AMALAN BULAN SYA’BAN ?
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا
رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
Dari Aisyah R.A berkata: “Aku tidak pernah melihat
Rasulullah SAW melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan
dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunah melebihi (puasa
sunah) di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
Muqaddimah
Abu Bakar Al-Balkhi berkata: “Bulan Rajab adalah bulan
menanam. Bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman. Dan bulan Ramadhan
adalah bulan memanen hasil tanaman.”
Beliau juga berkata: “Bulan Rajab itu bagaikan angin.
Bulan Sya’ban itu bagaikan awan. Dan bulan Ramadhan itu bagaikan hujan.”
Barangsiapa tidak menanam benih amal shalih di bulan
Rajab dan tidak menyirami tanaman tersebut di bulan Sya’ban, bagaimana mungkin
ia akan memanen buah takwa di bulan Ramadhan? Di bulan yang kebanyakan manusia
lalai dari melakukan amal-amal kebajikan ini, sudah selayaknya bila kita tidak
ikut-ikutan lalai. Bersegera menuju ampunan Allah dan melaksanakan
perintah-perintah-Nya adalah hal yang harus segera kita lakukan sebelum bulan
suci Ramadhan benar-benar datang.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda
puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak
melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga
puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan
berikutnya.
Puasa di
bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan
Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu
dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan
Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)
Keutamaan Sya’ban ?
يطلع الله
تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو
مشاحن
“Allah Taala menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya
pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hamba-Nya, kecuali
orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi,
satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah
Al-Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat Syaikh
Al-Albani, As-Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif.
Juga kitab beliau Shahih Al-Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785.
Al-Maktab Al-Islami. Namun, dalam kitab Tahqiq Misykah Al-Mashabih,
justru Syaikh Al-Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang
lebih kuat adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling
menguatkan)
Dari Usamah
bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah
melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ
عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ
إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia
mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah
bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena
itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.”
(HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Rajab
rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai
dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan
yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al
Ma’arif, 235)
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, beliau
mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ
. فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ
شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى
شَعْبَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun
berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh
selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang
lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no.
1969 dan Muslim no. 1156)
‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha juga
mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله
عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ
شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.”
(HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh
Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ
يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit
hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Dari Ummu
Salamah, beliau mengatakan,
أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ
السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu
dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan
An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam riwayat lain Aisyah berkata:
كَانَ أَحَبُّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانَ، ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW untuk
berpuasa sunah adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau menyambungnya dengan puasa
Ramadhan.” (HR. Abu Daud no. 2431 dan Ibnu Majah no. 1649)
Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:
- Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
- Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)
Nishfu Sya’ban
?
Pendapat ini berdasarkan hadis shahih dari
Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu
‘anhu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada
malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang
musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Majah, At Thabrani,
dan dishahihkan Al Albani).
Setelah menyebutkan beberapa waktu yang
utama, Syaikhul Islam mengatakan,
“…pendapat yang dipegangi mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam Madzhab
Hambali adalah meyakini adanya keutamaan
malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadis yang terkait masalah ini,
serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in…” (Majmu’ Fatawa, 23:123)
Ibn Rajab mengatakan, “Terkait malam nishfu
Sya’ban, dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul,
Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam
itu…” (Lathaiful Ma’arif,
Hal. 247).
Persiapan Menyongsong Ramadhan ?
1.Segera bertaubat dari semua dosa
dengan menyesali dosa-dosa yang telah lalu, meninggalkan perbuatan dosa
tersebut saat ini juga, dan bertekad bulat untuk tidak akan mengulanginya
kembali pada masa yang akan datang.
2.Memperbanyak doa agar diberi umur
panjang sehingga bisa menjumpai bulan Ramadhan.
3.Memperbanyak puasa sunnah di bulan
Sya’ban agar terbiasa secara jasmani dan rohani. Ada beberapa cara puasa sunah
yang dianjurkan di bulan Sya’ban, yaitu: Puasa Senin-Kamis setiap pekan
ditambah puasa ayyamul bidh (tanggal 13,14 dan 15 Sya’ban), atau puasa
Daud, atau puasa lebih bayak dari itu dari tanggal 1-28 Sya’ban.
4.Mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an
dengan cara membaca lebih dari satu juz per hari, ditambah membaca buku-buku
tafsir dan melakukan tadabbur Al-Qur’an.
5.Meresapi kelezatan shalat malam
dengan melakukan minimal dua rakaat tahajud dan satu rekaat witir di akhir
malam.
6.Meresapi kelezatan dzikir dengan
menjaga dzikir setelah shalat, dzikir pagi dan petang, dan dzikir-dzikir rutin
lainnya.
7terdapat keutamaan khusus untuk malam nishfu
Sya’ban.
Sumber:1.http://muslim.or.id 2http://www.konsultasisyariah.com
3.http://rumaysho.com 4.http://www.arrahmah.com
JAKARTA 19/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar