MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI DASAR
NEGARA ?
وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو الرحمن الرحيم
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. 2:163)
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103
Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”(Q.S. Ali Imron ayat 103)
Muqaddimah
Dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada
tahun 1945 adalah pengorbanan umat Islam yang amat besar demi mengangkat tali
persaudaraan ditengah masyarakat multikultur di Indonesia. Hal seperti ini
bukanlah hal pertama yang dilakukan para tokoh Islam. Jauh sebelum kemerdekaan
Indonesia, tepatnya pada tahun 6 H terjadi hal yang kurang lebih sama. Pada
saat itu adalah saat dimana perjanjian Hudaibiyah disepakati. Perjanjian yang
mengangkat nilai perdamaian antara umat Islam yang dipimpin oleh Muhammad SAW
dan kaum Quraisy memaksa Muhammad SAW menghapuskan lafadz basmallah pada
awal naskah perdamaian. Sejatinya tak ada seorang sahabatpun yang berani
menghapuskan lafadz itu yang amat sakral bagi umat islam, namun rasulullah SAW
lebih memilih nilai perdamaian dan menggantikan lafadz basmallah dengan
lafadz bismika Allahumma yang dapat diterima oleh semua pihak.
Bercermin dari hal tersebut, sekali lagi umat Islam
mendapatkan ujian untuk menggantikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang
berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
guna menyatukan seluruh rakyat Indonesia yang multikultur dalam satu koridor, satu
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pancasila tidak diagamakan juga bukan buah pikir isme
sekuler yang bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia yang religious.
Pancasila adalah produk Indonesia asli yang senantiasa mengangkat nilai religi.
Lalu seperti apakah hubungan timbal balik antara agama (Islam) dengan
nilai-nilai dalam Pancasila?
Negara
Indonesia memiliki dasar dan ideologi Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia
yang berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara
agama dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang
berPancasila juga bukan negara islam atau negara yang berdasarkan atas agama
tertentu (Suhadi, 1998: 114). Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara
kebangsaan yang Berketuhanan YME.
Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang
berdasarkan Pancasila adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan
negara yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas.
Ideologi Pancasila ?
Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan
ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat
Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dapat dipertanggung
jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan.
Beberapa hal
yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam
adalah sebagaimana uraian berikut.
1). Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.
2). Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.
3). Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.
1). Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.
2). Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.
3). Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.
Selain hal-hal
di atas, hubungan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima
silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan
ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini:
1. Sila pertama
yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa bangsa Indonesia
berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan
untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh
negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min Allah,
yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan
Allah SWT. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan
kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan.[1][1] Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 163.
وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو الرحمن الرحيم
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. 2:163)
Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia yang disembah.
2. Sila kedua
yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bermakna bahwa bangsa Indonesia
menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam
konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min al-nas, yakni hubungan
antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati.[2][2] Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan
selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai
sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maa’idah
ayat 8-9.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (8) وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (9)
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.Al-Maidah 5:8)
Secara luas dan menyeluruh, Allah
memerintahkan kepada orang orang yang beriman, supaya berlaku adil, karena
keadilan dibutuhkan dalam segala hal, untuk mencapai dan memperoleh
ketenteraman, kemakmuran dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu
berlaku adil adalah jalan yang terdekat untuk mencapai tujuan bertakwa kepada
Allah.
3. Sila ketiga
berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
satu dan bangsa yang menegara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan
istilah ukhuwah Islamiah(persatuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah
(persatuan sesama umat manusia).[3][3] Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan
selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di antaranya
adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103.
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103
Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”(Q.S. Ali Imron ayat 103)
4. Sila keempat
berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan bermakna bahwa dalam mengambil keputusan bersama
harus dilakukan secara musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan.
Dalam konsep
Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura
(musyawarah).[4][4] Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan
selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu selalu bersikap bijaksana dalam
mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk
menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang
tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(QS. 3:159)
5. Sila kelima
berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna bahwa Negara Indonesia
sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan
seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90.
Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90)
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. 16:90)
Berdasarkan penjelasan di atas,
Jelas kiranya bahwa sila sila pancasila merupakan ajaran ajaran islam. Oleh
Karena itu, Negara dan pemerintahan yang berasaskan pancasila tidaklah
bertentangan, tetapi sejalan dengan agama islam. Dengan demikian tidaklah tepat
kalau segolongan kecil umat masih mempertentangkan Negara pancasila dengan
al-qur’an. Semoga suatu saat nanti terwujud kebersamaan antara golongan
nasionalis, (kebangsaan) dengan golongan islam, sehingga terwujud suatu masa
ketika pancasila bertasbih.
Almarhum Zainal Abidin Ahmad,
seorang pompinan islam yang pada masa akhir hayatnya memangku jabatan rector
PTIQ Jakarta berpendapat bahwa ciri-ciri Negara islam[5][5] adalah :
1. Penduduk
mayoritas islam
2. Kepala
Negara orang islam
3. Ideologi Negara sejalan dan tidak bertentangan dengan
islam, sekalipun dibawah nama lain seperti pancasila
4. Undang-undang
tidak bertentangan dengan islam
5. UUD
mengandung prinsip musyawarah dan dasar- dasar demokrasi lainnya.
Semua ciri yang disebut Zainal Abidi
Ahmad diatas terdapat dalam Negara pancasila kita. Oleh Karena itu, ia
berpendapat bahwa Negara republik Indonesia yang berdasarkan pancasila lebih
banyak mempunyai ciri- ciri keislaman dari Negara- Negara timur tengah.
Pandangan Ulama tentang Pancasila ?
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama
di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul Awal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan
sejumlah keputusan: (1) Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai dasar
Negara Re publik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD)
1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian ke
imanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Islam adalah akidah dan syariah,
meliputi aspek hubungan ma nusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (3)
Penerimaan dan pe nga malan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam
Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar KH A Mustofa
Bisri berjudul "Pancasila Kembali" untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa,
Jakar ta: LP3ES, 2009).
Makna tauhid pada dari sila Ketu hanan Yang Maha Esa juga ditegaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul "Hubungan Agama dan Pancasila" yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, KH Achmad Siddiq menya takan: "Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa."
Makna tauhid pada dari sila Ketu hanan Yang Maha Esa juga ditegaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul "Hubungan Agama dan Pancasila" yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, KH Achmad Siddiq menya takan: "Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa."
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: "Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara preambul dengan materi undangundang." (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm 224).
Indonesia
Bukan Negara Sekuler ?
Dengan berbagai pemahaman tersebut, jelas bahwa para pendiri bangsa Indonesia sama sekali tidak mencitakan Indonesia sebagai negara "netral aga ma" atau "negara sekuler". Panca sila dan Pembukaan UUD 1945 sarat de ngan muatan Islamic worldview (pandangan- alam Islam). Hilangnya "tujuh kata" dari Pembukaan UUD 1945, mes kipun sangat disesalkan oleh umat Is lam, sama sekali tidak membuang ke rang ka Islamic worldview tersebut.
Itu bisa dibuktikan dari munculnya kata "Allah" dalam alinea ketiga Pem bukaan UUD 1945. Allah adalah nama Tuhan bagi orang Islam, di mana pun. Satu-satunya agama di Indonesia yang kitab sucinya menyebut nama Tu hannya Allah adalah agama Islam. Ka rena itulah, sila Ketuhanan Yang Ma ha Esa, bermakna pengakuan akan Allah sebagai satusatunya Tuhan. Mun culnya istilah-istilah baku dalam Islam (Islamic basic vocabulary), seperti kata "adil", "adab", "musyawarah", "hikmah", "wa kil" menunjukkan, bahwa UUD 1945 sama sekali tidak netral agama.
Dengan berbagai pemahaman tersebut, jelas bahwa para pendiri bangsa Indonesia sama sekali tidak mencitakan Indonesia sebagai negara "netral aga ma" atau "negara sekuler". Panca sila dan Pembukaan UUD 1945 sarat de ngan muatan Islamic worldview (pandangan- alam Islam). Hilangnya "tujuh kata" dari Pembukaan UUD 1945, mes kipun sangat disesalkan oleh umat Is lam, sama sekali tidak membuang ke rang ka Islamic worldview tersebut.
Itu bisa dibuktikan dari munculnya kata "Allah" dalam alinea ketiga Pem bukaan UUD 1945. Allah adalah nama Tuhan bagi orang Islam, di mana pun. Satu-satunya agama di Indonesia yang kitab sucinya menyebut nama Tu hannya Allah adalah agama Islam. Ka rena itulah, sila Ketuhanan Yang Ma ha Esa, bermakna pengakuan akan Allah sebagai satusatunya Tuhan. Mun culnya istilah-istilah baku dalam Islam (Islamic basic vocabulary), seperti kata "adil", "adab", "musyawarah", "hikmah", "wa kil" menunjukkan, bahwa UUD 1945 sama sekali tidak netral agama.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Prof Ha
zairin dalam bukunya, Demokrasi Pancasila
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet ke-6), menulis: "Bahwa yang dimaksud
dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak)
bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau
‘Kedaulatan Allah," (hlm 31). "Negara RI wajib menjalankan sya riat
Islam bagi orang Islam, syariat Nas rani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu
Bali bagi orang Bali, sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan
perantaraan kekuasaan negara," (hlm 34).
Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekadar pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan be lum memenuhi konsep tauhid yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam Alqur an, Iblis disebut kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin). Seorang Muslim yang baik tentulah tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi membangkang terhadap aturan-aturan Allah SWT.
Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekadar pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan be lum memenuhi konsep tauhid yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam Alqur an, Iblis disebut kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin). Seorang Muslim yang baik tentulah tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi membangkang terhadap aturan-aturan Allah SWT.
Sumber:http:1.//www.republika.co.id2.
http://hukum.kompasiana.com
JAKARTA 19/5/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar