Dan orang-orang
yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun
dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang
dikerjakannya. [ath-Thûr/52:21]
Hadits ini
diperkuat oleh hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam Shahîh Muslim:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Ketika seorang
manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal,
(yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shalih
yang mendoakannya.
Muqaddimah
Telah
dimaklumi, kehidupan dunia adalah fana. Dan yang kekal ada di akhirat. Maka
segala hal yang ada di dunia ini bersifat sementara dan akan binasa. Demikian
pula berbagai hubungan yang dibangun di dunia ini, semuanya akan terputus,
kecuali memang jika ada faktor penyebab yang akan melanggengkan hubungan itu
sampai di akhirat.
Iya, faktor
penyebab pertama dan utama sekaligus sebagai syarat untuk melanjutkan hubungan
yang telah terjalin di dunia, adalah keimanan, tauhid dan ketakwaan. Karena
tanpa adanya hal ini, hubungan apapun yang terjalin di dunia, akan berubah
menjadi permusuhan di akhirat kelak.
Allah berfirman,
Allah berfirman,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Orang-orang yang saling mencinta, pada hari itu (kiamat) sebagian mereka
menjadi musuh bagi sebagian lainnya, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67)
Syekh as-Sa’di
-rahimahullah- menjelaskan, “Dan sesungguhnya pada hari itu, yakni pada
hari kiamat, orang-orang yang saling mencinta, yaitu orang-orang yang kecintaan
mereka di bangun di atas kekafiran, pendustaan dan kemaksiatan kepada Allah;
maka sebagian mereka menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Hal itu karena
cinta kasih mereka di dunia ini bukan karena Allah, sehingga berbaliklah
menjadi permusuhan pada hari kiamat. Kecuali orang-orang yang bertakwa (menjaga
dan melindungi diri) dari kesyirikan dan kemaksiatan, maka kecintaan mereka
akan langgeng dan terus tersambung disebabkan kekalnya Allah yang menjadi
tujuan kecintaan mereka.” (Taisirul Karimir Rahman)
Kenikmatan Ahli
Jannah, Hidup Bersama Anak-Anak Mereka
Ayat di atas berbicara tentang salah satu kenikmatan sangat menyenangkan, yang diraih oleh penghuni surga (ahlul-jannah). Karunia yang tidak hanya direguk oleh para wali-Nya di surga. Yakni hidup bersama-sama dengan keturunan mereka, meskipun amalan shalih anak keturunan mereka tidak sepadan dengan orang tuanya baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.
Ayat di atas berbicara tentang salah satu kenikmatan sangat menyenangkan, yang diraih oleh penghuni surga (ahlul-jannah). Karunia yang tidak hanya direguk oleh para wali-Nya di surga. Yakni hidup bersama-sama dengan keturunan mereka, meskipun amalan shalih anak keturunan mereka tidak sepadan dengan orang tuanya baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.
Dalam suatu hadits telah ada penjelasan bahwa seorang
wanita muslimah, akan menjadi istri bagi suaminya yang terakhir ketika di
dunia. Oleh karena itu, istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidak boleh dinikahi orang lain sepeninggal beliau, karena mereka
akan menjadi istri-istri beliau di akhirat.
Muawiyah bin
Abi Sufyan pernah melamar Ummu Darda, namun dia enggan menikah dengannya. Dan
dia berkata, “Aku pernah mendengar Abu Darda berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu untuk suaminya yang terakhir.”
Sedangkan aku tidak menginginkan pengganti Abu Darda.”
Dalam lafazh
lain disebutkan,
اَيُّمَا امْرَأَةٍ تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ فَهِيَ ِلآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Wanita mana saja yang ditinggal mati suaminya, lalu dia menikah lagi
setelahnya, maka dia milik suaminya yang terakhir.” (Lihat as-Silsilah ash-Shahihah,
no. 1281)
Penjelasan Ayat Menurut Para Mufassir
Perhatikan
keterangan Imam Ibnu Katsir
rahimahullah tentang ayat di atas berikut ini.
Beliau berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan mengenai keutamaan, kemurahan,
kenikmatan dan kelembutan-Nya, serta curahan kebaikan-Nya kepada makhluk. Bahwa
kaum mukminin, bila keturunan mereka mengikuti dalam keimanan (sebagaimana
keimanan orang tua mereka), niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menempatkan
anak-anak yang beriman ini ke derajat orang tua mereka, kendatipun amalan-amalan
shalih mereka (anak-anak yang beriman) itu tidak sebanding dengan amalan para
orang tuanya itu. Supaya pandangan para orang tua menjadi damai sejuk dengan
kebersamaan anak-anaknya di tempat yang sama. Lantas, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyatukan mereka dalam kondisi terbaik. Anak yang kurang amalannya terangkat
oleh orang tuanya yang sempurna amalannya. Hal ini tidak mengurangi sedikit pun
amalan dan derajatnya, meskipun mereka berdua akhirnya berada di tempat yang
sama.
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: Kami
tidak mengurangi pahala amalan anak-anak lantaran sedikitnya amalan mereka. Dan
pula, tidak mengurangi pahala para orang tua sedikit pun, meskipun menempatkan
keturunan mereka bersama dengan orang tua mereka (yang berada di derajat yang
lebih tinggi, Pen.
Atau dengan
pengertian lain, seperti diungkapkan oleh Imam
ath-Thabari: Kami tidak mengurangi ganjaran kebaikan mereka sedikit pun
dengan mengambilnya dari mereka (para orang tua) untuk kemudian Kami tambahkan
bagi anak-anak mereka yang Kami tempatkan bersama mereka. Akan tetapi, Kami
beri mereka pahala dengan penuh, dan (lantas) Kami susulkan anak-anak mereka ke
tempat-tempat mereka (para orang tua) atas kemurahan Kami bagi mereka.
Demikianlah,
kemurahan dan keutamaan yang diraih anak-anak melalui keberkahan amalan para
orang tua. Adapun keutamaan dan kemurahan yang dilimpahkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada para orang tua melalui doa anak-anaknya, tertuang pada hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh, Allah
benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga,” maka ia
pun bertanya: “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab:
“Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”.
Imam al-Qurthubi membawakan beberapa pengertian ayat
ini dari keterangan para ulama. Yang pertama, ayat ini berbicara tentang
penghuni neraka.
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata:
Para penghuni neraka Jahannam terkungkung oleh amalan (buruk) mereka. Sementara itu, para penghuni surga menuju kenikmatan. Hal ini serupa kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Para penghuni neraka Jahannam terkungkung oleh amalan (buruk) mereka. Sementara itu, para penghuni surga menuju kenikmatan. Hal ini serupa kandungan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ عَنِ الْمُجْرِمِينَ
Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan,
berada di dalam surga, mereka tanya-menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang
berdosa. [al-Muddatstsir/74:38-41].
Berbeda dengan
keterangan-keterangan di atas, Syaikh
as-Sa’di berpendapat, penggalan ayat ini ditujukan untuk menghilangkan
prasangka bahwa anak-anak penghuni neraka (ahlun-nar) pun mengalami hal serupa.
Yaitu akan berada di tempat yang sama dengan orang tua mereka. Lantas Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa keadaannya tidak demikian. Dalam masalah
ini, tidaklah sama kondisi antara surga dan neraka. Neraka adalah tempat
penegakan keadilan. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengadzab
seseorang kecuali dengan perbuatan dosanya. Seseorang juga tidak memikul dosa
orang lain.
Pelajaran Ayat Diatas
1. Besarnya keutamaan dan kemurahan Allah kepada para hamba-Nya, kaum mukminin.
2. Penetapan adanya hari Pembalasan dan Kebangkitan.
3. Keutamaan iman dan kemuliaan para ahlinya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebabkan anak keturunannya yang memiliki amalan sedikit dapat dipersatukan dengan para orang tua mereka yang memiliki banyak amal shalih.
4. Penetapan kaidah, setiap manusia akan tergantung dengan amal perbuatannya di akhirat kelak. Wallahu a’lam
1. Besarnya keutamaan dan kemurahan Allah kepada para hamba-Nya, kaum mukminin.
2. Penetapan adanya hari Pembalasan dan Kebangkitan.
3. Keutamaan iman dan kemuliaan para ahlinya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebabkan anak keturunannya yang memiliki amalan sedikit dapat dipersatukan dengan para orang tua mereka yang memiliki banyak amal shalih.
4. Penetapan kaidah, setiap manusia akan tergantung dengan amal perbuatannya di akhirat kelak. Wallahu a’lam
By Abi Anwar.Jakarta 2/5/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar