MEMAHAMI
TOLERANSI BERAGAMA ?
قُلْ يَا
أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang
kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.
(QS. Al-Kafirun: 1-6).
Muqaddimah
Prinsip
toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan sebagian kaum muslimin sungguh
sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut ulama mengajak umat untuk
turut serta dan berucap selamat pada perayaan non muslim. Namun Islam tidaklah
mengajarkan demikian. Prinsip toleransi yang diajarkan Islam adalah membiarkan
umat lain untuk beribadah dan berhari raya tanpa mengusik mereka. Senyatanya,
prinsip toleransi yang diyakini sebagian orang berasal dari kafir Quraisy di
mana mereka pernah berkata pada Nabi kita Muhammad,
“Wahai
Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim)
juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan
agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut
kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila
ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus
mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425).
Prinsipnya
sama dengan kaum muslimin saat ini di saat non muslim mengucapkan selamat Idul
Fitri, mereka pun balik membalas mengucapkan selamat natal. Itulah tanda akidah
yang rapuh.
Prinsip Toleransi Dalam Islam ?
Islam
mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan non muslim,
bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan
prinsip,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).
Prinsip
di atas disebutkan pula dalam ayat lain,
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah:
“Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’:
84)
أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ
وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu
berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ
“Bagi
kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)
Ibnu Jarir
Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi
kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir
hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan
mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak
meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku
tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14:
425).
Toleransi
Islam, menuret Qardhawi, berakar
pada empat prinsip. Pertama, prinsip keragaman, pluralitas (al-ta`addudiyah).
Keragaman sejatinya merupakan watak alam, dan bagian dari sunanatullah. Orang
Muslim, kata Qardhawi, meyakini Keesaan Allah (al-Khalik) dan keberagaman
ciptaan-Nya (makhluk). Dalam keragaman itu, kita disuruh saling mengenal dan
menghargai. (QS al-Hujurat [43]: 13).
Kedua, prinsip bahwa perbedaan terjadi karena kehendak Tuhan (waqi` bi masyi’atillah). Alquran sendiri menegaskan bahwa perbedaan agama karena kehendak-Nya. Allah SWT tentu tidak berkehendak pada sesuatu kecuali ada kebaikan di dalamnya. Kalau Allah menhendaki maka semua penduduk bumi menjadi Islam. Namun, hal demikian tidak dikehendaki-Nya. (QS Yunus [10]: 99).
Ketiga, prinsip yang memandang manusia sebagai satu keluarga (ka usrah wahidah). Semua orang, dari sisi penciptaan, kembali kepada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, dan dari sisi nasab, keturunan, ia kembali kepada satu asal (bapak), yaitu Nabi Adam AS. Pesan ini terbaca dengan jelas dalam surah al-Nisa ayat 1 dan dalam dekalrasi Nabi SAW yang amat mengesankan pada haji wada`.
Keempat, prinsip kemuliaan manusia dari sisi kemanusiannya (takrim al-Insan li-insaniyyatih). Manusia adalah makhluk tertingi ciptaan Allah, dimuliakan dan dilebihkan atas makhluk-makhluk lain (QS al-Isra [17]: 70), dan dinobatkannya sebagai khalifah (QS al-Baqarah [2]: 30). Penghormatan Nabi kepada jenazah Yahudi dilakukan semata-mata karena kemanusiannya, bukan warna kulit, suku, atau agamanya.
Toleransi Islam diajarkan dalam konteks sosial, bukan vertikal dengan satu tujuan, yaitu mewujudkan rasa aman dan damai. (QS Quraisy [106]: 3-4). Wallahu a`lam!
Kedua, prinsip bahwa perbedaan terjadi karena kehendak Tuhan (waqi` bi masyi’atillah). Alquran sendiri menegaskan bahwa perbedaan agama karena kehendak-Nya. Allah SWT tentu tidak berkehendak pada sesuatu kecuali ada kebaikan di dalamnya. Kalau Allah menhendaki maka semua penduduk bumi menjadi Islam. Namun, hal demikian tidak dikehendaki-Nya. (QS Yunus [10]: 99).
Ketiga, prinsip yang memandang manusia sebagai satu keluarga (ka usrah wahidah). Semua orang, dari sisi penciptaan, kembali kepada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, dan dari sisi nasab, keturunan, ia kembali kepada satu asal (bapak), yaitu Nabi Adam AS. Pesan ini terbaca dengan jelas dalam surah al-Nisa ayat 1 dan dalam dekalrasi Nabi SAW yang amat mengesankan pada haji wada`.
Keempat, prinsip kemuliaan manusia dari sisi kemanusiannya (takrim al-Insan li-insaniyyatih). Manusia adalah makhluk tertingi ciptaan Allah, dimuliakan dan dilebihkan atas makhluk-makhluk lain (QS al-Isra [17]: 70), dan dinobatkannya sebagai khalifah (QS al-Baqarah [2]: 30). Penghormatan Nabi kepada jenazah Yahudi dilakukan semata-mata karena kemanusiannya, bukan warna kulit, suku, atau agamanya.
Toleransi Islam diajarkan dalam konteks sosial, bukan vertikal dengan satu tujuan, yaitu mewujudkan rasa aman dan damai. (QS Quraisy [106]: 3-4). Wallahu a`lam!
Contoh Toleransi
Dalam Islam ?
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ
الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي
الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ
تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
“Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Ayat ini
mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah setiap muslim berbuat baik pada
lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama.
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang
tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah
di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang
yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247). Ibnu Jarir Ath
Thobari rahimahullah mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di
sini berlaku kepada setiap agama. Lihat Tafsir Ath Thobari, 14: 81.
Berikut
beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap
agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang kebablasan, diantaranya:
1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga
meskipun non-muslim
Berikut
ini teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang
Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia
berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya
sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,
ياَ غُلاَمُ!
إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
”Wahai
pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai
dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.
Lalu
ada salah seorang yang berkata,
آليَهُوْدِي
أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
“(kenapa
engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”.
‘Abdullah
bin ’Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا
أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
‘Saya
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap
tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris
kepadanya.” [2]
2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dzalim terhadap
keluarga dan kerabat meskipun non-muslim
Misalnya
pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap harus
berbuat baik dan berbakit kepada mereka dalam hal muamalah. Allah Ta’ala
berfirman,
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
3. Islam melarang keras membunuh non-muslim
kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin.
Dalam
agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi
yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang
mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi,
kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika
melanggar maka ancamannya sangat keras.
مَنْ قَتَلَ
قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا
لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa
membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal
sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ”[3]
4. Adil dalam hukum dan peradilan terhadap
non-muslim
Contohnya
ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkan
Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama
dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan
menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada
pemerintah Muslim. Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka
melakukan pembantaian.
Umar
bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan
perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non-muslim.
Ikhtitam
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non
muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para
fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang
shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم
عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم
“Janganlah
kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka.
Karena saat itu sedang turun murka Allah.”
Umar ra. berkata,
اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم
“Jauhilah
musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul
Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.
Sumber:1.https://rumaysho.com
2.https://muslim.or.id
3.http://www.republika.co.id
Jakarta 4/12/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar