ASURANSI
SYARIAH DAN KONVENSIONAL
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ
تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS.An-Nisa’: 29).
“Dan saling
tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan”(Al-Maidah:2)
Muqaddimah
Asuransi yang
selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (konvensional) bukan merupakan
asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak
termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan
para sahabat yang membahas hukimnya.
Terjadi
perbedaan pendapat ulama tentang asuransi non syariah (konvensional) yang
disebabkan oleh perbedaan ilmu dan ijtihad mereka. Alasannya antara lain :
1. Pada
transaksi asuransi konvensional terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan ghoror
(ketidakpastian), dimana tidak diketahui siapa yang akan mendapatkan keuntungan
atau kerugian pada saat berakhirnya periode asuransi.
2. Di dalamnya
terdapat riba atau syubhat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi
jiwa, dimana seseorang yang membeli polis asuransi membayar sejumlah kecil
dana/premi dengan harapan mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan
datang, namun bisa saja dia tidak mendapatkannya. Jadi pada hakekatnya
transaksi ini adalah tukar menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang
yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba
nasi’ah.
3. Asuransi ini
termasuk jenis perjudian (maysir), karena salah satu pihak membayar
sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara
untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak
mendapatkan semua harta yang dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak akan
mendapatkan apapun.
Melihat ketiga
hal di atas, dapat dikatakan bahwa transaksi dalam asuransi konvensional yang
selama ini kita kenal, belum sesuai dengan transaksi yang dikenal dalam fiqh
Islam. Asuransi syari’ah dengan prinsip ta’awunnya, dapat diterima oleh
masyarakat dan berkembang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini.
Makna Asuransi
Asuransi
berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam
bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa
Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang
Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.
Menurut
sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang
berarti menyakinkan orang.
Di dalam bahasa
Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful, atau at
Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga
dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang
berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang
berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )
Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya
para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang
akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.
Adapun asuransi
menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun
1992:
” Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi
untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan “
Hukum Asuransi
Hukum Asuransi
menurut Islam berbeda antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya
sebagai berikut :
Pertama : Ansuransi Ta’awun
Untuk asuransi
ta’awun dibolehkan di dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut :
- Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ (sumbangan suka rela) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.
- Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.
- Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.
- Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.(Sumber: Keputusan Majma’ Fiqh al Islami, pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 – 17 Sya’ban 1398 H di pusat Rabithah al-Alam al-Islami, Makkah al-Mukarramah, dan Keputusan Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, dengan SK nomor 51. Begitu juga keputusan Muktamar Majma’ al Buhuts al Islamiyah di Kairo, tahuan 1392/ 1972.)
Kedua : Asuransi Sosial
Begitu juga
asuransi sosial hukumnya adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :
- Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu.
- Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.
Ketiga : Asuransi Bisnis atau Niaga
Adapun untuk
Asuransi Niaga maka hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi
Niaga ( Bisnis ), antara lain sebagai berikut : (Sumber:Prof. Dr.
Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 9- 12 Majma’
Fiqh al Islami, pada pertemuan per-tamanya yang diadakan pada tanggal 10
Sya’ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami
Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di
kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK nomor 55,)
Perbedaan Asuransi
Syariah dan Konvensional
Adapun
perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
1.Dari Sisi
Prinsip Dasar
Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah kedua- duanya bertugas untuk
mengelola dan menanggulangi risiko, hanya saja di dalam Asuransi Syariah konsep
pengelolaannya dilakukan dengan menggunakan pola saling menanggung risiko
antara pengelola dan peserta( risk sharing ) atau disebut dengan at takaful dan
at tadhamun. Sedang dalam Asuransi Konvensional pola kerjanya adalah
memindahkan risiko dari nasabah ( peserta ) kepada perusahaan ( pengelola ),
yang disebut dengan risk transfer. Sehingga resiko yang mengenai peserta akan
ditanggung secara penuh oleh pengelola.
2.Dari Sisi
Akad
Pada bagian tertentu ausransi syariah akadnya adalah tabarru’ ( sumbangan
kemanusiaan ) dan ta’awun ( tolong menolong ), serta akad wakalah dan
mudharabah ( bagi hasil ). Sedangkan pada asuransi konvensional, akadnya adalah
jual beli yang bersifat al gharar ( spekulatif ).
3.Dari Sisi
Kepimilikan Dana
Di dalam Asuransi Konvensional dana yang dibayarkan nasabah kepada
perusahaan ( premi ) menjadi menjadi milik perusahaan secara penuh, khususnya
jika peserta tidak melakukan klaim apapun selama masa asuransi. Sedangkan di
dalam Asuransi Syariah dana tersebut masih menjadi milik peserta, setelah
dikurangi pembiayaan dan fee ( ujrah ) perusahaan. Karena di dalam Asuransi
Syariah, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah ( wakil ) yang digaji oleh
peserta, atau yang sering disebut dengan istilah al Wakalah bi al Ajri.
Bisa juga perusahaan sebgai pengelola dana ( mudharib ) dalam akad mudharabah (
bagi hasil ). Bahkan ada perusahaan yang mengembalikan underwriting surplus
pengelolaan dana tabarru’nya kepada peserta selama tidak ada klaim pada masa
asuransi. Ataupun perusahaan sebagai pengelola dana.
4.Dari sisi
obyek
Asuransi Syariah hanya membatasi pengelolaannya pada obyek-obyek asuransi
yang halal dan tidak mengandung syubhat. Oleh karenanya tidak boleh menjadikan
obyeknya pada hal-hal yang haram atau syubhat, seperti gedung-gedung yang
digunakan untuk maksiat, atau pabrik-pabrik minuman keras dan rokok, bahkan
juga hotel-hotel yang tidak syariah. Adapun Asuransi Konvensional tidak
membedakan obyek yang haram atau halal, yang penting mendatangkan keuntungan.
5.Dari Sisi
Investasi Dana.
Dana dari kumpulan premi dari peserta selama belum dipakai, oleh perusahaan
asuransi syariah diinvestasikan pada lembaga keuangaaan yang berbasis syariah
atau pada proyek-proyek yang halal yang didasarkan pada sistem upah atau bagi
hasil. Adapun asuransi konvensional pengelolaan investasinya pada sistem bunga
yang banyak mengandung riba dan spekulatif ( gharar ).
6.Dari Sisi
Pembayaran Klaim.
Pada asuransi syariah pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ (
dana sosial ) dari seluruh peserta, yang sejak awal diniatkan untuk diinfakkan
untuk kepentingan saling tolong menolong bila terjadi musibah pada sebagian
atau seluruh peserta. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim
diambil dari dana perusahaan karena sejak awal perjanjian bahwa seluruh premi
menjadi milik perusahaan dan jika terjadi klaim, maka secara otomatis menjadi
pengeluaraan perusahaan.
7.Dari Sisi
Pengawasan.
Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), sesuatu
yang tidak di dapatkan pada asuransi konvensional.
8.Dari sisi
dana zakat, infaq dan sadaqah.
Dalam asuransi syariah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagaimana
ketentuan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional tidak dikenal
istilah zakat.(Sumber: Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi
Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 60-65, Prof. Dr. Husain Husain Sahatah,
Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 163, Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum
Syariah dalam Praktik, hal : 2-5)
JAKARTA 27/8/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar