Selasa, 27 Agustus 2013

ISTIQOMAH BERAGAMA


                    
ISTIQOMAH PADA JALAN YANG BENAR

فاستقم كما أمرت ومن تاب معك ولا تطغوا إنه بما تعملون
“Maka tetaplah (Istiqâmahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS 11:112).
Muqaddimah
Setiap muslim yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya, ia harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus terwarnai dengan nilai-nilai tersebut baik dalam kondisi aman maupun terancam. Namun dalam realitas kehidupan dan fenomena ummat, kita menyadari bahwa tidak setiap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu meimplementasikan dalam seluruh kisi-kisi kehidupannya. Dan orang yang mamupu mengimplementasikannya belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam, yaitu komitment dan istiqamah dalam memegang ajarannya dalam sepanjang perjalanan hidupnya.
Suatu hari sahabat Abdullah al-Tsaqafi meminta nasihat kepada Nabi saw agar dengan nasihat itu, ia tidak perlu bertanya-tanya lagi soal agama kepada orang lain. Lalu, Rasulullah saw bersabda, Qul Amantu Billah Tsumma Istaqim (Katakanlah, aku beriman kepada Allah, dan lalu bersikaplah istiqamah!). (H.R. Muslim).

Sabda Nabi di atas tergolong singkat, tetapi sangat padat. Menurut Qadhi Iyadh, hadits ini ekuivalen dengan firman Allah, ayat 30 surah Fusshilat, yang mengajarkan agar kita bersikap konsisten dan istiqamah dalam beragama, yakni senantiasa beriman kepada Allah swt dan senantiasa menjalani semua perintah-Nya. (Syarkah Shahih Mislim, juz 2/9).
Makna Istiqomah
Istiqamah adalah anonim dari thughyan (penyimpangan atau melampaui batas). Ia bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata istiqomah dari kata “qaama” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi, istiqamah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqamah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.
Secara terminology, istiqomah bisa diartikan dengan beberpa pengertian berikut ini:
- Abu Bakar Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqamah ia menjawab; bahwa istiqamah adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan siapapun)
- Umar bin Khattab r.a. berkata: “Istiqamah adalah komitment terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu sebagaimana tipu musang”
- Utsman bin Affan ra berkata: “Istiqamah adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt”
- Ali bin Abu Thalib ra berkata: “Istiqamah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”
- Hasan Bashri berkata: “Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksitan”
- Mujahid berkata: “Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah swt”
- Ibnu Taimiah berkata: “Mereka beristiqamah dalam mencintai dan beribadah kepaada-Nya tanpa menengok kiri kanan”
Dalil-Dalil Dan Dasar Istiqâmah
Dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan masalah Istiqâmah di antaranya adalah;
فاستقم كما أمرت ومن تاب معك ولا تطغوا إنه بما تعملون
Maka tetaplah (Istiqâmahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS 11:112).
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasulullah dan orang-orang yang bertaubat bersamanya harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan.
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا فلا خوف عليهم ولا هم يحونون أولئك أصحاب الجنة خالدين فيها جزاء بما كانوا يعملون.
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap Istiqâmah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan" (QS 46:13-14).
Ayat dan hadits di atas menggambarkan urgensi Istiqâmah setelah beriman dan pahala besar yang dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun. Hal ini juga dikuatkan beberapa hadits nabi di bawah ini;
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ )رواه مسلم(
Aku berkata, Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian berIstiqâmahlah (jangan menyimpang). (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)
5 Tips Istiqamah
Kesucian dan ketakwaan yang ada dalam jiwa harus senantiasa dipertahankan oleh setiap muslim. Hal ini disebabkan kesucian dan ketakwaan ini bisa mengalami pelarutan, atau bahkan hilang sama sekali. Namun, ada beberapa tips yang membuat seorang muslim bisa mempertahankan nilai ketakwaan dalam jiwanya, bahkan mampu meningkatkan kualitasnya. Tips tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama, Muraqabah
Muraqabah adalah perasaan seorang hamba akan kontrol ilahi dan kedekatan dirinya kepada Allah. Hal ini diimplementasikan dengan mentaati seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya, serta memiliki rasa malu dan takut, apabila menjalankan hidup tidak sesuai dengan syariat-Nya.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hadid: 4)
Rasulullah saw. bersabda-ketika ditanya tentang ihsan, “Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.” (H.R. Bukhari)
Kedua, Mu’ahadah
Mu’ahadah yang dimaksud di sini adalah iltizamnya seorang atas nilai-nilai kebenaran Islam. Hal ini dilakukan kerena ia telah berafiliasi dengannya dan berikrar di hadapan Allah SWT.
Ada banyak ayat yang berkaitan dengan masalah ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (An-Nahl: 91)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27)
Ketiga, Muhasabah
Muhasabah adalah usaha seorang hamba untuk melakukan perhitungan dan evaluasi atas perbuatannya, baik sebelum maupun sesudah melakukannya. Allah berfirman;
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
“Orang yang cerdas (kuat) adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal untuk hari kematiannya. Adapun orang yang lemah adalah orang yang mengekor pada hawa nafsu dan berangan-angan pada Allah.” (H.R. Ahmad)
Umar bin Khattab ra berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab, dan timbanglah amalmu sebelum ditimbang ….”
Keempat, Mu’aqabah
Mu’aqabah adalah pemberian sanksi oleh seseorang muslim terhadap dirinya sendiri atas keteledoran yang dilakukannya.
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 179)
Generasi salaf yang soleh telah memberikan teladan yang baik kepada kita dalam masalah ketakwaan, muhasabah, mu’aqabah terhadap diri sendiri jika bersalah, serta contoh dalam bertekad untuk lebih taat jika mendapatkan dirinya lalai atas kewajiban. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa contoh di bawah ini.
1. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab ra pergi ke kebunnya. Ketika ia pulang, maka didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan Shalat Ashar. Maka beliau berkata, “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah shalat Ashar! Kini, aku menjadikan kebunku sedekah untuk orang-orang miskin.”
2. Ketika Abu Thalhah sedang shalat, di depannya lewat seekor burung, lalu beliau pun melihatnya dan lalai dari shalatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau shalat. Karena kejadian tersebut, beliau mensedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang-orang miskin, sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak khusyuannya.
Kelima Mujahadah (Optimalisasi)
Mujahadah adalah optimalisasi dalam beribadah dan mengimplementasikan seluruh nilai-nilai Islam dalam kehidupan.
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya…” (Al-Hajj: 77-78)
“Rasulullah saw. melaksanakan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Aisyah ra. pun bertanya, ‘Mengapa engkau lakukan hal itu, padahal Allah telah menghapuskan segala dosamu?’ Maka, Rasulullah saw. menjawab, ‘Bukankah sudah sepantasnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur.’” (H.R. Bukhari-Muslim)
Inilah lima langkah yang harus dimiliki oleh seorang muslim yang ingin mempertahankan nilai keimanan, yang ingin bertahan dan istiqamah di puncak ketakwaannya. Semoga Allah SWT menjadikan kita semua hamba-hamba-Nya yang senantiasa istiqamah, menjadi model-model muslim ideal dan akhirnya kita dijanjikan surga-Nya.amin
Faktor-Faktor Yang Melahirkan Istiqâmah
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (691 - 751 H) dalam kitabnya “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;
1. Beramal dan melakukan optimalisasi
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS 22:78).
2. Berlaku moderat antara tindakan melampui batas dan menyia-nyiakan
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS 25:67).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam Ahmad dari sahabat Anshar)
3. Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu pengetahuannya
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban” (QS 17:36).
4. Tidak menyandarkan pada faktor kontemporal, melainkan bersandar pada sesuatu yang jelas.
5. Ikhlas
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh, melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS 98:5).
6. Mengikuti Sunnah
قال النبي صلى الله عليه وسلم: تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه.
Telah aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selamanya selagi berpegang tegung dengannya yaitu Al-Qur’an dan sunnah para nabinya”(HR Imam Malik dalam Muatta’).
Beristiqomah Dengan Maksimal
Istiqamah, seperti terlihat di atas, merupakan usaha maksimal yang dapat dilakukan oleh manusia untuk senantiasa berada di jalan Allah swt. Karena itu, tidak setiap orang dapat memiliki sifat istiqamah. Sifat istiqamah, menurut sufi Abu al-Qasim al-Qusyairi, hanya dimililki oleh orang-orang yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Mengenai keutamannya, Qusyairi berkata,Barang siapa memiliki sifat istiqamah, maka ia akan meraih segala kesempurnaan dan segala kebajikan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat istiqamah, maka semua usahanya akan sia-sia dan semua perjuangannya akan kandas.

Tak heran bila sikap istiqamah itu menjadi harapan dan dambaan para sufi. Sufi sejati, menurut Ibn Athaillah al Sakandari, tak pernah mengharap keramat (al-Karamah), tetapi mengharap istiqamah, yakni sikap konsisten dalam beragama. Bahkan keramat yang sesungguhnya bagi mereka adalah sikap istiqamah itu. Sedang keramat dalam arti memperoleh sesuatu yang luar biasa (al-Khariq al-Adat) sama sekali tak berharga dan tak ada artinya buat mereka.

Mengapa? Jawabnya, karena keramat semacam ini dapat diperoleh oleh siapa saja dan seringkali membuat tuannya sesat dan tergelincir. Sedang sifat istiqamah, selain hanya dimiliki oleh orang-orang yang takwa, juga dapat melapangkan jalan baginya menuju Allah swt, Sang Kebenaran Mutlak (Syarh Kitab Hikmah, juz 2/14).

Seorang disebut istiqamah, menurut riwayat yang bersumber dari Kulafa al-Rasyidin, bila ia konsisten dalam empat hal. Pertama, konsisten dalam memegang teguh aqidah tauhid. Kedua, konsisten dalam menjalankan syariat agama baik berupa perintah (al-awamir) maupun larangan (al-nawahi). Ketiga, konsisten dalam bekerja dan berkarya dengan tulus dan ikhlas karena Allah. Keempat, konsisten dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan baik dalam waktu lapang maupun dalam waktu susah.

Dalam sifat istiqamah, seperti terlihat di atas, terkandung sifat-sifat yang luhur dan terpuji, seperti sifat setia, taat asas, tepat janji, dan teguh hati. Untuk itu, Allah swt menjanjikan kepada orang-orang yang istiqamah balasan yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah para penghuni sorga; mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan (Al-Ahqaf, 13-14). Semoga kita bisa istiqamah dalam segal hal. Amin
(Tafsir)Sebagian Ulama yang lain mengatakan : Maksud “istiqomah” adalah pengambilan sumpah di alam arwah.
Sementara, ada pula yang mengatakan, istiqomah itu bisa terjadi secara lahir dan bathin, istiqomahnya orang awam secara lahir adalah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangan, sedang secara bathin adalah iman dan tasdiq.
Adapun istiqomahnya orang khawas secara lahir adalah menghindari dunia dan meninggalkan perhiasannya maupun keinginan-keinginan terhadapnya, sedangkan secara bathin adalah tidak menginginkan kenikmatan syurga karena rindu kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. (Syihabuddin)Abubakar ra. Pernah ditanya tentang istiqomah, maka jawabnya : “janganlah kamu mengsekutukan sesuatupun dengan Allah”.
Sedang Umar ra. Berkata : “istikomah artinya hendaklah kamu konsisten terhadap perintah (dengan melaksanakannya) dan larangan (dengan menjauhinya), dan janganlah kamu menyeleweng secara sembunyi-sembunyi seperti seekor musang”.
Utsman ra. Berkata : “istiqomah adalah keikhlasan”.Imam Ali ra., berkata : “istiqomah adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”.
(Ma’alimut Tanzil) Seorang ahli kebenaran berkata : “Istiqomah itu ada tiga macam
(1) istiqomah dengan lidah,
(2) istiqomah dengan hati,
(3)istiqomah dengan jiwa.
Istiqomah dengan lidah adalah senantiasa mengucapkan kalimat syahadat. Istiqomah dengan hati adalah senantias berbeda di atas keinginan yang benar.
Sedangkan istiqomah dengan jiwa adalah senantiasa melaksanakan ibadah-ibadah dan ketaatan-ketaatan”.
Sementara yang lain mengatakan : “istiqomah itu dicapai dengan empat perkara :
(1) taat dalam menghadapi perintah,
(2) takwa dalam menghadapi larangan,
(3) syukur dalam menghadapi nikmat,
(4) sabar dalam menghadapi surga.
Sedangkan kesempurnaan yang empat itu adalah dengan empat perkara pula :
kesempurnaan taat adalah ikhlas, kesempurnaan taqwa adalah dengan taubat, kesempurnaan syukur adalah dengan mengakui ketidakberdayaan diri, dan kesempurnaan sabar adalah dengan melaksanakannya secara total.
(Imam Nasafi)Al Faqih Abu Laits berkata : “tanda istiqomah seseorang adalah apabila dia memelihara sepuluh perkara sebagai suatu yang wajib atas dirinya :
1. Memelihara lidah dari menggunjing orang lain.
2. Menjauhi buruk sangka
3. Menjauhkan diri dari memperolok-olokkan orang lain.
4. Memelihara indra penglihatan dari apa-apa yang diharamkan.
5. Kejujuran lidah.
6. Menafkahkan harta di jalan Allah
7. Tidak bersikap boros
8. Tidak ingin dirinya ditonjolkan atau diagung-angungkan
9. Memelihara shalat lima waktu.
10. Konsisten mengikuti ahlu sunnah wal jamaah(Tanbihul Ghafilin)
JAKARTA 28/8/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman