HIKMAH PERNIKAHAN DALAM ISLAM (1)
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
'Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).HR Bukhari
Muqaddimah
Rasulullah n
memaknakan dlm haditsnya, menikah adalah menyempurnakan setengah dari agamanya.
Ungkapan ini menegaskan betapa pernikahan menduduki posisi yang mulia dlm Islam. Ia bukan sekadar lembaga utk
menghalalkan “aktivitas ranjang”. Namun lebih dari itu. Menikah merupakan babak
baru dari seorang individu muslim menjadi sebentuk keluarga di mana ia akan
menegakkan syariat agama ini bukan hanya utk dirinya sendiri namun juga
terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dst.
Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dlm Islam juga tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau coba-coba layaknya pacaran. Namun dilambari niatan yang tulus utk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Allah l diringi dgn kesiapan utk menerima segala kelebihan & kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur rasa malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.
Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dlm Islam juga tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau coba-coba layaknya pacaran. Namun dilambari niatan yang tulus utk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Allah l diringi dgn kesiapan utk menerima segala kelebihan & kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur rasa malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.
Makna Nikah
ikah Menurut Bahasa.
النِّكَـاحُ menurut bahasa berarti الضَّمُّ (menghimpun). Kata ini dimutlakkan untuk akad atau persetubuhan.
Al-Imam Abul Hasan an-Naisaburi berkata: “Menurut al-Azhari, an-nikaah dalam bahasa Arab pada asalnya bermakna al-wath-u (persetubuhan). Perkawinan disebut nikaah karena menjadi sebab persetubuhan.”
Abu ‘Ali al-Farisi berkata: “Bangsa Arab membedakan keduanya dengan perbedaan yang sangat tipis. Jika mereka mengatakan: ‘نَكَحَ فَلاَنَةً (menikahi fulanah) atau بِنتَ فُلاَنٍ (puteri si fulanah) atau أُخْتَهُ (saudarinya),’ maka yang mereka maksud ialah melakukan akad terhadapnya. Jika mereka mengatakan: ‘نَكَحَ امْـرَأَتَهُ atau نَكَحَ زَوْجَـتَهُ (menikahi isterinya),’ maka yang mereka maksud tidak lain adalah persetubuhan. Karena dengan menyebut isterinya, maka tidak perlu menyebutkan akadnya.”
النِّكَـاحُ menurut bahasa berarti الضَّمُّ (menghimpun). Kata ini dimutlakkan untuk akad atau persetubuhan.
Al-Imam Abul Hasan an-Naisaburi berkata: “Menurut al-Azhari, an-nikaah dalam bahasa Arab pada asalnya bermakna al-wath-u (persetubuhan). Perkawinan disebut nikaah karena menjadi sebab persetubuhan.”
Abu ‘Ali al-Farisi berkata: “Bangsa Arab membedakan keduanya dengan perbedaan yang sangat tipis. Jika mereka mengatakan: ‘نَكَحَ فَلاَنَةً (menikahi fulanah) atau بِنتَ فُلاَنٍ (puteri si fulanah) atau أُخْتَهُ (saudarinya),’ maka yang mereka maksud ialah melakukan akad terhadapnya. Jika mereka mengatakan: ‘نَكَحَ امْـرَأَتَهُ atau نَكَحَ زَوْجَـتَهُ (menikahi isterinya),’ maka yang mereka maksud tidak lain adalah persetubuhan. Karena dengan menyebut isterinya, maka tidak perlu menyebutkan akadnya.”
Pernikahan atau nikah
artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab
Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang
manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke
pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[1]. Kata zawaj digunakan
dalam al-Quran artinya adalah pasangan
yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah
s.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan
mengharamkan zina.
Rukun nikah
dibahagikan kepada 5 iaitu,
1. Pengantin lelaki
Pangantin lelaki mestilah seorang Islam, baligh, berakal,
tidak berada dalam ihram atau umrah, tidak dipaksa kahwin, tidak beristeri
lebih dari 4 orang, lelaki yang tertentu dan perempuan yang ingin dikahwininya
itu bukanlah mahramnya.
2. Pengantin perempuan
Pengantin perempuan mestilah seorang Islam, tidak berada
dalam ihram haji atau umrah, bukan isteri kepada seseorang, tidak berada dalam
iddah dan perempuan yang tertentu.
3. Akad (Ijab & Qabul)
Di antara syarat-syarat akad ialah lafaz yang digunakan
mestilah lafaz khas yang membawa maksud nikah atau kahwin serta tidak diselangi
dengan perkataan yang lain dari maksud nikah atau kahwin di antara ijab dan
qabul. Tidak boleh diselangi dengan diam yang lama antara lafaz ijab dan qabul.
Hendaklah bersamaan maksud antara lafaz ijab dan qabul. Lafaz ijab dan qabul
tidak dikaitkan dengan sesuatu perkara serta tidak dibenarkan had atau tempoh
masa bagi perkahwinan itu.
4. Wali
Syarat bagi wali ialah mestilah seorang Islam, baligh,
berakal, merdeka bukan seorang hamba, seorang lelaki yang adil, tidak dipaksa,
tidak berada dalam ihram haji atau umrah dan bukan seorang lelaki yang fasik.
5. Dua orang saksi
Syarat-syarat bagi saksi ialah mestilah beragama Islam,
baligh, berakal, merdeka bukan seorang hamba, dapat mendengar dan melihat
dengan baik, tidak pelupa atau nyanyuk, memahami bahasa yang digunakan semasa
lafaz ijab dan qabul dan tidak terkena atasnya menjadi wali.
Seruan Menikah
Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak
memberikan anjuran untuk menikah.
Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran tentang ucapan Zakariya Alaihissallam :
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a.” [Ali ‘Imran/3: 38].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’” [Al-Anbiyaa’/21: 89].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan…” [Ar-Ra’d/13: 38]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur/24: 32].
Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ.
"Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa."[1]
Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya. Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran tentang ucapan Zakariya Alaihissallam :
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a.” [Ali ‘Imran/3: 38].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’” [Al-Anbiyaa’/21: 89].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan…” [Ar-Ra’d/13: 38]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur/24: 32].
Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ.
"Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa."[1]
Hukum Pernikahan
- Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga boleh menjatuhkan ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar(mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepad bakal isterinya. Dalam permasalahan ini boleh didahulukan perkahwinan dari naik haji kerana gusar penzinaan akan berlaku, tetapi jika dapat dikawal nafsu, maka ibadat haji yang wajib perlu didahulukan kerana beliau seorang yang berkemampuan dalam segala aspek.
- Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
- Harus kepada orang yang tidak ada padanya galakan dan bantahan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkahwinan
- Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri, sama ada ia kaya atau tiada nafsu yang kuat
- Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan berkahwin serta akan menganiaya isteri jika dia berkahwin.
Hikmah perkahwinan
- Cara yang halal untuk menyalurkan nafsu seks melalui ini manakala perzinaan liwat dan pelacuran sebagainya dapat dielakkan.
- Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
- Memelihara kesucian diri
- Melaksanakan tuntutan syariat
- Menjaga keturunan
- Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan persekitaran yang sihat bagi membesarkan anak-anak.Kanak-kanak yang dibesarkan tanpa perhubungan ibu bapa akan memudahkan si anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh itu, institusi kekeluargaan yang disyorkan Islam dilihat medium yang sesuai sebagai petunjuk dan pedoman kepada anak-anak
- Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab
- Dapat mengeratkan silaturahim.
BERSAMBUNG
JAKARTA 23/8/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar