MENGENAL PENDIRI HIZBUT
TAHRIR ?
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS.
al-Maidah [5]: 48)
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
إِلَيْكَ
Hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ
Seorang imam
tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya
dan menjadikannya pelindung (HR. Muslim)
Biografi Singkat (1909
– 1977)
Nasab Beliau
Beliau adalah Syaikh Muhammad
Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani,
dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni
padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim yang termasuk
wilayah Haifa di Palestina Utara.
Kelahiran dan
Pertumbuhan Beliau
Syaikh An Nabhani dilahirkan di
daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat didikan ilmu dan agama di rumah
dari ayah beliau sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din. Ayah beliau
seorang pengajar ilmu-ilmu syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibu
beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syari’ah, yang diperolehnya dari
ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah
seorang qadly (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka
dalam Daulah Utsmaniyah.
Mengenai Syaikh Yusuf An Nabhani ini,
beberapa penulis biografi menyebutkan : “(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin
Yusuf bin Hasan bin Muhammad An Nabhani Asy Syafi’i. Julukannya Abul Mahasin.
Dia adalah seorang penyair, sufi, dan termasuk salah seorang qadly yang
terkemuka. Dia menangani peradilan (qadla’) di Qushbah Janin, yang termasuk
wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel (Istambul) dan
diangkat sebagai qadly untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk
wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di Al
Ladziqiyah, kemudian di Al Quds. Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua
Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80
buah.”
Ilmu dan Pendidikan
Beliau
Syaikh Taqiyyuddin menerima
pendidikan dasar-dasar ilmu syari’ah dari ayah dan kakek beliau, yang telah
mengajarkan hafalan Al Qur’an sehingga beliau hafal Al Qur’an seluruhnya
sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikannya di
sekolah-sekolah negeri ketika beliau bersekolah di sekolah dasar di daerah
Ijzim.
Kemudian beliau berpindah ke sebuah
sekolah di Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum
beliau menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk
meneruskan pendidikannya di Al Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh
Yusuf An Nabhani.
Syaikh Taqiyyuddin kemudian
meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun
yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu beliau
melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al
Azhar. Di samping itu beliau banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiyah di Al
Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad Al
Hidlir Husain –rahimahullah– seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau.
Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar membolehkannya.
Aktivitas Politik
Beliau
Sejak remaja Syaikh An Nabhani sudah
memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani,
yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh
peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan,
tokoh-tokoh Freemasonry, dan pihak-pihak lain yang merongrong dan membangkang
terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan politik dan
aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di Al Azhar dan di Kulliyah Darul
Ulum, telah menyingkapkan pula kepeduliannya akan masalah-masalah politik.
Beberapa sahabatnya telah
menceritakan sikap-sikapnya yang menggaungkan seruan-seruan yang bersifat
menantang, yang mampu memimpin situasi Al Azhar saat itu. Di samping itu,
beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama Al Azhar mengenai
apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.
Sebenarnya ketika Syaikh An Nabhani
kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di
Kementerian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup
menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya
dan orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau
juga membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa
mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap
Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog,
dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau
sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang
tinggi untuk meyakinkan orang lain. (http://hizbut-tahrir.or.id)
Aqidah mereka ?
Hizbut Tahrir sangat terpengaruh
dengan Mu'tazilah yang terlalu mengagungkan akal. Mereka menjadikan akal
sebagai dasar pijak mengenai thoriqul iman (jalan keimanan), sebagaimana
perkataan pendiri mereka (Taqiyyuddin An-Nabahani) : Aqidah seorang muslim
harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dengan akal
atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qoth'i), yaitu
apa-apa yang yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan hadits qoth'i yaitu
hadits yang mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti dengan kedua jalan tadi,
yaitu akal serta nash Al-Qur'an dan hadits mutawatir, haram baginya untuk
mngimaninya (menjadikannya sbagai aqidah). Sebab aqidah tidak boleh dambil
kecuali dengan kepastian . Mereka memanfaatkan istlah-istilah fiqhiah qoth'i
tsubut (jelas dan pasti sumbernya dari Nabi), dzonni tsubut (masih belum jelas
sumbernya dari Nabi), qoth'i dalalah (pasti dan jelas penunjukannya) dan dzonni
dalalah (masih belum jelas penunjukannya) untuk menuju pada hal-hal yang
menyimpang. Mereka berkata :Tidak boleh bagi seorang muslim membangun aqidahnya
kecuali berdasarkan dalil yang qoth'i tsubut dan qoth'i dalalah. Kalau cuma
salah satu maka tidak bisa. Sehingga hadits-hadits ahad tentang aqidah walaupun
qoth'i dalalah mereka tolak karena tidak mutawatir. Bahkan ayat Al-Qur'an dalam
masalah aqidah yang penunjukannya tidak jelas (dzonni dalalah), menurut mereka
tidak wajib bagi seseorang untuk berpegang teguh dengan makna yang terkandung
dalam ayat tersebut. Mereka berdalil dengan surat An-Najm ayat 28 : Dan
sesungguhnya dzann (persangkaan) itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran. Anehnya dalam masalah fiqih, mereka menerima penetapan hukum-hukum
fiqih dengan hadits ahad. Sehingga mereka menjadi kebingungan sendiri ketika
kita tanyakan tentang sikap mereka terhadap hadits Abu Hurairoh: Jika seseorang
diantara kamu duduk dalam tasyahud akhir, hendaklah ia berlindung dari empat
perkara. (Hendaklah) ia berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung diri
kpadamu dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dan dari fitnah ketika
hidup dan ketika mati, dan dari jahatnya fitnah al-Masih ad-Dajjal.
(diriwayatkan dalam shohih Bukhori dan hadits senada juga dirwayatkan oleh Abu
Daud, Ahmad dan Nasa'i dengan sanad yang shohih) Menurut filsafat mereka,
hadits ini sangatlah aneh. Hadits ini adalah ahad. Anehnya di satu sisi
mengandung masalah hukum fiqih (yaitu anjuran berdo'a di akhir sholat) yang
harus mereka terima, namun di sisi yang lain mengandung masalah aqidah (yaitu
tentang adanya adzab kubur) yang harus mereka tolak karena haditsnya tidak
mutawatir. Mereka sangat kebingungan untuk bisa menerima dua hal yang saling
bertolak belakang. Akhirnya karena kebngungan tersebut mereka berkata:Kami
membenarkan adzab kubur tapi kami tidak mengimaninya. Ini jelas suatu filsafat
yang aneh sekali. (http://jhonmiduk8.blogspot.com)
Taqiyuddin
lahir di Ijzim, Palestina pada tahun 1909. Kemudian setelah dewasa, dia belajar
Universitas Al Azhar sampai lulus. Setelah dia lulus, dia pergi ke Libanon dan
Yordania, dan bekerja di universitas Islam sebagai tenaga pengajar sampai
akhirnya dia mendirikan Hizbut Tahrir. Dia wafat pada tahun 1977. Dia memiliki
(menulis) banyak kitab, seperti Risalatul Arab yang didalamnya terdapat
kecenderungan pada nasionalisme, menunjukkan konsepnya tentang nasionalisme dan
lain-lain. Walaupun dia menyatakan menarik kembali konsepnya itu, namun yang
nyata bagi kami, dia tidak secara tegas menyatakan hal tersebut di
kitab-kitabnya yang terakhir. Karena kitab Risalatul Arab merupakan salah satu
kitab pertama yang dia tulis.
Aqidahnya,
seperti yang telah disinggung sebelumnya, adalah maturidiyah yang merupakan
sebuah pemahaman sebuah firqah yang dinisbahkan pada Abu Manshur Al Maturidi,
yang memiliki kesesatan yang lebih daripada Asy’ariyah. Dia menyebut a’imah
dari firqah tersebut sebagai “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Dalam salah
satu tulisannya, yang didalamnya terdapat pernyataan yang sebenarnya adalah
merupakan imitasi dari perkataannya Ar Razi (seorang tokoh dari ahlul kalam).
Dia berkata bahwa kita tidak bisa menerima Al Qur’an sampai terpenuhinya 10
syarat, dan salah satu syaratnya itu adalah Al Qur’an itu harus disesuaikan
dengan ‘aql. Ini merupakan perkataannya Ar Razi.
Dia juga
menulis dalam kitabnya Asy Syakhsiyyah Al Islamiyyah III/132, yang tulisannya
membuktikan akan ke-maturidiyah-annya dan ke-asy’ariyah-annya. Dia
men-ta’wilkan beberapa sifat Allah, seperti tangan Allah yang dia artikan
sebagai kekuatan atau kekuasaan. Padahal kita temukan dalam kitab Syarhul Fiqhul
Akbar Abu Hanifah halaman 33, disitu dikatakan bahwa tidak boleh untuk
men-ta’wilkan tangan Allah sebagai kekuatan atau kekuasaan. Dan juga dalam
kitab Tabyin Khadibul Muftari halaman 150, disana terdapat perkataan dari Imam
Asy’ari (Abul Hasan Al Asy’ari) sendiri bahwa tidak boleh menyatakan atau
meng-qiyaskan tangan Allah itu sehingga artinya adalah kekuatan atau kekuasaan.
Sebab itu adalah perkataannya Mu’tazilah, salah satu firqah yang paling sesat.
Jika kita
membuka kitab Syarh Ushulul Khomsah Al Mu’tazilah halaman 228, disana akan
ditemukan perkataan salah satu imam dari mu’tazilah yaitu Al Qadhi ‘Abdul
Jabbar, yang berkata bahwa manhaj “ahlus sunnah” adalah meyakini bahwa tangan
Allah itu maksudnya adalah kekuasaan atau kekuatan. (http://www.darussalaf.or.id)
Dakwah Hizbut Tahrir ?
Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman : “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 43) Oleh
sebab itu tidak boleh seorang Muslim yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya
dengan sebenar-benarnya (keimanan) menjadikan akalnya sebagai hakim, akan
tetapi akal itu harus tunduk terhadap apa yang difirmankan Allah dan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Dari sini
kita fokuskan tentang dakwahnya Hizbut
Tahrir, bahwasanya mereka itu terpengaruh dengan Mu’tazilah. Antara
Mu’tazilah dengan Hizbut Tahrir sama dalam Nizham Al Islam (peraturan-peraturan
Islam/jalan menuju kekuasaan), dan Thariqul Iman (jalan menuju keimanan), ini
merupakan bahasan pokok bagi mereka (Hizbut Tahrir) dalam kitab mereka Nizhamul
Islam yang ditulis oleh pimpinan mereka, Taqiyuddin An Nabhani. Dan saya sering
bertemu dengannya lebih dari satu kali dan saya benar-benar tahu tentang Hizbut
Tahrir. Oleh sebab itu saya akan berbicara di atas ilmu tentang dakwah mereka.
Inilah point pertama, sebagai kritikan atas mereka bahwasanya
mereka itu menjadikan akal suatu keistimewaan yang bukan pada semestinya. Saya
ulangi di sini bahwasanya saya tidak meniadakan kedudukan akal dalam Islam.
Akan tetapi saya tekankan bahwasanya akal tidak bisa menghukumi Al Qur’an dan
Sunnah, tetapi justru akal-lah yang harus tunduk pada Al Qur’an dan Sunnah
serta khabar dari keduanya. Tidaklah kewajiban akal itu melainkan untuk
memahami apa-apa yang datang di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Di sini
penyimpangan Mu’tazilah zaman dulu yang mereka itu mengingkari banyak sekali
hakikat syariat yang besar disebabkan mereka memberi kuasa/kebebasan akal
mereka di atas nash-nash Al Qur’an dan Sunnah. Maka mereka menyelewengkan
(nash-nash Al Qur’an dan Sunnah), mereka mengganti apa-apa yang ada di dalamnya
dan merubahnya, dan mereka meninggalkan/mengabaikan pemahaman ulama Salaf.
Dengan point ini saya ingin menyatukan pandangan pembaca bahwa seyogyanya akal
seorang Muslim tunduk pada nash-nash Al Qur’an dan Sunnah dalam memahami
keduanya. Maka hakim itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bukan akal manusia. Sebagaimana telah kita
sebutkan bahwasanya akal itu berbeda antara yang Muslim dan yang kafir dan
berbeda pula antara yang alim dengan yang jahil. Oleh sebab itu Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman, –dan tidak apa-apa mengulang-ulang dalil–karena pembahasan
ini sedikit sekali dibahas oleh sekian juta dari kaum Muslimin laki-laki
lebih-lebih wanita. Oleh sebab itu saya terpaksa mengulang-ulang point dan
dalil ini, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “ … dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al Ankabut : 43)
Point yang kedua, adalah cabang dari point yang pertama.
Mereka (Hizbut Tahrir) membagi nash-nash Al Qur’an dan Sunnah pada dua bagian
dari sisi periwayatan dan dalalah-nya (penunjukkannya). Adapun dari segi
periwayatannya, mereka berkata : “Riwayat kadangkala berbentuk Qath’iyyatu Ats
Tsubut (jelas dan pasti sumbernya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan
kadangkala berbentuk Zhanniyyatu Ad Dalalah (belum jelas penunjukkannya).”
Kita tidak
akan mendiskusikan/mendebat istilah ini karena sebagaimana dikatakan : “Tidak
ada permasalahan dalam istilah.” Akan tetapi kita akan mendiskusikan dampak
yang mereka timbulkan dari istilah ini berupa penyelisihan terhadap apa-apa
yang ada pada generasi pertama kaum Muslimin (para shahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).
Dari sini
tampak bagi kita semua betapa pentingnya Sabilul Mukminin (jalan kaum
Mukmin/shahabat) karena hal ini merupakan tolok ukur yang bisa menjaga orang
Muslim yang alim, lebih-lebih Muslim yang jahil (bodoh) agar tidak terlepas
jauh dari nash Al Qur’an dan Sunnah. Karena kembalinya mereka pada istilah di
atas akan menyebabkan mereka berkata bahwa : “Apabila datang nash dalam Al
Qur’an dan nash tersebut tidak diragukan lagi, yang menurut istilah terdahulu
disebut Qath’iyyatu Ats Tsubut, akan tetapi Zhanniyyatu Ad Dalalah (belum jelas
penunjukkannya) maka tidak wajib seorang Muslim menjalankan makna di dalamnya,
karena ke-Zhanniyyatu Ad Dalalah-annya. Sehingga (menurut mereka) tidak boleh
baginya membangun akidah di atas nash yang Qath’iyyatu Ats Tsubut tetapi
Zhanniyyatu Ad Dalalah. Demikian juga sebaliknya, tatkala datang nash
Qath’iyyatu Ad Dalalah tetapi tidak Qath’iyyatu Ats Tsubut, sebagaimana hal itu
merupakan keberadaan mayoritas hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
maka mereka tidak mau mengambilnya sebagai sandaran
akidah.”(https://shirotholmustaqim.wordpress.com)
JAKARTA 18/5/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar