ISTIQOMAH PADA JALAN YANG BENAR
فاستقم كما أمرت ومن تاب معك ولا تطغوا إنه بما تعملون
“Maka tetaplah (Istiqâmahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS 11:112).
Muqaddimah
Setiap muslim
yang telah berikrar bahwa Allah Rabbnya, Islam agamanya dan Muhammad rasulnya,
ia harus senantiasa memahami arti ikrar ini dan mampu merealisasikan
nilai-nilainya dalam realitas kehidupannya. Setiap dimensi kehidupannya harus
terwarnai dengan nilai-nilai tersebut baik dalam kondisi aman maupun terancam.
Namun dalam realitas kehidupan dan fenomena ummat, kita menyadari bahwa tidak
setiap orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang Islam mampu
meimplementasikan dalam seluruh kisi-kisi kehidupannya. Dan orang yang mamupu
mengimplementasikannya belum tentu bisa bertahan sesuai yang diharapkan Islam,
yaitu komitment dan istiqamah dalam memegang ajarannya dalam sepanjang
perjalanan hidupnya.
Suatu hari
sahabat Abdullah al-Tsaqafi meminta nasihat kepada Nabi saw agar dengan nasihat
itu, ia tidak perlu bertanya-tanya lagi soal agama kepada orang lain. Lalu,
Rasulullah saw bersabda, Qul Amantu Billah Tsumma Istaqim (Katakanlah, aku
beriman kepada Allah, dan lalu bersikaplah istiqamah!). (H.R. Muslim).
Sabda Nabi di atas tergolong singkat, tetapi sangat padat. Menurut Qadhi Iyadh, hadits ini ekuivalen dengan firman Allah, ayat 30 surah Fusshilat, yang mengajarkan agar kita bersikap konsisten dan istiqamah dalam beragama, yakni senantiasa beriman kepada Allah swt dan senantiasa menjalani semua perintah-Nya. (Syarkah Shahih Mislim, juz 2/9).
Sabda Nabi di atas tergolong singkat, tetapi sangat padat. Menurut Qadhi Iyadh, hadits ini ekuivalen dengan firman Allah, ayat 30 surah Fusshilat, yang mengajarkan agar kita bersikap konsisten dan istiqamah dalam beragama, yakni senantiasa beriman kepada Allah swt dan senantiasa menjalani semua perintah-Nya. (Syarkah Shahih Mislim, juz 2/9).
Makna Istiqomah
Istiqamah
adalah anonim dari thughyan (penyimpangan atau melampaui batas). Ia bisa
berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata
istiqomah dari kata “qaama” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi,
istiqamah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqamah
diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.
Secara
terminology, istiqomah bisa diartikan dengan beberpa pengertian berikut ini:
- Abu Bakar
Shiddiq ra ketika ditanya tentang istiqamah ia menjawab; bahwa istiqamah
adalah kemurnian tauhid (tidak boleh menyekutukan Allah dengan apa dan
siapapun)
- Umar bin
Khattab r.a. berkata: “Istiqamah
adalah komitment terhadap perintah dan larangan dan tidak boleh menipu
sebagaimana tipu musang”
- Utsman bin
Affan ra berkata: “Istiqamah
adalah mengikhlaskan amal kepada Allah swt”
- Ali bin Abu
Thalib ra berkata: “Istiqamah
adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban”
- Hasan
Bashri berkata: “Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi
kemaksitan”
- Mujahid
berkata: “Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu
dengan Allah swt”
- Ibnu
Taimiah berkata: “Mereka beristiqamah dalam mencintai dan beribadah
kepaada-Nya tanpa menengok kiri kanan”
Dalil-Dalil Dan
Dasar Istiqâmah
Dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan masalah Istiqâmah di antaranya adalah;
فاستقم كما أمرت ومن تاب معك ولا تطغوا إنه بما تعملون
“Maka tetaplah (Istiqâmahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS 11:112).
Dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan masalah Istiqâmah di antaranya adalah;
فاستقم كما أمرت ومن تاب معك ولا تطغوا إنه بما تعملون
“Maka tetaplah (Istiqâmahlah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS 11:112).
Ayat ini
mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasulullah dan orang-orang yang bertaubat
bersamanya harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan.
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا فلا خوف عليهم ولا هم يحونون أولئك أصحاب الجنة خالدين فيها جزاء بما كانوا يعملون.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap Istiqâmah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan" (QS 46:13-14).
إن الذين قالوا ربنا الله ثم استقاموا فلا خوف عليهم ولا هم يحونون أولئك أصحاب الجنة خالدين فيها جزاء بما كانوا يعملون.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap Istiqâmah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan" (QS 46:13-14).
Ayat dan hadits
di atas menggambarkan urgensi Istiqâmah setelah beriman dan pahala besar yang
dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga
bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan
dalam setiap kondisi atau situasi apapun. Hal ini juga dikuatkan beberapa hadits
nabi di bawah ini;
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ )رواه مسلم(
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah, kemudian berIstiqâmahlah (jangan menyimpang).” (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ )رواه مسلم(
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah, kemudian berIstiqâmahlah (jangan menyimpang).” (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)
5 Tips
Istiqamah
Kesucian dan
ketakwaan yang ada dalam jiwa harus senantiasa dipertahankan oleh setiap
muslim. Hal ini disebabkan kesucian dan ketakwaan ini bisa mengalami pelarutan,
atau bahkan hilang sama sekali. Namun, ada beberapa tips yang membuat seorang
muslim bisa mempertahankan nilai ketakwaan dalam jiwanya, bahkan mampu
meningkatkan kualitasnya. Tips tersebut adalah sebagai berikut;
Pertama, Muraqabah
Muraqabah
adalah perasaan seorang hamba akan kontrol ilahi dan kedekatan dirinya kepada
Allah. Hal ini diimplementasikan dengan mentaati seluruh perintah Allah dan
menjauhi seluruh larangan-Nya, serta memiliki rasa malu dan takut, apabila
menjalankan hidup tidak sesuai dengan syariat-Nya.
“Dialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas
‘arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan
Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Hadid: 4)
Rasulullah saw.
bersabda-ketika ditanya tentang ihsan, “Kamu beribadah kepada Allah
seolah-olah kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya
Dia melihat kamu.” (H.R. Bukhari)
Kedua, Mu’ahadah
Mu’ahadah yang
dimaksud di sini adalah iltizamnya seorang atas nilai-nilai kebenaran Islam.
Hal ini dilakukan kerena ia telah berafiliasi dengannya dan berikrar di hadapan
Allah SWT.
Ada banyak ayat
yang berkaitan dengan masalah ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
“Dan tepatilah
perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan
Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (An-Nahl: 91)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27)
Ketiga, Muhasabah
Muhasabah
adalah usaha seorang hamba untuk melakukan perhitungan dan evaluasi atas
perbuatannya, baik sebelum maupun sesudah melakukannya. Allah berfirman;
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
“Orang yang
cerdas (kuat) adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal untuk hari
kematiannya. Adapun orang yang lemah adalah orang yang mengekor pada hawa nafsu
dan berangan-angan pada Allah.” (H.R. Ahmad)
Umar bin
Khattab ra berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab, dan timbanglah amalmu
sebelum ditimbang ….”
Keempat, Mu’aqabah
Mu’aqabah
adalah pemberian sanksi oleh seseorang muslim terhadap dirinya sendiri atas
keteledoran yang dilakukannya.
“Dan dalam
qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 179)
Generasi salaf
yang soleh telah memberikan teladan yang baik kepada kita dalam masalah
ketakwaan, muhasabah, mu’aqabah terhadap diri sendiri jika bersalah, serta
contoh dalam bertekad untuk lebih taat jika mendapatkan dirinya lalai atas
kewajiban. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa contoh di bawah ini.
1. Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khaththab ra pergi ke kebunnya. Ketika ia pulang,
maka didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan Shalat Ashar. Maka
beliau berkata, “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang
sudah shalat Ashar! Kini, aku menjadikan kebunku sedekah untuk orang-orang
miskin.”
2. Ketika Abu
Thalhah sedang shalat, di depannya lewat seekor burung, lalu beliau pun
melihatnya dan lalai dari shalatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau
shalat. Karena kejadian tersebut, beliau mensedekahkan kebunnya untuk
kepentingan orang-orang miskin, sebagai sanksi atas kelalaian dan ketidak
khusyuannya.
Kelima Mujahadah (Optimalisasi)
Mujahadah
adalah optimalisasi dalam beribadah dan mengimplementasikan seluruh nilai-nilai
Islam dalam kehidupan.
“Hai
orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya…” (Al-Hajj: 77-78)
“Rasulullah
saw. melaksanakan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Aisyah ra. pun bertanya,
‘Mengapa engkau lakukan hal itu, padahal Allah telah menghapuskan segala
dosamu?’ Maka, Rasulullah saw. menjawab, ‘Bukankah sudah sepantasnya aku
menjadi seorang hamba yang bersyukur.’” (H.R. Bukhari-Muslim)
Inilah lima
langkah yang harus dimiliki oleh seorang muslim yang ingin mempertahankan nilai
keimanan, yang ingin bertahan dan istiqamah di puncak ketakwaannya. Semoga
Allah SWT menjadikan kita semua hamba-hamba-Nya yang senantiasa istiqamah,
menjadi model-model muslim ideal dan akhirnya kita dijanjikan surga-Nya.amin
Faktor-Faktor Yang Melahirkan Istiqâmah
Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah (691 - 751 H) dalam kitabnya “Madaarijus Salikiin”
menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan istiqomah dalam jiwa
seseorang sebagaimana berikut;
1. Beramal dan
melakukan optimalisasi
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS 22:78).
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS 22:78).
2. Berlaku
moderat antara tindakan melampui batas dan menyia-nyiakan
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS 25:67).
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS 25:67).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam Ahmad dari sahabat Anshar)
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam Ahmad dari sahabat Anshar)
3. Tidak
melampui batas yang telah digariskan ilmu pengetahuannya
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban” (QS 17:36).
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban” (QS 17:36).
4. Tidak
menyandarkan pada faktor kontemporal, melainkan bersandar pada sesuatu yang
jelas.
5. Ikhlas
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh, melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS 98:5).
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh, melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS 98:5).
6. Mengikuti
Sunnah
قال النبي صلى الله عليه وسلم: تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه.
“Telah aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selamanya selagi berpegang tegung dengannya yaitu Al-Qur’an dan sunnah para nabinya”(HR Imam Malik dalam Muatta’).
قال النبي صلى الله عليه وسلم: تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه.
“Telah aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selamanya selagi berpegang tegung dengannya yaitu Al-Qur’an dan sunnah para nabinya”(HR Imam Malik dalam Muatta’).
Beristiqomah Dengan Maksimal
Istiqamah,
seperti terlihat di atas, merupakan usaha maksimal yang dapat dilakukan oleh
manusia untuk senantiasa berada di jalan Allah swt. Karena itu, tidak setiap
orang dapat memiliki sifat istiqamah. Sifat istiqamah, menurut sufi Abu
al-Qasim al-Qusyairi, hanya dimililki oleh orang-orang yang benar-benar beriman
dan bertakwa kepada Allah swt. Mengenai keutamannya, Qusyairi berkata,Barang
siapa memiliki sifat istiqamah, maka ia akan meraih segala kesempurnaan dan
segala kebajikan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat istiqamah, maka
semua usahanya akan sia-sia dan semua perjuangannya akan kandas.
Tak heran bila sikap istiqamah itu menjadi harapan dan dambaan para sufi. Sufi sejati, menurut Ibn Athaillah al Sakandari, tak pernah mengharap keramat (al-Karamah), tetapi mengharap istiqamah, yakni sikap konsisten dalam beragama. Bahkan keramat yang sesungguhnya bagi mereka adalah sikap istiqamah itu. Sedang keramat dalam arti memperoleh sesuatu yang luar biasa (al-Khariq al-Adat) sama sekali tak berharga dan tak ada artinya buat mereka.
Mengapa? Jawabnya, karena keramat semacam ini dapat diperoleh oleh siapa saja dan seringkali membuat tuannya sesat dan tergelincir. Sedang sifat istiqamah, selain hanya dimiliki oleh orang-orang yang takwa, juga dapat melapangkan jalan baginya menuju Allah swt, Sang Kebenaran Mutlak (Syarh Kitab Hikmah, juz 2/14).
Seorang disebut istiqamah, menurut riwayat yang bersumber dari Kulafa al-Rasyidin, bila ia konsisten dalam empat hal. Pertama, konsisten dalam memegang teguh aqidah tauhid. Kedua, konsisten dalam menjalankan syariat agama baik berupa perintah (al-awamir) maupun larangan (al-nawahi). Ketiga, konsisten dalam bekerja dan berkarya dengan tulus dan ikhlas karena Allah. Keempat, konsisten dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan baik dalam waktu lapang maupun dalam waktu susah.
Dalam sifat istiqamah, seperti terlihat di atas, terkandung sifat-sifat yang luhur dan terpuji, seperti sifat setia, taat asas, tepat janji, dan teguh hati. Untuk itu, Allah swt menjanjikan kepada orang-orang yang istiqamah balasan yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah para penghuni sorga; mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan (Al-Ahqaf, 13-14). Semoga kita bisa istiqamah dalam segal hal. Amin
Tak heran bila sikap istiqamah itu menjadi harapan dan dambaan para sufi. Sufi sejati, menurut Ibn Athaillah al Sakandari, tak pernah mengharap keramat (al-Karamah), tetapi mengharap istiqamah, yakni sikap konsisten dalam beragama. Bahkan keramat yang sesungguhnya bagi mereka adalah sikap istiqamah itu. Sedang keramat dalam arti memperoleh sesuatu yang luar biasa (al-Khariq al-Adat) sama sekali tak berharga dan tak ada artinya buat mereka.
Mengapa? Jawabnya, karena keramat semacam ini dapat diperoleh oleh siapa saja dan seringkali membuat tuannya sesat dan tergelincir. Sedang sifat istiqamah, selain hanya dimiliki oleh orang-orang yang takwa, juga dapat melapangkan jalan baginya menuju Allah swt, Sang Kebenaran Mutlak (Syarh Kitab Hikmah, juz 2/14).
Seorang disebut istiqamah, menurut riwayat yang bersumber dari Kulafa al-Rasyidin, bila ia konsisten dalam empat hal. Pertama, konsisten dalam memegang teguh aqidah tauhid. Kedua, konsisten dalam menjalankan syariat agama baik berupa perintah (al-awamir) maupun larangan (al-nawahi). Ketiga, konsisten dalam bekerja dan berkarya dengan tulus dan ikhlas karena Allah. Keempat, konsisten dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan baik dalam waktu lapang maupun dalam waktu susah.
Dalam sifat istiqamah, seperti terlihat di atas, terkandung sifat-sifat yang luhur dan terpuji, seperti sifat setia, taat asas, tepat janji, dan teguh hati. Untuk itu, Allah swt menjanjikan kepada orang-orang yang istiqamah balasan yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah para penghuni sorga; mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan (Al-Ahqaf, 13-14). Semoga kita bisa istiqamah dalam segal hal. Amin
(Tafsir)Sebagian Ulama yang lain mengatakan :
Maksud “istiqomah” adalah pengambilan sumpah di alam arwah.
Sementara, ada pula yang mengatakan, istiqomah
itu bisa terjadi secara lahir dan bathin, istiqomahnya orang awam secara lahir
adalah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangan, sedang
secara bathin adalah iman dan tasdiq.
Adapun istiqomahnya orang khawas secara lahir
adalah menghindari dunia dan meninggalkan perhiasannya maupun keinginan-keinginan
terhadapnya, sedangkan secara bathin adalah tidak menginginkan kenikmatan
syurga karena rindu kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. (Syihabuddin)Abubakar ra.
Pernah ditanya tentang istiqomah, maka jawabnya : “janganlah kamu mengsekutukan
sesuatupun dengan Allah”.
Sedang Umar ra. Berkata : “istikomah artinya
hendaklah kamu konsisten terhadap perintah (dengan melaksanakannya) dan
larangan (dengan menjauhinya), dan janganlah kamu menyeleweng secara
sembunyi-sembunyi seperti seekor musang”.
Utsman ra. Berkata : “istiqomah adalah
keikhlasan”.Imam Ali ra., berkata : “istiqomah adalah melaksanakan
kewajiban-kewajiban”.
(Ma’alimut Tanzil) Seorang ahli kebenaran
berkata : “Istiqomah itu ada tiga macam
(1) istiqomah dengan lidah,
(2) istiqomah dengan hati,
(3)istiqomah dengan jiwa.
Istiqomah dengan lidah adalah senantiasa
mengucapkan kalimat syahadat. Istiqomah dengan hati adalah senantias berbeda di
atas keinginan yang benar.
Sedangkan istiqomah dengan jiwa adalah
senantiasa melaksanakan ibadah-ibadah dan ketaatan-ketaatan”.
Sementara yang lain mengatakan : “istiqomah itu
dicapai dengan empat perkara :
(1) taat dalam menghadapi perintah,
(2) takwa dalam menghadapi larangan,
(3) syukur dalam menghadapi nikmat,
(4) sabar dalam menghadapi surga.
Sedangkan kesempurnaan yang empat itu adalah
dengan empat perkara pula :
kesempurnaan taat adalah ikhlas, kesempurnaan
taqwa adalah dengan taubat, kesempurnaan syukur adalah dengan mengakui
ketidakberdayaan diri, dan kesempurnaan sabar adalah dengan melaksanakannya
secara total.
(Imam Nasafi)Al Faqih Abu Laits berkata :
“tanda istiqomah seseorang adalah apabila dia memelihara sepuluh perkara
sebagai suatu yang wajib atas dirinya :
1. Memelihara lidah dari menggunjing orang
lain.
2. Menjauhi buruk sangka
3. Menjauhkan diri dari memperolok-olokkan
orang lain.
4. Memelihara indra penglihatan dari apa-apa
yang diharamkan.
5. Kejujuran lidah.
6. Menafkahkan harta di jalan Allah
7. Tidak bersikap boros
8. Tidak ingin dirinya ditonjolkan atau
diagung-angungkan
9. Memelihara shalat lima waktu.
10. Konsisten mengikuti ahlu sunnah wal jamaah(Tanbihul
Ghafilin)
JAKARTA
28/8/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar