasa
menghadap Wajah-Nya. Semua adalah penampakan Wajah-Nya. Sekarang marilah kita
cicipi dua bait puisi dari Syekh Siti Jenar.
Bersanggama dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
Lahir batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
Jadi, pada puncak perenungan dan keheningan diri
terjadilah penegasian eksistensi diri yang terkurung raga. Ditegaskan bahwa
kehambaan telah lenyap, sudah hilang. Bila kehambaan masih tetap eksis maka di
alam semesta ini masih berada dalam keadaan dualitas. Keadaan inilah yang
menyebabkan orang terpisah dengan Tuhannya, meskipun secara konseptual
diketahui bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada urat lehernya. Akan tetapi,
selama keadaan dualitas belum sirna maka secara faktual Tuhan masih jauh
daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap berada di luar dirinya...
1.Achmad Chodjim Jakarta, 21 Mei 2009 Kediaman Bpk.
Achmad Chodjim, materi ini juga di sampaikan di Hotel Indonesia Kempinski-Grand
Indonesia, 19 Mei 2009)) Ir. Achmad Chodjim MM, adalah penulis buku “Syekh
Siti jenar: Makna Kematian (jilid 1)”, “Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna
Kehidupan (jilid 2)” dan “Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga”.
Wallah A’lam Bishawab
JAKARTA 27/8/2013
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMaaf mau tanya kalau mau belajar agama dengan membaca buku tapi tanpa guru/mursyid gimana syah atau sia-sia belajarnya
BalasHapusKemampuan logika manusia berbeda-beda. Tanpa pengalaman dan wawasan maka akan mendapatkan penafsiran yang beda dan bisa sesat.
BalasHapusSangat brilian,,
BalasHapus