MEMOTRET DALAM ISLAM ?
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya manusia yang paling keras
siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah tukang penggambar.”
(HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)
إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“Sesungguhnya mereka yang membuat
gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka,
“Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan.” (HR. Bukhari no. 5961 dan
Muslim no. 5535)
Muqaddimah
Syaikh Abdus Salam Barjas, “Gambar foto
adalah suatu permasalahan yang kalian ketahui hukumnya diperselisihkan oleh
para ulama. Akan tetapi menurut pendapat ulama yang membolehkan foto, menyimpan
foto bukanlah perbuatan yang dianjurkan sehingga selayaknya seorang muslim
tidak mencuci cetakkan foto.
نعم،
أنا ممن يجوز هذه الصور سواء لحاجة أو لغير حاجة. وذلك لأنه لا يشملها الأدلة في
تحريم التصوير. وإنما الأدلة في تحريم التصوير إنما تشمل التماثيل وما عمل باليد
فهذا هو محل الإجماع بين العلماء رحمهم الله تعالى.
Memang aku
adalah diantara yang membolehkan gambar foto baik karena ada kebutuhan atau pun
tanpa ada kebutuhan karena gambar foto itu tidak tercakup dalam dalil-dalil
yang melarang membuat gambar. Dalil-dalil yang melarang membuat gambar hanyalah
mencakup patung dan lukisan dengan tangan. Terlarangnya membuat patung dan
melukis dengan tangan adalah perkara yang disepakati oleh para ulama.
وأما
هذه الصورفإنها ليست تضاهي خلق الله وإنما هي نفس الخلق الذي خلقه الله عز وجل
ولكن حبس ظله. والنبي- عليه الصلاة والسلام- عرف المصورين أنهم الذين يضاهئون خلق
الله. فمضاهاة بخلق الله بمعنى أنهم يقلدون صفة خلق الإنسان كما خلقه الله سبحانه
وتعالى إما عن طريق النحت والمجسمة وإما عن طريق اليد.
Sedangkan
gambar foto itu tidak menyaingi ciptaan Allah karena yang ada di foto itu
adalah ciptaan Allah itu sendiri cuman bayang-bayangan ciptaan Allah itu
ditahan di lembaran kertas foto. Makna dari ‘menyaingi ciptaan Allah’ adalah
meniru bentuk dari rupa makhluk hidup sebagaimana yang Allah ciptakan boleh
jadi dengan cara memahat, membuat patung atau pun dengan ketrampilan tangan.
وهذا
غير متحقق في مثل هذه الصور. ولكن مع ذلك فإن تركها والابتعاد عنها وعدم اتخاذها
مما يرغب فيه ولا أجيبه
Persyaratan
ini tidak terpenuhi pada gambar foto. Meski demikian, meninggalkan, menjauhi
perbuatan mengambil gambar foto atau pun menyimpan foto adalah sesuatu yang
dianjurkan akan tetapi menurutku tidak sampai derajat wajib” [Fatwa Syaikh
Abdus Salam Barjas pada tanggal 17 Juli 2003 di Provinsi Syariqoh Uni Emirat
Arab dalam acara Liqa al Maftuh daurah beliau. Transkip fatwa beliau di atas
bisa disimak pada menit 15:55-17:49 dalam rekaman video beliau di atas].
Hukum Berfoto ?
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Dalam hadits ini dibedakan antara gambar hewan (yang memiliki ruh,
pen) dan bukan hewan. Hal ini mengandung pelajaran bahwa boleh saja menggambar
pohon dan benda logam di baju atau kain, dan menggambar yang lain (yang tidak
memiliki ruh, pen).” (Majmu’ Al Fatawa, 29: 370)
Mengenai foto
dengan kamera, maka seorang mufti Mesir pada
masa lalu, yaitu
Al 'Allamah Syekh
Muhammad Bakhit Al
Muthi'i
- termasuk salah seorang pembesar ulama dan mufti
pada zamannya -
didalam risalahnya yang berjudul "Al Jawabul
Kaafi fi Ibahaatit Tashwiiril Futughrafi"
berpendapat bahwa
fotografi itu
hukumnya mubah. Beliau berpendapat bahwa
pada
hakikatnya fotografi
tidak termasuk kedalam
aktivitas
mencipta sebagaimana
disinyalir hadits dengan
kalimat
"yakhluqu kakhalqi" (menciptakan
seperti ciptaanKu ...),
tetapi foto
itu hanya menahan
bayangan. Lebih tepat,
fotografi ini diistilahkan dengan
"pemantulan," sebagaimana
yang
diistilahkan oleh putra-putra
Teluk yang menamakan
fotografer (tukang
foto) dengan sebutan al 'akkas
(tukang
memantulkan), karena
ia memantulkan bayangan seperti cermin.
Aktivitas ini
hanyalah menahan bayangan atau memantulkannya,
tidak seperti
yang dilakukan oleh
pemahat patung atau
pelukis. Karena
itu, fotografi ini
tidak diharamkan, ia
terhukum mubah.
Sebelumnya
perlu diterangkan dulu hukum memotret (mengambil foto dengan kamera). Para
ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama
mengharamkannya, karena dianggap sama dengan aktivitas mengambar dengan tangan,
kecuali untuk foto yang sangat diperlukan (dharurah), seperti foto untuk
identitas diri (KTP/paspor), untuk keperluan pendidikan, untuk mengungkap
kejahatan, dan semisalnya. Yang berpendapat semacam ini misalnya Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Aal Syaikh, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muqbil bin
Hadi Al-Wadi’i, Syaikh M. Ali Ash-Shabuni, dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
(M. bin Ahmad bin Ali Washil, Ahkam At-Tashwir fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 232;
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Hukm Tashwir Dzawat Al-Arwah, hal. 70; Ali Ahmad
Abdul ‘Aal Thahthawi, Hukm At-Tashwir min Manzhur Islami, hal. 108-109).
Namun
sebagian ulama lain membolehkannya, dengan alasan hadits yang mengharamkan
menggambar tak dapat diterapkan pada aktivitas memotret. Mereka ini misalnya
Rasyid Ridha, Syaikh Ahmad Al-Khathib, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
Syaikh Najib Al-Muthi’i, Syaikh Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh
Yusuf Al-Qaradhawi, dan Syaikh Taqiyuddin Nabhani. (M. bin Ahmad bin Ali
Washil, ibid., hal. 241; Taqiyuddin Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah,
2/354).
Hadits-hadits
tersebut antara lain sabda Nabi SAW, (HR Bukhari no 5963, dari Ibnu Abbas RA).
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda,Sesungguhnya orang-orang yang membuat
gambar/patung (makhluk bernyawa) akan disiksa pada Hari Kiamat, dikatakan
kepada mereka,’Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan.’ (HR Bukhari no 5951,
dari Ibnu ‘Umar RA,).
Hadits-hadits
ini menunjukkan haramnya membuat gambar atau patung makhluk bernyawa, sebab di
dalamnya terdapat kecaman yang keras dari Allah SWT dalam bentuk perintah untuk
meniupkan nyawa pada objek yang telah dibuat manusia. (Walid bin Rasyid
As-Sa’idani, Hukm Tashwir al-Futughirafi, hal.5)
Jika kita sudah
mengetahui secara jelas hukum gambar makhluk yang memiliki ruh, sekarang kita
beralih pada permasalahan yang lebih kontemporer yang tidak dapati di masa
silam. Mengenai masalah foto dari jepretan kamera, para ulama ada khilaf
(silang pendapat). Ada yang melarang dan menyatakan
haram karena beralasan:
Hadits yang
membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau
dengan alat seperti kamera. Lalu ulama yang melarang membantah ulama yang
membolehkan foto kamera dengan menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan
hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka juga mengharamkan dengan alasan bahwa foto hasil kamera masih
tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama
disebut demikian.[1]
Sedangkan
ulama lain membolehkan hal
ini dengan alasan dalil-dalil di atas yang telah disebutkan. Sisi pendalilan
mereka:
Foto dari
kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar
yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah
gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar
yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari
kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada
di cermin.
Alasan kedua
ini disampaikan oleh Syaikhuna –Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhohullah-[2], yang di masa silam beliau menjadi
anggota Hay-ah Kibaril ‘Ulama (kumpulan ulama besar Saudi Arabia).
Pendapat
kedua yang membolehkan foto hasil kamera, kami rasa lebih kuat dengan alasan
yang sudah dikemukakan.
3.media.isnet.or
4.https://konsultasi.wordpress.com
JAKARTA
5/4/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar