MEMPERINGATI ULANG TAHUN
?
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Muqaddimah
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa
segala macam tindakan yang kita lakukan sangat tergantung pada niatnya, innamal
a’malu bin niyyat. Niat itu sendiri yang akan menentukan nilai kepada tindakan
tersebut. akankah tindakan itu akan bernilai ibadah ataukah hanya sekedar
tradisi semata yang tidak ada unsure ubudiyah sama sekali di dalamnya. Begitu
pula dengan merayakan hari kelahiran maupun kegiatan lainnya. Kaum Ahlussunnah
Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini dengan sikap proporsional, yaitu
dengan pendirian bahwa selama di dalam acara tersebut ada unsur-unsur kebaikan,
seperti; menyampaikan tahni’ah/ucapan selamat kepada sesama muslim, mempererat
kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana sedekah dan bersyukur
kepada Allah, serta mendo’akan si anak semoga menjadi anak yang shalih dan
shalihah. Maka itu semua layak untuk dilaksanakan karena dianggap tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Merayakan Ulang Tahun
Anak ?
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang
bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR.
Bukhari-Muslim]
1.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua
hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau
dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan
penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Beliau bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Pendapat lain:
Berdasarkan riwayat tersebut, Maka
hukum peringatan ulang tahun adalah mubah,
bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya, namun dengan catatan :
selama tidak ada hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang gambar patung (walaupun berukuran kecil) di
tengah-tengah kue yang dihidangkan
atau alatul malahi (alat permainan musik) yang diharamkan. Karena hal tersebut termasuk syi’ar
orang-orang non muslim atau syi’ar orang fasik.
Dasar pengambilan hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan dari kitab “al-iqna’” juz I hal. 162 :
“Imam Qommuli berkata :
kami belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama kita tentang ucapan
selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan tertentu,
sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri
memberi jawaban tentang masalah tersebut : memang selama ini para ulama
berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahni’ah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bid’ah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah
masalah itu mengatakan bahwa tahni’ah
itu disyari’atkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat satu bab
tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : “Maa ruwiya fii qaulin nas” dan
seterusnya, kemudian meriwayatkan beberapa hadits dan atsar yang dla’if-dla’if.
Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang tahni’ah.
Secara umum, dalil dalil tahni’ah bisa diambil dari adanya anjuran sujud syukur
dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau
terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari hadits riwayat Imam Bukhari dan
Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti
perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya
diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah
berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya”.
Asal dalam perkara ibadah adalah tauqif/berhenti di atas nash (dalil
Al-Qur’an dan as-Sunnah). Oleh karena itu, seseorang tidak boleh melakukan ibadah
yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala, berdasar sabda Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang
mengada-adakan sesuatu dalam perkara kami ini padahal bukan bagian darinya maka
amalan yang diada-adakan itu tertolak.”
Demikian
pula sabdanya Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ علَيْهَا أمرنا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang
mengamalkan satu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut
tertolak.”
Perayaan ulang tahun adalah satu macam ibadah yang diada-adakan
dalam agama Allah Subhanahu wa
ta’ala. Dengan demikian, memperingati ulang tahun siapa pun tidak
boleh dilakukan, bagaimanapun kedudukan atau perannya dalam kehidupan ini.
Makhluk yang paling mulia dan rasul yang paling afdhal yaitu Muhammad ibnu
Abdillah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak pernah dihafal berita dari beliau Shalallahu
‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan
perayaan hari kelahirannya. Tidak pula beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi arahan
kepada umatnya untuk merayakan dan memperingati ulang tahun beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian,
orang-orang yang paling afdhal dari umat ini setelah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu para khalifah umat ini dan para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak ada berita bahwa mereka memperingati ulang tahunnya atau ulang tahun
salah seorang dari mereka, semoga Allah Subhanahu wa
ta’ala meridhai mereka semuanya.
Perlu selalu
dicamkan bahwa kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk mereka dan mengikuti
urusan yang lurus/tegak yang diperoleh dari madrasah Nabi mereka. Ditambah
lagi, dalam bid’ah yang satu ini ada unsur tasyabbuh (meniru/menyerupai)
perbuatan Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang kafir selain mereka dalam hal
perayaan-perayaan yang mereka ada-adakan. Wallahul musta’an.
[Fatwa no. 2008,
kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’, 3/83—84]
Sebagian ‘ulama juga ada yang
membolehkan, diantaranya Salman al-Audah,
seorang ‘ulama terkemuka di Arab Saudi. “Dibolehkan untuk merayakan hari
kelahiran seseorang atau merayakan peristiwa-peristiwa yang membahagiakan,
seperti ulang tahun perkawinan. Akan tetapi syaratnya, tidak usah mengadakan
pesta dan makan besar atau dalam bahasa Arab disebut ‘id. Dibolehkan juga
memberikan karangan bunga kepada teman-teman atau kerabat.”
Demikian kata Salman al-Audah dalam sebuah acara di
MBC, salah satu stasiun televisi populer di Arab Saudi. Lebih jauh ia
menambahkan, “Ini bukan perayaan hari keagamaan, hanya perayaan biasa dengan
teman-teman. Jadi, tidak ada yang salah dengan itu semua.”
‘Ulama Arab Saudi lain yang sependapat dengan pendapat
Salman al-Audah adalah mantan rektor Fakultas Syariah Universitas Islam Imam
Muhammad, Dr. Saud al-Fanissan. Ia
menandaskan, perayaan ulang tahun tidak
jadi masalah asalkan pelaksanaannya tidak meniru budaya barat, misalnya
dengan menyalakan lilin dan meniupnya. Meniup lilin dalam pesta ulang tahun
tidak bisa diterima karena meniru budaya barat. Akan tetapi, jika di dalamnya
tidak diisi ritual-ritual semacam tiup lilin dan sejenisnya, hal itu boleh-boleh
saja. Selain itu, umat Islam boleh
membuat acara syukuran saat kelulusan sekolah, saat sembuh dari sakit, dan
acara-acara lain yang serupa. Ia menyatakan setuju dengan pendapat al-Audah
untuk tidak menggunakan kata ‘id (bahasa Arab yang artinya perayaan)
untuk perayaan-perayaan semacam itu. Sebab, dalam Islam hanya ada dua perayaan,
yaitu hari raya ‘Idul Fitri dan hari raya ‘Idul Adha.
Ikhtitam
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
أَلْحَمْدُ رَأْسُ الشُّكْرِ مَا شَكَرَ اللهَ عَبْدٌ لَا يَحْمَدُهُ رواه البيهقى أَلْحَمْدُ عَلَى النِّعْمَةِ أمَانٌ لِزَوَالِهَا رواه الديلمى أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا رواه البخارى لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ رواه أبو داود ” Belum dikatakan syukur pada Allah, kalau belum bisa bersyukur pada manusia
lain” مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلِ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرِ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ رواه أحمد ” Barangsiapa yang belum bisa
bersyukur terhadap hal kecil berarti belum bersyukur pada hal besar. Dan,
barangsiapa yang belum bersyukur kepada manusia berarti belum bersyukur kepada
Allah “ وَالتَّحَدُّسُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ رواه أحمد
Sumber:1.http://kicaukata.tumblr.com
2.http://forumsalafy.net
3.http://www.nu.or.id
4.http://almanhaj.or.id
JAKARTA
7/5/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar