MENGENAL IBNU TAIMIYYAH
?
Muqaddimah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: Segala puji bagi Alloh, keyakinan Asy Syafi’i rohimahulloh
dan keyakinan para pendahulu Islam seperti Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Ibnu
Mubarak, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan juga menjadi keyakinan para
guru yang ditiru seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Abu Sulaiman Ad Darani, Sahl bin
Abdullah At Tusturi dan selain mereka adalah sama. Sesungguhnya di antara ulama
tersebut dan yang seperti mereka tidak terdapat perselisihan dalam pokok-pokok
agama.
Begitu pula Abu Hanifah rohmatullohi
‘alaihi, sesungguhnya keyakinan beliau dalam masalah tauhid, takdir
dan perkara lainnya adalah sesuai dengan keyakinan para ulama di atas.
Sedangkan keyakinan yang dipegang oleh para ulama itu adalah keyakinan para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, itulah keyakinan
yang dikatakan oleh Al Kitab dan As Sunnah. Asy Syafi’i mengatakan di bagian
awal Muqoddimah Kitab Ar Risalah:
الحمد لله الَّذِي هُوَ كَمَا وصف بِهِ نفسه، وفوق مَا يصفه بِهِ خلقه.
“Segala puji
bagi Alloh yang (terpuji) sebagaimana sifat yang Dia tetapkan untuk diri-Nya
sendiri. Sifat-sifat yang tidak bisa digambarkan oleh makhluknya.”
Dengan
demikian beliau rohimahulloh menerangkan
bahwa Alloh itu memiliki sifat sebagaimana yang Dia tegaskan di dalam Kitab-Nya
dan melalui lisan rosul-Nya shollallohu
‘alaihi wa sallam.
Begitu pula
yang dikatakan oleh Ahmad bin Hambal.
Beliau mengatakan: Alloh tidak diberi sifat kecuali dengan yang Dia tetapkan
sendiri, atau sifat yang diberikan oleh Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam tanpa disertai tahrif (penyelewengan makna),
tanpa takyif
(memvisualisasikan), tanpa tamsil
(menyerupakan dengan makhluk), tetapi mereka menetapkan nama-nama terbaik dan
sifat-sifat luhur yang Dia tetapkan bagi diri-Nya. Mereka yakini bahwasanya:
لَيْسَ كمثله شيء وَهُوَ السميع البصير
“Tidak ada
sesuatu pun yang menyerupai dengan-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” baik dalam sifat-sifatNya, Zat-Nya maupun
dalam perbuatan-perbuatanNya. Kemudian beliau berkata: Dialah yang telah
menciptakan langit dan bumi, dan segala yang ada di antara keduanya dalam waktu
enam masa kemudian Dia bersemayam di atas Arsy; Dialah yang telah benar-benar
berbicara dengan Musa; Dialah yang telah menampakkan diri kepada gunung dan
gunung itu pun menjadi hancur terbelah karenanya, tidak ada satu makhluk pun
yang memiliki sifat sama persis dengan-Nya, ilmu-Nya tidak sama dengan ilmu
siapa pun, kemampuan-Nya tidak sama dengan kemampuan siapa pun, dan kasih
sayang-Nya juga tidak sama dengan kasih sayang siapa pun, bersemayam-Nya juga
tidak sama dengan bersemayamnya siapa pun, pendengaran dan penglihatan-Nya juga
tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan siapa pun. Ucapan-Nya tidak sama
dengan ucapan siapa pun, penampakan diri-Nya tidak sebagaimana penampakan siapa
pun.
Alloh
Subhanahu wa Ta’ala telah menginformasikan kepada kita di surga itu ada daging,
susu, madu, air, sutera dan emas. Dan Ibnu Abbas telah berkata,
لَيْسَ فِي الدُّنْيَا مما فِي الآخرة إِلاَّ الأسماء.
“Tidak ada
suatu pun di dunia ini yang ada di akhirat nanti kecuali hanya sama namanya
saja.”
Malik bin Anas pernah berkata:
إن الله فَوْقَ السماء، وعلمه فِي كلّ مكان
“Sesungguhnya
Alloh berada di atas langit dan ilmu-Nya berada (meliputi) setiap tempat.”
Maka barang
siapa yang meyakini Alloh berada di dalam langit dalam artian terbatasi dan
terliputi oleh langit dan meyakini Alloh membutuhkan ‘Arsy atau butuh terhadap
makhluk lainnya, atau meyakini bersemayamnya Alloh di atas ‘Arsy-Nya sama
seperti bersemayamnya makhluk di atas kursinya; maka orang seperti ini adalah
sesat, pembuat bid’ah dan jahil (bodoh). Barang siapa yang meyakini kalau di
atas ‘Arsy itu tidak ada Tuhan yang disembah, di atas ‘Arsy itu tidak ada Tuhan
yang orang-orang sholat dan bersujud kepada-Nya, atau meyakini Muhammad tidak
pernah diangkat menghadap Tuhannya, atau meyakini kalau Al Quran tidak
diturunkan dari sisi-Nya, maka orang seperti ini adalah Mu’aththil Fir’auni (penolak
sifat Alloh dan pengikut Fir’aun), sesat dan pembuat bid’ah.
Inti Pemikiran Ibnu Taimiyah ?
Ibnu
Taimiyah berafiliasi kepada madzhab Imam Ahmad Ibnu Hambal. Dan ia merupakan
pengikut yang faqih dari madzhab ini. Kemudian ia berijtihad sendiri sehingga
mencapai tingkatan seorang mujtahid. Ibnu Taimiyah mengikuti metodologi Ahmad
Ibnu Hambal , yang karenanya prinsip dan metodologi Ibnu Taimiyah tetap
berkisar pada madzhab tersebut. Dalam hal ini ia adalah pelanjut metodologi
literalis Ahmad Ibnu Hambal dan Daud al-Zhahiri.
Inti dari
pemikiran Ibnu Taimiyah berpusat pada seperangkat prinsip yang darinya ia
mengembangkan sebuah pandangan dunia. Prinsip-prinsip ini dapat diringkaskan
sebagai berikut:
1. Perbedaan absolut antara Pencipta dan yang
diciptakan
Ini
merupakan landasan filosofis menyangkut kedudukan Tuhan dan manusia, yang
ontologis berbeda secara mutlak. Prinsip ini nampaknya dipengaruhi oleh polemik
Ibnu Taimiyah dengan paham wahdat al-wujud yang merelatifkan hubungan Tuhan dan
manusia.
2. Wahyu sebagai sistem yang lengkap dan
mencukupi
Merupakan
landasan epistemologis menyangkut kedudukan wahyu sebagai sumber pengetahuan
bagi manusia yang bersifat lengkap dan mencukupi. Prinsip ini nampaknya
dipengaruhi oleh polemik Ibnu Taimiyah dengan para filosof dan rasionalis
Mu’tazilah yang selalu mengedepankan akal dan melakukan ta’wil.
3. Keharusan untuk selalu kembali kepada
al-Qur’an dan al-Sunnah, serta memahaminya di bawah cahaya ajaran-ajaran
generasi awal umat Islam (al-Salaf al-Shalih)
Merupakan
landasan aksiologis menyangkut aktualisasi ajaran Islam berdasarkan al-Qur’an,
al-Sunnah dan al-Salaf al-Shalih. Prinsip ini nampaknya dipengaruhi oleh
polemik Ibnu Taimiyah dengan berbagai praktek umat Islam, dan khususnya
kelompok sufi, yang telah melakukan berbagai praktek bid’ah.
Ibnu
Taimiyah tidak menolak akal an sich, tapi ia menolak kesimpulan-kesimpulan akal
yang bertentangan dengan wahyu, khususnya yang menyangkut interpretasi
spekulatif dan sufistik yang tingkat kebenarannya sulit untuk diverifikasi. Di
luar itu, ia mengakui validitas akal, misalnya dalam pengetahuan sains empiris.
Bahkan dalam bidang ini ia dikenal sebagai peletak dasar pertama bagi sistem
logika John Stuart Mill dan David Hume.
Akhirnya,
kepada orang-orang yang mengikuti prinsip ini, yaitu mengikuti al-Qur’an,
al-Sunnah dan salaf al-shalih, Ibnu Taimiyah menggolongkannya kepada ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Merekalah orang-orang yang sesungguhnya pantas disebut
golongan ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah
menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Qur’an
dan al-Sunnah serta apa yang menjadi kesepakatan para sahabat di kalangan Muhajirin
dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”. Ia juga
mengatakan: “Barang siapa yang berkata dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’
al-salaf, maka dialah ahlu al-Sunnah”.
Penyimpangan Keyakinan Ibnu Taimiyah
?
1. Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa jenis daripada alam
(makhluk) tidak memiliki permulaan, ia ada bersama Allah pada azal (keberadaan
tanpa permulaan). Keyakinannya ini disebutkan dalam kitabnya “Al Muwafaqah, al
Minhaj” dan lain-lain.
Bantahan:
Keyakinan
tersebut menyalahi al Qu’an, Sunnah dan Ijma’ juga menyalahi akal sehat. Allah
ta’ala berfirman yang maknanya: “Dia (Allah) Dzat yang tidak memiliki permulaan,
dan Dia (Allah) Dzat yang tidak memiliki batas akhir” (Q.S. al Hadid, 3)
Rasulullah bersabda:
كان الله ولم يكن شىء غيره (رواه البخاري)
“Allah ada (pada azal, tanpa permulaan) dan tidak ada
sesuatupun (pada azal) selain-Nya (Allah)”. (H.R. al Bukhari)
2. Ibnu Taimiyah menisbatkan tempat dan bentuk pada Dzat Allah. Ia berkata: “Umat Islam dan orang-orang kafir sepakat bahwa Allah berada di atas langit” ia juga berkata: “Allah memiliki berntuk dan tidak ada yang tahu bentukNya selain Allah sendiri”. Keyakinannya ini juga disebutkan dalam kitabnya “Al Muwafaqah” dll.
Bantahan:
Keyakinan ini bertentangan dengan firman Allah yang maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai segala sesuatu dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. asy-Syura: 11).
Ayat tersebut adalah ayat tanzih yang mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya secara total, termasuk di antaranya adalah bertempat dan memiliki bentuk. Jadi Allah tidak bertempat dan tidak memiliki bentuk. Jika dikatakan bahwa Allah bertempat maka Ia memiliki banyak sekali serupa dengan makhluk-Nya, sedangkan yang demikian adalah mustahil bagi Allah.
Imam Ali bin Abi Thalib berkata:
2. Ibnu Taimiyah menisbatkan tempat dan bentuk pada Dzat Allah. Ia berkata: “Umat Islam dan orang-orang kafir sepakat bahwa Allah berada di atas langit” ia juga berkata: “Allah memiliki berntuk dan tidak ada yang tahu bentukNya selain Allah sendiri”. Keyakinannya ini juga disebutkan dalam kitabnya “Al Muwafaqah” dll.
Bantahan:
Keyakinan ini bertentangan dengan firman Allah yang maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai segala sesuatu dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. asy-Syura: 11).
Ayat tersebut adalah ayat tanzih yang mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya secara total, termasuk di antaranya adalah bertempat dan memiliki bentuk. Jadi Allah tidak bertempat dan tidak memiliki bentuk. Jika dikatakan bahwa Allah bertempat maka Ia memiliki banyak sekali serupa dengan makhluk-Nya, sedangkan yang demikian adalah mustahil bagi Allah.
Imam Ali bin Abi Thalib berkata:
كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان
"Allah ada (pada azal) dan tidak ada tempat, dan
Ia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) ada sebagaimana semula, tanpa
tempat”.
3. Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa Allah duduk di atas ‘arasy. Dalam kitabnya “Syarh Hadits an-Nuzul” ia berkata: “Ia (Allah) selalu berada di atas ‘arasy meskipun Ia turun ke langit bumi pada setiap sepertiga akhir malam”. Keyakinan ini juga disebutkan dalam kitab-kitabnya yang lain seperti “Majmu’ al Fatawa, al Minhaj, dll”.
Bantahan:
Keyakinan ini juga bertentangan dengan surat as-Syura ayat 11 di atas. Duduk (jalasa) adalah sifat yang tertentu bagi makhluk Allah yang memiliki dua bagian yaitu bagian atas dan bawah, seperti manusia dll. Jika Allah disifati dengan duduk maka Allah sama dengan manusia. Imam Syafi’i berkata:
3. Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa Allah duduk di atas ‘arasy. Dalam kitabnya “Syarh Hadits an-Nuzul” ia berkata: “Ia (Allah) selalu berada di atas ‘arasy meskipun Ia turun ke langit bumi pada setiap sepertiga akhir malam”. Keyakinan ini juga disebutkan dalam kitab-kitabnya yang lain seperti “Majmu’ al Fatawa, al Minhaj, dll”.
Bantahan:
Keyakinan ini juga bertentangan dengan surat as-Syura ayat 11 di atas. Duduk (jalasa) adalah sifat yang tertentu bagi makhluk Allah yang memiliki dua bagian yaitu bagian atas dan bawah, seperti manusia dll. Jika Allah disifati dengan duduk maka Allah sama dengan manusia. Imam Syafi’i berkata:
من قال أو اعتقد أن الله جالس على العرش فهو كافر
“Barangsiapa berkata atau meyakini bahwa Allah duduk
di atas ‘arasy maka dia telah kafir”. (Riwayat Ibnu al Mu’allim al Qurasyi).
Dan masih banyak kesesatan-kesesatan Ibnu Taimiyah yang lain, baik dalam perkara-perkara ushul maupun furu’. Jika Anda hendak mengetahui lebih banyak tentang kesesatan-kesesatan Ibnu Taimiyah, silahkan baca kitab المقالات السنية في كشف ضلالات أحمد ابن تيمية karya Syekh Abdullah al Harari.
Dan masih banyak kesesatan-kesesatan Ibnu Taimiyah yang lain, baik dalam perkara-perkara ushul maupun furu’. Jika Anda hendak mengetahui lebih banyak tentang kesesatan-kesesatan Ibnu Taimiyah, silahkan baca kitab المقالات السنية في كشف ضلالات أحمد ابن تيمية karya Syekh Abdullah al Harari.
Ibnu Taimiyah Bertaubat ?
1.Saya
terjemahkan beberapa yang penting dari nas dan kenyataan tersebut: 1- ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على �*قيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل ال�*ق
Terjemahannya: “Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiyah yang telah diakui nya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiyah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahwa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan arti yang hakiki yaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.
Saya mengatakan : Ini adalah bukti dari para ulama islam di zaman Ibnu Taimiyah bahwa dia berpegang dengan akidah yang salah sebelum bertaubat daripadanya antaranya Allah beristawa secara hakiki yaitu duduk.
2- قال ب�*ضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه
Terjemahannya: ” Telah berkata Ibnu Taimiyah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ari’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”.
Terjemahannya: “Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiyah yang telah diakui nya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiyah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahwa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan arti yang hakiki yaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.
Saya mengatakan : Ini adalah bukti dari para ulama islam di zaman Ibnu Taimiyah bahwa dia berpegang dengan akidah yang salah sebelum bertaubat daripadanya antaranya Allah beristawa secara hakiki yaitu duduk.
2- قال ب�*ضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه
Terjemahannya: ” Telah berkata Ibnu Taimiyah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ari’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”.
3- والذي أعتقده من قوله : ( الر�*من على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على �*قيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أ�*مد بن تيمية
Terjemahan khot tulisan Ibnu Taimiyah dihadapan para ulama islam ketika itu dan mereka semua menjadi saksi kenyataan Ibnu Taimiyah : ” Dan yang aku berpegang mengenai firman Allah ‘Ar-Rahman diatas Arasy istawa’ adalah sepertimana berpegangnya jamaah ulama islam, sesungguhnya ayat tersebut bukan berarti hakikatnya(duduk) dan bukan atas zohirnya dan aku tidak mengetahui maksud sebenar-benarnya dari ayat tersebut bahkan tidak diketahui makna sebenar-benarnya dari ayat tersebut kecuali Allah.Telah menulis perkara ini oleh Ahmad Ibnu Taimiyah”.
Terjemahan khot tulisan Ibnu Taimiyah dihadapan para ulama islam ketika itu dan mereka semua menjadi saksi kenyataan Ibnu Taimiyah : ” Dan yang aku berpegang mengenai firman Allah ‘Ar-Rahman diatas Arasy istawa’ adalah sepertimana berpegangnya jamaah ulama islam, sesungguhnya ayat tersebut bukan berarti hakikatnya(duduk) dan bukan atas zohirnya dan aku tidak mengetahui maksud sebenar-benarnya dari ayat tersebut bahkan tidak diketahui makna sebenar-benarnya dari ayat tersebut kecuali Allah.Telah menulis perkara ini oleh Ahmad Ibnu Taimiyah”.
4- وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين
Terjemahannya berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiyah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiyah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
Terjemahannya berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiyah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiyah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
Ibnu Taimiyah Sosok Kontroversial ?
Ibn Taimiyah (w
728 H) adalah sosok kontroversial yang segala kesesatannya telah dibantah oleh
berbagai lapisan ulama dari empat madzhab; ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab
Hanafi, ulama madzhab Maliki, dan oleh para ulama madzhab Hanbali.
Bantahan-bantahan tersebut datang dari mereka yang hidup semasa dengan Ibn
Taimiyah sendiri maupun dari mereka yang datang setelahnya. Berikut ini adalah
di antara para ulama tersebut dengan beberapa karyanya masing-masing :
- Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w 733 H).
- Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.
- Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki.
- Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali. Ibn Taimiyah di masa hidupnya dipenjarakan karena kesesatannya hingga meninggal di dalam penjara dengan rekomedasi fatwa dari para hakim ulama empat madzhab ini, yaitu pada tahun 726 H. Lihat peristiwa ini dalam kitab ‘Uyûn at-Tawârikh karya Imam al-Kutubi, dan dalam kitab Najm al-Muhtadî Fî Rajm al-Mu’tadî karya Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi.Dll. Sumber:1http://muslim.or.id 2.http://coelzlamboe.blogspot.com3.http://indonesiaindonesia.com
JAKARTA
21/5/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar