MEMAHAMI ULUMUL QUR’AN
?
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ
لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
‘[Al-Qur’an adalah] sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu, penuh berkah, agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya…” (QS. Shad
[38]: 29)
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ
أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an
ataukah pada hati mereka terdapat gembok-gembok penghalangnya?” (QS.
Muhammad [47]: 24)
-
See more at: http://www.arrahmah.com/ramadhan/mutiara-ramadhan-16-kewajiban-tadabbur-al-quran.html#sthash.taz3i9QM.dpuf
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah
tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih
Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu
Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah,
hlm. 12-13).
عَنْ أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ…
“Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Bacalah Al Quran karena sesungguhnya dia akan datang pada hari
kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya” (HR. Muslim).
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang
membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan
tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak
mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu
huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih
Al Jami’, no. 6469)
Muqaddimah
Mentadabburi Al-Quran merupakan kewajiban dan
berinteraksi dengannya merupakan sesuatu keharusan sedangkan hidup di bawah
naungannya merupakan kenikmatan yang tidak dapat dimiliki kecuali orang yang
dapat merasakannya, kenikmatan yang memberikan keberkahan hidup, mengangkat dan
mensucikannya… hal ini tidak akan dirasakan kecuali bagi siapa yang benar-benar
hidup di bawah naungannya, merasakan berbagai kenikmatan yang bisa dirasakan,
mengambil dari apa yang dapat diraih; kelembutan, kebahagiaan, ketenangan,
ketenteraman, kenyamanan dan kelapangan. (lihat mukadimah penerbit dari Fi
Zhilalil Quran dan Biodata Sayyid Quthub pada surat Al-A’raf)
Di sini kami ingin memberikan kepada pembaca yang
budiman ungkapan-ungkapan yang baik dan bermutu tentang pengalaman nyata yang
dilalui dan dirasakan oleh seorang pemikir muslim kontemporer Asy-Syahid Sayyid
Quthub yang direkam dalam kitabnya Fi Zhilal Al-Quran, kami akan meringkas
ungkapan-ungkapan tersebut sesuai dengan kebutuhan zaman dan dapat memberikan
penerangan bagi para pembaca jalan yang benar dalam rangka mentadabburi
Al-Quran dan memahaminya, menelaah teori yang benar dalam berinteraksi dengan
Al-Quran, hidup di bawah naungannya.
Dari paragraf di atas dapat kita ambil kesimpulan
bahwa pokok utama yang harus kita jadikan petunjuk dalam menafsirkan Al-Quran
adalah sebagai berikut :
- Membekali diri dengan persiapan perasaan, pengetahuan –indra- dan pengalaman yang selalu menyertainya saat ingin memahami nash-nash Al-Quran dan merasakan sentuhan-sentuhannya.
- Memfokuskan diri –dengan khayalan, perasaan dan inderanya- pada suasana dan lingkungan saat diturunkannya Al-Quran, baik di Mekah dan di Madinah, agar dapat menemukan jejak dan pengaruh Al-Quran di sana
- Memperhatikan sikap para sahabat –lingkungan Mekah dan Madinah- dengan Al-Quran dan interaksi mereka serta kehidupan mereka bersama Al-Quran.
- Meneliti beberapa tujuan utama Al-Quran, metode aktual pergerakan yang di celup kan terhadap kehidupan umat Islam, serta diturunkannya Al-Quran secara realita dan sungguh-sungguh, sadar dan giat.
- Mengamalkannya dalam praktek jihad, dan menerapkannya dalam kehidupan dakwah –seperti –dalam sebagian fenomena- penerapan yang dilakukan oleh para sahabat –khususnya pada periode “Mekah” dan pergerakan teoritis jihad dengan Al-Quran, menyibukkan diri, perasaan dan anggota tubuh dengan kesibukan dan perhatiannya, kegalauan perasaan dan siksaan yang mereka terima…menerima –dari itu- Al-Quran agar di dapati darinya jawaban yang nyata dan obat penyembuh
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan
menafsirkan Alquran sebagai berikut:
- Menafsirkan Alquran dengan Alquran
- Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in
- Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Pengertian ‘Ulumul Qur’an ?
1. Arti
Kata ‘Ulum
Secara
etimologi, kata ‘Ulumul Qur’an
berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata,
yaitu “Ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata “ilmu” yang berarti
ilmu-ilmu2.
Kata ulum yang disandarkan pada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian
bahwa ilmu ini
merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik
dari segi
keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk
yang
terkandung di
dalamnya.
2.
Arti Kata Al-Qur’an
Menurut bahasa,
kata “Al-Qur’an” merupakan bentuk mashdar yang maknanya sama
dengan kata “qira’ah” yaitu bacaan. Bentuk mashdar
ini berasal dari fi’il madhi “qoro’a” yang
artinya membaca.
Menurut
istilah, “Al-Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan
kepada Nabi
Muhammad melalui perantara malaikat Jibril, yang dimulai surah Al-Fatihah dan
diakhiri surah
An-Nas, yang dinukil dengan jalan mutawatir dan yang membacanya merupakan
ibadah.
[1][2]
Sedangkan ”al-Qur’an” menurut ulama
ushul, fiqih, dan ulama bahasa adalah Kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang lafazh-lafazhnya mengandung
mukjizat, membacanya mempunyai
nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang
ditulis pada mushaf, mulai dari
surat al-Fatihah sampai surat an-Nas, dengan demikian, secara
bahasa, ’ulum al-Qur’an
adalah ilmu-ilmu (pembahasan-pembahasan) yang berkaitan dengan al-
Qur’an.3
3. Arti Kata Ulumul Qur’an
Setelah
membahas kata “ulum” dan “Al-Qur’an” yang terdapat dalam kalimat “Ulumul
Qur’an”, perlu
kita ketahui bahwa tersusunnya kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa adanya
bermacam-macam
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Al-Qur’an atau pembahasan-
pembahasan yang
berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-
Qur’an maupun
aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Pembahasan Ulumul Qur’an ?
Pembahasan ‘Ulum
Al-Qur’an sangat luas al-Imam al-Sayuthi dalam bukunya
‘al-Itqan
fi ’Ulum Al-Qur’an,
menguraikan sebanyak 80 cabang, dan setiap cabang masih dapat diperinci
lagi menjadi beragam cabang lagi.
Menurut Dr. M. Quraish Shihab, materi-materi cakupan
‘Ulum fsirt al-Qur’an dapat dibagi dalam 4 (empat) komponen : (1)
Pengenalan Terhadap Al-
Qur’an, (2) Kaidah-kaidah tafsir, (3) Metode-metode tafsir, (4) Kitab-Kitab
tafsir dan para
mufassir.7
1.Komponen pertama (Pengenalan
terhadap al-Qur’an) mencakup : (a) Sejarah al-Qur’an, (b) Rasm al-Qur’an,
(c) I’jaz al-Qur’an, (d) Munasabah al-Qur’an, (e) qushah al-Qur’an, (f) jadal al-Qur’an,
(g) aqsam al-Qur’an, (h) amtsal al-Qur’an,(i) nasikh dan mansukh, (j) muhkam
dan mutasyabih, (k) al-qiraat, dan sebagainya.8
2.Komponen kedua (Kaida-kaidah
tafsir) mencakup : (a) ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam
menafsirkan al-Qur’an, (b) sistematika yang hendaknya ditempuh dalam
menguraikan penafsiran, dan (c) patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an,baik dari ilmu-ilmu bantu, seperti bahasa dan ushul fiqhi,
maupun yang ditarik langsung dari penggunaan al-Qur,an. Sebagai contoh,
dapat dikemukakan kaidah-kaidah berikut : (a) kaidah ism dan
fi’il, (b) kaidah ta’rif dan tankir, (c) kaidah istifham
dan macam-macamnya, (d) ma’aniy al-huruf seperti : asa; la’alla, in,
iza; dan lain-lain, (e) kaidah su’al dan jawab, (f) kaidah
pengulangan, (g) kaidah perintah sesudah larangan, (h) kaidah penyebutan nama
dalam kishah, (j) kaidah penggunaan kata dan uslub al-Qur’an, dan
lain-lain.9
3.Komponen ketiga (metode-metode
tafsir) mencakup metode-metode tafsir yang dikemukakan oleh ulama mutaqaddim
dengan ketiga coraknya : al-ra’yu, al-ma’tsur, al-isyariy, disertai
penjelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu penafsiran serta metode
pengembangannya, dan juga mencakup juga metode mutaakhir dengan keempat
macamnya : tahliliy, ijmaliy, muqarran, maudhu’iy.10
4.Komponen keempat (kitab tafsir dan para mufassir) mencakup pembahasan
tentang kitab-kitab tafsir baik yang lama maupun yang baru, yang berbahasa
arab, inggris, atau indonesia, dengan mempelajari biografi, latar belakang dan
kecenderungan pengarangnya, metode dan prinsip-prinsip yang digunakan, serta
keistimewaan dan kelemahannya.11
Perkembangan
Ulumul Qur’an ?
Ulumul Qur’an itu sendiri bermula dari Rasulullah SAW, tetapi saat itu
Rasulullah S.A.W tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dia selain
Qur’an, karena ia khawatir Qur’an akan tercampur dengan yang lain. “ Muslim
meriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudri, bahwa rasulullah S.A.W berkata :
“Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa yang menuliskan
dari aku selain Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa
yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa
yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya
di api neraka.”
Sekalipun sesudah itu, Rasulullah S.A.W baru mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadist, tetapi hal yang berhubungan dengan Qur’an, para sahabat menulis tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah S.A.W., dimasa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar r.a.
Kemudian datang masa kekhalifahan Usman r.a dan keadaan menghendaki untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf imam. Salinan salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan Rasmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman.r.a. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ‘Ilmu Rasmil Qur’an.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah kaidah Nahwu, cara pengucapan yang tepat, baku, dan memberikan ketentuan harakat pada Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ‘Ilmu I’rabil Qur’an.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur’an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi’in.
Diantara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al- Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin Ka’b. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samara dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal ialah Sa’id bin jubair, Mujahid, ‘Ikrimah bekas sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Ataa’ bin Abi Rabaah.
Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Ka’b di medinah, Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi.
Dari murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, ‘Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mengenai Ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekkah, karena mereka sahabat Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Ataa’ bin Abi Rabaah, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas dan sahabat sahabat Ibn Abbas lainnya. Begitu juga penduduk Kufah dari sahabat Ibn Mas’ud; dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ahli tafsir yang lain. Ulama penduduk Medinah dalam ilmu tafsir diantaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb.
Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu Tafsir, ilmu Gariibil Qur’an, ilmu Asbaabun Nuzuul, ilmu Makki Wal Madani, dan ilmu Nasikh dan Mansukh. Tetapi semua itu tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan (tadwiin)yang dimulai dengan pembukuan hadist dengan segala babnya yang bermacam-macam; dan itu juga menyangkut hal berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dari para sahabat atau dari para tabi’in.
Diantara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160H), Waki’ bin Jarraah (wafat 197H), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198), dan ‘Abdurrazzaq bin hammam (wafat 112H).
Mereka semua adalah para ahli hadist. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita.
Kemudian langkah mereka diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310H).
Demikianlah tafsir pada mulanya dinukilkan (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut ke mulut) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadist; selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at-tafsir bil ma’sur (berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (berdasarkan penalaran).
Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Qur’an, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.
“Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa yang menuliskan
dari aku selain Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa
yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa
yang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya
di api neraka.”
Sekalipun sesudah itu, Rasulullah S.A.W baru mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadist, tetapi hal yang berhubungan dengan Qur’an, para sahabat menulis tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah S.A.W., dimasa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar r.a.
Kemudian datang masa kekhalifahan Usman r.a dan keadaan menghendaki untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf imam. Salinan salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan Rasmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman.r.a. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ‘Ilmu Rasmil Qur’an.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah kaidah Nahwu, cara pengucapan yang tepat, baku, dan memberikan ketentuan harakat pada Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ‘Ilmu I’rabil Qur’an.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Qur’an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi’in.
Diantara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa al- Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin Ka’b. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samara dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal ialah Sa’id bin jubair, Mujahid, ‘Ikrimah bekas sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Ataa’ bin Abi Rabaah.
Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Ka’b di medinah, Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi.
Dari murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, ‘Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mengenai Ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekkah, karena mereka sahabat Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Ataa’ bin Abi Rabaah, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas dan sahabat sahabat Ibn Abbas lainnya. Begitu juga penduduk Kufah dari sahabat Ibn Mas’ud; dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ahli tafsir yang lain. Ulama penduduk Medinah dalam ilmu tafsir diantaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb.
Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu Tafsir, ilmu Gariibil Qur’an, ilmu Asbaabun Nuzuul, ilmu Makki Wal Madani, dan ilmu Nasikh dan Mansukh. Tetapi semua itu tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan (tadwiin)yang dimulai dengan pembukuan hadist dengan segala babnya yang bermacam-macam; dan itu juga menyangkut hal berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dari para sahabat atau dari para tabi’in.
Diantara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160H), Waki’ bin Jarraah (wafat 197H), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198), dan ‘Abdurrazzaq bin hammam (wafat 112H).
Mereka semua adalah para ahli hadist. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita.
Kemudian langkah mereka diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310H).
Demikianlah tafsir pada mulanya dinukilkan (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut ke mulut) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadist; selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at-tafsir bil ma’sur (berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (berdasarkan penalaran).
Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Qur’an, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.
Ruamg Lingkup Ulumul Qur’an ?
Para ulama mufasir dari semua kalangan dan generasi-generasi yang tercakup dalam lingkup Uluumul Qur’an menafsirkan Qur’an selalu berpegang pada :
1). Al-Qur’anul Karim
Sebab apa yang yang dikemukakan secara global di satu tempat/ayat dijelaskan secara terperinci ditempat/ayat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “Tafsir Qur’an dengan Qur’an”.
2). Nabi S.A.W
Mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Qur’an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepada beliau ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami sesuatu ayat. Diantara kandungan Qur’an terdapat ayat ayat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali melalui penjelasan Rasulullah . misalnya rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang difardhukan-Nya.
3). Para Sahabat
Mengingat para sahabatlah yang paling dekat dan tahu dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Riwayat dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah SAW cukup menjadi acuan dalam mengembangkan ilmu-ilmu Qur’an. Dan yang cukup banyak menafsirkan Qur’an seperti empat orang khalifah dan para sahabat lainnya.
4). Pemahaman dan ijtihad
Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Qur’an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari Rasulullah, dan banyak perbedaan-perbedaan dari kalangan sahabat, maka mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek yang ada didalamnya.
Pada masa kalangan sahabat, tidak ada sedikit pun tafsir / ilmu ilmu tentang Qur’an yang dibukukan, sebab pembukuan baru dilakukan pada abad kedua hijri. Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal dinasti Abbasiyah.
1.Ahmad Syadali. ‘Ulumul Qur’an I. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,
1997.
2.Rosihan Anwar. Ilmu al-Qur’an. Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 2007.
3.Kadar M. Yusuf, Studi Alquran,
Cet. I; Pekan Baru : Amzah, 2009.
4.Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya. Cet. V;
Bandung: CV. Diponegoro, 2005.
5.Mannaa’ Khaliil al-Qattaan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an. Terj. Muzakkir AS. Cet. VI; Bogor: PT.
Pustaka Litera Antar Nusa, 2001.
6.Mardan. al-Qur’an,
Sebuah Pengantar Memahami al-Qur’an Secara Utuh, Jakarta: Pustaka Mapan, 2009.
7.http://www.dakwatuna.com 8.http://zulkhulafair.blogspot.com
[1][2] Ahmad Syadali, ‘Ulumul Qur’an I (Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 11
3 Rosihan Anwar, ‘Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), h 11
7 Mardan, Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-Qur’an Secara Utuh,
loc.cit, h.19
9 Ibid, h.20
10 Ibid
11 Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar