Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah, lagi Maha
Pengasih. ,
الم
(1) Alif Laam Miim
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ
هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
(2) Inilah Kitab itu; tidak ada sebarang keraguan padanya,
satu petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertakwa.
الَّذِيْنَ
يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُوْنَ
(3) Yang percaya kepada yang ghaib , dan yang mendirikan
sembahyang dan dari apa yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka dermakan.
وَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَ مَا أُنْزِلَ مِن
قَبْلِكَ وَ بِالْآخِرَةِ هُمْ
يُوْقِنُوْنَ
(4) Dan orang-orang yang percaya kepada apa yang diturunkan
kepada engkau dan apa yang diturunkan sebelum engkau, dan kepada akhirat mereka
yakin.
أُولَئِكَ
عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ
وَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
(5) Mereka itulah yang berada atas petunjuk dari Tuhan
mereka, dan mereka itulah orang-orang yang
beroleh kejayaan.
Takwa
dan Iman
Alif - Laam - Miim
Di dalam al-Qur'an kita akan berjumpa dengan beberapa Surat
yang dimulai dengan huruf-huruf seperti ini :
الم المص المر
Alif-laam-miim : Alif-laam-miim-shaad : Alif-laam-miim-raa:
كهٰيٰعص
َ حم طٰهٰ
َ
Kaaf-haa-yaa-'ain-shaad: Haa-miim: `Ain-siin-qaaf: Thaa-haa:
طٰسم طٰس يٰس ص
ق ن
Thaa-siin-miim: Thaa-siin: Yaa-siin: Shaad: Qaaf: Nuun:
Baik penafsir lama, ataupun penafsir jaman-jaman akhir
membicarakan tentang huruf-huruf ini menurut cara mereka sendiri sendiri,
tetapi kalau disimpulkan terdapatlah dua golongan. Pertama ialah golongan yang
memberikan arti sendiri daripada huruf-huruf itu. Yang banyak memberikan arti
ialah penafsir sahabat yang terkenal, Abdullah bin Abas.
Sebagai Alif-lam-mim ini satu tafsir dari Ibnu Abbas
menerangkan bahwa ketiga huruf itu adalah isyarat kepada tiga nama: Alif untuk
nama Allah; Lam untuk Jibril dan Mim untuk Nabi Muhammad s.a.w. Dan tafsir Ibnu
Abbas juga mengatakan arti Alif-Lam-Ro ialah Alif berarti Ana, yaitu aku, Lam
berarti Allah dan Ra berarti Ara menjadi (Anal-Lahu-Ara): Aku adalah Allah, Aku
melihat. Demikianlah setiap huruf-huruf itu ada tafsirnya belaka menurut
riwayat yang dibawakan orang daripada Ibnu Abbas.
Menurut riwayat dari al-Baihaqi dan Ibnu Jarir yang diterima
dari sahabat Abdullah bin Mas'ud, beliau inipun pernah menyatakan bahwa
huruf-huruf Alif-Lam-Mim itu adalah diambil dari nama Allah, malahan
dikatakannya bahwa itu adalah dari Ismullahi al A'zham, nama Tuhan Yang Maha
Agung. Rabi' bin Anas (sahabat Rasulullah) mengatakan bahwa Alif-Lam-Mim itu
adalah tiga kunci : Alif kunci dari namaNya Allah, Lam kunci dari namaNya
Lathif , Mim kunci dari namaNya Majid.
Lantaran itu maka tafsir semacam ini pun pernah dipakai oleh
Tabi'in, yaitu Ikrimah, as-Sya'bi, as-Suddi, Qatadah, Mujahid dan al-Hasan
al-Bishri.
Tetapi pendapat yang kedua berkata bahwa huruf-huruf di
pangkal Surat itu adalah rahasia Allah, termasuk ayat mutasyabih yang kita baca
dan kita percayai, tetapi Tuhan yang lebih tahu akan artinya. Dan kita baca
tiap-tiap huruf itu menurut bunyi ucapannya dalam lidah orang Arab serta
dipanjangkan.
Riwayat kata ini diterima dari Saiyidina Abu Bakar
as-Shiddiq sendiri, demikian juga dari Ali bin Abu Thalib. Dan menurut riwayat
dari Abul Laits as Samarqandi, bahwa menurut Umar bin Khatab dan Usman bin
Affan dan Abdullah bin Mas'ud, semuanya berkata : "Di dalam al-Qur'an kita
tidak mendapat huruf-huruf, melainkan dipangkal beberapa Surat, dan tidaklah
kita tahu apa yang dikehendaki Allah dengan dia".
Sungguhpun demikian, masih juga ada ahli-ahli tafsir yang
tertarik membuat pengertian sendiri tentang rahasia-rahasia huruf-huruf itu.
Abdullah bin Mas'ud, dari kalangan sahabat Rasulullah s.a.w di satu riwayat,
berpendapat bahwa beliau sepaham dengan Umar bin Khathab dan Usman bin Affan
tadi, yaitu menyatakan tak usah huruf huruf itu diartikan.
Tetapi riwayat yang lain pernah beliau menyatakan bahwa
ALIFLAMMIM adalah mengandung ismullahi al A'zham (Nama Allah Yang Agung). As
Sya'bi, Tabi'in yang terkenal, di satu riwayat tersebut bahwa beliau berkata
huruf-huruf itu adalah rahasia Allah belaka. Tetapi di lain riwayat terdapat
bahwa beliau pernah memberi arti Alif .Lam Mim itu dengan Alllahu, Lathifun,
Majidun (Allah Maha Halus, Maha Utama).
Ada pula segolongan ahli tafsir menyatakan bahwasanya
hurufhuruf di awal Surat itu adalah sebagai pemberitahuan atau sebagai
panggilan untuk menarik perhatian tentang ayat-ayat yang akan turun
mengiringinya.
Riwayat yang terbanyak memberinya arti ialah daripada Ibnu
Abbas. Adapun perkataan yang shahih daripada Nabi s.a.w sendiri tentang arti
huruf-huruf itu tidak ada. Kalau ada tentu orang sebagai Abu Bakar as-Shiddiq,
Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib tidak akan
mengeluarkan pendapat bahwa huruf-huruf itu tidak dapat diartikan, sebagai kita
sebutkan di atas.
Nyatalah bahwa huruf-huruf itu bukan kalimat bahasa, yang
bisa diartikan. Kalau dia suatu kalimat yang mengandung arti, niscaya tidak
akan ragu-ragu lagi seluruh bangsa Arab akan artinya. Oleh sebab itu maka lebih
baiklah kita terima saja huruf-huruf itu menurut keadaannya.
Dan jika kita salinkan arti-arti atau tafsir yang
dikemukakan oleh Ibnu Abbas atau yang lain-lain, hanyalah semata mata menyalin
riwayat saja, dan kalau kita tidak campur tangan tidaklah mengapa. Sebab akan
mendalami isi al-Qur'an tidaklah bergantung daripada mencari-cari arti dari
huruf huruf itu. Apatah lagi kalau sudah dibawa pula kepada arti
rahasia-rahasia huruf, angka angka dan tahun, yang dijadikan semacam ilmu
tenung yang dinamai simiaa', sehingga telah membawa al-Qur'an terlampau jauh
daripada pangkal aslinya.
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ
هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
"Inilah Kitab itu; tidak ada sebarang keraguan padanya;
satu petunjuk bagi orang-orang yang hendak bertaqwa. " (ayat 2).
Inilah dia kitab Allah itu. Inilah dia al-Qur'an, yang
meskipun seketika ayat ini diturunkan belum merupakan sebuah naskah atau
mushhaf berupa buku, namun setiap ayat dan Surat yang turun sudah mulai beredar
dan sudah mulai dihapal oleh sahabat-sahabat Rasulullah; tidak usah diragukan
lagi, karena tidak ada yang patut diragukan. Dia benar-benar wahyu dari Tuhan,
dibawa oleh Jibril, bukan dikarang-karang saja oleh Rasul yang tidak pandai
menulis dan membaca itu. Dia menjadi petunjuk untuk orang yang ingin bertakwa
atau Muttaqin.
Kita baru saja selesai membaca al-Fatihah. Di sana kita
telah memohon kepada Tuhan agar ditunjuki jalan yang lurus jalan orang orang
yang diberi nikmat, jangan jalan orang yang dimurkai atau orang yang sesat.
Baru saja rnenarik napas selesai membaea surat itu, kita langsung kepada Surat
al-Baqarah dan kita langsung kepada ayat ini.
Permohonan kita di Surat al-Fatihah sekarang diperkenankan.
Kamu bisa mendapat jalan yang lurus, yang diberi nikmat, bukan yang dimurkai
dan tidak yang sesat, asal saja kamu suka memakai pedoman kitab mi. Tidak syak
lagi, dia adalah petunjuk. bagi orang yang suka bertakwa.
Apa arti takwa ? Kalimat takwa diambil dari rumpun kata
wiqayah artinya memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Tuhan.
Memelihara diri jangan sampai terperosok kepada suatu
perbuatan yang tidak di ridhai oleh Tuhan. Memelihara segala perintahNya supaya
dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang lumpur atau
berduri.
Sebab pernah ditanyakan orang kepada sahabat Rasulullah, Abu
Hurairah (ridha Allah untuk beliau), apa arti takwa ? Beliau berkata
:"Pernahkah engkau bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu
waktu itu ? " Orang itu menjawab : "Apabila aku melihat duri, aku
mengelak ke tempat yang tidak ada durinya atau aku langkahi, atau aku
mundur."Abu Hurairah menjawab:"Itulah dia takwa !" (Riwayat dari
Ibnu Abid Dunya).
Maka dapatlah dipertalikan pelaksanaan jawaban Tuhan dengan
ayat ini atas permohonan kita terakhir pada Surat al-Fatihah tadi. Kita memohon
ditunjuki jalan yang lurus, Tuhan memberikan pedoman kitab ini sebagai petunjuk
dan menyuruh hati-hati dalam perjalanan, itulah takwa. Supaya jalan lurus
bertemu dan jangan berbelok di tengah jalan.
Ketika pada akhir Desember 1962 kami mengadakan Konferensi
Kebudayaan Islam di Jakarta, dengan beberapa teman telah kami bicarakan pokok
isi dari Kebudayaan Islam. Akhirnya kami mengambil kesimpulan, ialah bahwa
Kebudayaan Islam ialah kebudayaan takwa. Dan kamipun sepakat mengambil langsung
kalimat takwa itu, karena tidak ada kata lain yang pantas menjadi artinya.
Jangan selalu diartikan takut, sebagai yang diartikan oleh orang yang
terdahulu. Sebab takut hanyalah sebagian kecil dari takwa.
Dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal,
ridha, sabar dan lain-lain sebagainya. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan
amal shalih. Meskipun di satu-satu waktu ada juga diartikan dengan takut,
tetapi terjadi yang demikian ialah pada susunan ayat yang cenderung kepada arti
yang terbatas itu saja. Padahal arti takwa lebih mengumpul akan banyak hal.
Bahkan dalam takwa terdapat juga berani! Memelihara hubungan dengan Tuhan,
bukan saja karena takut, tetapi lebih lagi karena ada kesadaran diri, sebagai
hamba.
Dia menjadi petunjuk buat orang yang suka bertakwa, apatah
lagi bagi orang yang telah bertakwa. Sama irama ayat ini dengan ayat di dalam
Surat al-Waqi'ah (Surat 56, ayat 79)
لا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
"Tidaklah akan menyentuh kepadanya, melainkan makhluk
yang telah dibersihkan. "
Sehingga kalau hati belum bersih, tidaklah al-Qur'an akan
dapat menjadi petunjuk.
Lalu diterangkan sifat atau tanda-tanda dari orang yang
bertakwa itu, yang kita dapat menilik diri kita sendiri supaya memenuhinya.
dengan sifat-sifat itu:
الَّذِيْنَ
يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُوْنَ
"Mereka yang percaya kepada yangghaib, dan mereka yang
mendirikan sembahyang, dan dari apa yang Kami anrcgerahkan kepada mereka,
mereka dermakan. " (ayat 3)
Inilah tiga tanda pada taraf yang pertama.
Percaya pada yang ghaib. Yang ghaib ialah yang tidak dapat
disaksikan oleh pancaindera; tidak nampak oleh mata, tidak terdengar oleh
telinga, yaitu dua indera yang utama dari kelima (panca) indera kita. Tetapi dia
dapat dirasa adanya oleh akal. Maka yang pertama sekali ialah percaya kepada
Allah, zat yang menciptakan sekalian alam, kemudian itu percaya akan adanya
hari kemudian, yaitu kehidupan kekal yang sesudah dibangkitkan dari maut.
Iman yang berarti percaya , yaitu pengakuan hati yang
terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah rnenjadi keyakinan hidup.
Maka iman akan yang ghaib itulah. tanda pertama atau syarat pertama dari takwa
tadi.
Kita sudah sama tahu bahwa manusia itu dua juga coraknya;
pertama orang yang hanya percaya kepada benda yang nyata, dan tidak mengakui
bahwa ada pula di balik kenyataan ini sesuatu yang lain. Mereka tidak percaya
ada Tuhan atau Malaikat, dan dengan sendirinya mereka tidak percaya akan ada
lagi hidup akhirat itu. Malahan terhadap adanya nyawapun, atau roh, mereka
tidak percaya. Orang yang seperti ini niscaya tidak akan dapat mengambil
petunjuk dari al-Qur'an. Bagi mereka koran pembungkus gula sama saja dengan
al-Qur'an.
Kedua ialah orang-orang yang percaya bahwa dibalik benda
yang nampak ini, ada lagi hal-hal yang ghaib. Bertambah banyak pengalaman dalam
arena penghidupan, bertambah mendalamlah kepercayaan mereka kepada yang ghaib
itu.
Kita kaum Muslimin yang telah hidup empat belas abad sesudah
wafatnya Rasulullah s.a.w dan keturunan-keturunan kita yang akan datang
dibelakangpun Insya Allah, bertambah lagi keimanan kepada yang ghaib itu,
karena kita tidak melihat wajah beliau.
Itupun termasuk iman kepada yang ghaib. Maka tersebutlah
pada sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, ad-Darimi, alBaqawardi dan
Ibnu Qani di dalam Majma' ush Shahabah, dan ikut juga merawikan Imam Bukhari di
dalam Tarikhnya, dan At Thabarani dan al-Hakim, mereka meriwayatkan daripada
Abi Jum'ah al-Anshari:
"Berkata dia (Abu Jum 'ah al-Anshari) : Aku bertanya ;
ya Rasulullah ! Adakah suatu kaum yang lebih besarpahalanya daripada kami,
padahal kami beriman kepada engkau dan kami mengikuti akan engkau ?Berkatalah
beliau : Apalah akan halangannya bagi kamu (buat beriman kepadaku), sedang Rasulullah
ada di hadapan kamu, dan datang kepada kamu wahyu (langsung) dari langit.
Tetapi akan ada lagi suatu kaum yang akan datang sesudah kamu, datang kepada
mereka Kitab Allah yang ditulis di antara dua Luh, maka merekapun beriman
kepadaku dan mereka amalkan apa yang tersebut di dalamnya. Mereka itu adalah
lebih besar pahalanya daripada kamu. "
Dan mengeluarkan pula at-Thayalisi, Imam Ahmad, dan Bukhari
di dalam Tarikhnya, at-Thabarani dan al-Hakim, mereka riwayatkan daripada Abu
Umamah al-Baihili.
"Berkata dia (Abu Umamah), berkata Rasulullah s. a. w :
"Bahagialah bagi siapa yang melihat aku dan beriman kepadaku; dan bahagia
(pulalah) bagi siapa yang beriman kepaadaku, padahal dia tidak melihat aku
(tujuh kali). "
Hadist ini dikuatkan lagi oleh yang dirawikan Imam Ahmad,
Ibnu Hibban dari Abu Said al-Khudri.
"Bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah
s.a.w. Bahagialah bagi siapa yang melihat engkau dan berimun kepada engkau.
Beliaupun menjawab: Bahagialah bagi siapa yang melihat aku dan beriman
kepadaku; dan berbahagialah bagi siapa yang beriman kepadaku, padahal dia tidak
melihat aku. "
Kita tidak melihat wajah beliau. Bagi kita beliau adalah
ghaib. Kita hanya mendengar berita dan sejarah beliau atau bekas-bekas tempat
beliau hidup di Mekkah, namun bagi setengah orang yang beriman, demikian
cintanya kepada Rasulullah, sehingga dia merasa seakan-akan Rasulullah itu
tetap hidup, bahkan kadang-kadang titik air matanya karena terkenang akan
Rasulullah dan ingin hendak menjadi umatnya yang baik dan patuh, ingin
mengerjakan sunnahnya dan memberikan segenap hidup untuk melanjutkan agamanya.
Maka orang beginipun termasuk orang yang mendalam
keimanannya kepada yang ghaib.
Maka keimanan kepada yang ghaib dengan sendirinya
diturutinya dengan mendirikan sembahyang.
Tegasnya kalau mulut telah tegas mengatakan iman kepada
Allah, Malaikat, Hari Kemudian, Rasul yang tidak pernah dilihat dengan mata,
maka bila panggilan sembahyang datang, bila azan telah terdengar, diapun
bangkit sekali buat mendirikan sembahyang. Karena hubungan di antara pengakuan
hati dengan mulut tidak mungkin putus dengan perbuatan.
Waktu datang panggilan sembahyang itulah ujian yang sangat
tepat buat mengukur iman kita. Adakah tergerak hati ketika mendengar azan ?
Atau timbulkah malas atau seakan-akan tidak tahu ?
Kelak kita akan sampai kepada ayat 45 dari Surat ini, yang
diterangkan disana memohon pertolonganlah kepada Allah dengan sabar dan
sembahyang, tetapi dijelaskan lagi bahwa sembahyang itu amat berat kecuali bagi
orang yang khusyu hatinya. Dan kita akan bertemu lagi di dalam Surat Thaha,
(Surat 2.0, ayat 132), yang menyuruh kita mendidik anak istri sembahyang dan
memperkuat kesabaran di dalam mengerjakannya, sebab cobaan mengerjakan
sembahyang itu banyak pula.
Maka jika waktu sembahyang telah datang dan kita tidak
genser (tidak perduli) juga, tandanya iman belum ada, tandanya tidak ada
kepatuhan dan ketaatan. Dan itu diujikan kepada kita lima kali sehari semalam.
Kadang-kadang sedang kita asyik mengobrol, kadangkadang
sedang asyik berapat; bagaimanakah rasanya pada waktu itu: kalau tidak ada
getarnya ke dalam hati, tandanya seluruh yang kita mintakan kepada Tuhan telah
percuma belaka. Petunjuk yang kita harapkan tidaklah akan masuk ke dalam hati
kita. Sebab :
"Iman ialah kata dan perbuatan, lantaran itu dia bisa
bertambah dan bisa kurang. "
Dan sembahyang itu bukan semata dikerjakan. Di dalam
alQur'an atau di dalam hadits tidak pernah tersebut suruhan mengerjakan
sembahyang, melainkan mendirikan sembahyang.
Tandanya sembahyang itu wajib dikerjakan dengan kesadaran,
bukan sebagai mesin yang bergerak saja. Dan yang menarik hati lagi, ialah 27
kali lipat pahala sembahyang berjama'ah daripada sembahyang sendiri. sehingga
orang yang berumah dekat masjid atau Ianggar, sernbahyangnya di masjid lebih
diutamakan daripada sembahyangnya menyendiri di rumah.
Malahan ada hadits yang mengatakan bahwa jiran masjid
hendaklah sembahyang di masjid. Nantipun akan berjumpa kita dengan ayat 38 dan
Surat as Syura (Surat 53), bahwa mukmin sejati itu ialah yang segera
mengabulkan panggilan Tuhan, lalu bersembahyang dan segala urusan mereka,
mereka musyawarahkan di antara mereka. Tandanya sembahyang itupun hendaklah
menimbulkan masyarakat yang baik dan musyawarah yang baik pula .
Keterangan tentang sembahyang akan berkali-kali berjumpa
dalam al-Qur°an kelak. Dan setelah mereka buktikan iman dengan sembahyang,
merekapun mendermakan rezeki yang diberikan Allah kepada mereka.
Itulah tingkat ketiga atau syarat ketiga dari pengakuan
iman. Ditingkat pertama percaya kepada yang ghaib dan kepercayaan kepada yang
ghaib dibuktikan dengan sembahyang, sebab hatinya dihadapkannya kepada Allah
yang diimaninya. Maka dengan kesukaan memberi, berderma, bersedekah, membantu
dan menolong, imannya telah dibuktikannya pula kepada masyarakat. Orang mukmin
tidak mungkin hidup nafsi-nafsi dalam dunia. Orang mukmin tidak mungkin menjadi
budak dari benda, sehingga dia lebih mencintai benda pemberian Allah itu
daripada sesamanya rnanusia. Orang yang mukmin apabila dia ada kemampuan,
karena imannya sangatlah dia percaya bahwa dia hanya saluran saja dari Tuhan
untuk membantu hamba Allah yang lemah.
وَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
"Dan Orang-orang yang percaya kepada apa yang
diturunkan kepada engkau. " (Pangkal ayat 4).
Niscaya baru sempurna iman itu kalau percaya kepada apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad s. a.w sebagai iman dan ikutan. Percaya kepada
Allah dengan sendirinya pastilah menimbulkan percaya kepada peraturan-peraturan
yang diturunkan kepada Utusan Allah, lantaran itu percaya kepada Muhammad s.a.w
itu sendiri, percaya kepada wahyn dan percaya kepada contoh-contoh yang beliau
bawakan dengan sunahnya, baik kata-katanya, atau perbuatannya ataupun perbuatan
orang lain yang tidak dicelanya. Dengan demikianlah baru iman yang telah tumbuh
tadi terpimpin dengan baik.
وَ مَا أُنْزِلَ مِن
قَبْلِكَ
" Dan apa yang diturunkan sebelum engkau . "
Yakni percaya pula bahwa sebelum Nabi Muhammad s. a.w tidak
berbeda pandangan kita kepada Nuh atau Ibrahim, Musa atau Isa dan Nabi-nabi
yang lain. Semua adalah Nabi kita!. Lantaran itu pula tidak berbeda pandangan
orang mukmin itu terhadap sesama manusia. Bahkan adalah manusia itu umat yang
satu.
Dengan demikian, kalau iman kita kepada Allah telah tumbuh,
tidaklah mungkin seorang mukmin itu hanya mementingkan golongan, lalu memandang
rendah golongan yang lain. Mereka mencari titik-titik pertemuan dengan orang
yang berbeda agama, dalam satu kepercayaan kepada Allah Yang Tunggal tidak
terbilang.
Dan tidaklah mungkin mereka mengaku beriman kepada Allah,
tetapi peraturan hidup tidak mereka ambil dari apa yang diturunkan Allah.
Bahkan kitab-kitab suci yang manapun yang mereka baca, entah Taurat maupun
Injil, atau Upanishab dan Reg Veda, mukmin yang sejati akan bertemu di dalamnya
mana yang mereka punya, sebab kebenaran hanyalah satu. Dan demikian memancarlah
Nur atau cahaya daripada iman mereka itu, dan mencahayai kepada yang lain.
Sebab pegangan mereka adalah pegangan yang pokok. Dan sebagai kunci ayat, Tuhan
bersabda :
وَ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ
Dan kepada akhirat mereka yakin " (ujung ayat 4 )
Inilah kunci penyempurna iman. Yaitu keyakinan bahwa hidup
tidaklah selesai hingga hari ini, melainkan masih ada sambungannya. Sebab itu
maka hidup seorang mukmin terus dipenuhi oleh harapan bukan oleh kemuraman;
terus optimis, tidak ada pesimis. Seorang mukmin yakin Ada Hari Esok!
Kepercayaan akan Hari Akhirat mengandung :
1. Apa yang kita kerjakan di dunia irii adalah dengan
tanggungjawab yang penuh. Bukan tanggungjawab kepada manusia, tetapi kepada
Tuhan yang selalu melihat kita, walaupun sedang kita berada sendirian. Semuanya
akan kita pertanggungjawabkan kelak di akhirat. Tanggungjawab bukan jawab yang
tanggung.
2.. Kepercayaan kepada akhirat meyakinkan kita bahwa
apa-apapun peraturan atau susunan yang berlaku dalam alam dunia ini tidaklah
akan kekal; semuanya bergantian, semuanya berputar, dan yang kekal hanyalah
peraturan kekal dari Allah, sampai dunia itu sendiri hancur binasa.
3. Setelah hancur alam yang ini; `I'uhan akan menciptakan
alam yang lain, langimya lain, buminya lain, dan manusia dipanggil buat hidup
kembali di dalam alazn yang baru dicipta itu dan akan ditentukan tempatnya
sesudah penyaringan dan perhitungan amal. didunia.
4. Surga untuk yang lebih beraa amal baiknya. Neraka untuk
yang lebih berat amal jahatnya. Dan semuanya dilakukan dengan adil.
5. Kepercayaan akan Hari Akhirat memberikan satu pandangan
khas tentang menilai bahagia atau celaka manusia. Bukan orang yang hidup mewah
dengan harta benda, yang gagah berani dan tercapai apa yang dia inginkan, bukan
itu ukuran orang yang jaya. Dan bukan pula karena seorang hidup susah, rumah
gubuk dan menderita yang menjadi ukuran untuk menyatakan bahwa seorang celaka.
Tetapi kejayaan yang hakiki adalah pada nilai iman dan takwa disisi Allah,
dihari kiamat. Yang semulia-mulia kamu disisi Allah ialah yang setakwa-takwa
kamu kepada Allah. Sebab itu tersimpullah semua kepada ayat yang berikutnya :
أُولَئِكَ
عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ
وَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
"Mereka itulah yang herada alas petunjuk dari Tuhan
mereka, dan mereka itulah orang-orang yarsg beroleh kejayaan. " (ayat 5)
Berjalan menempuh hidup, di atas jalan Shirothol Mustaqim,
dibimbing selalu oleh Tuhan, karena dia sendiri memohonkanNya pula, bertemu
taufik dengan hidayat, sesuai kehendak diri dengan ridha Allah, maka beroleh
kejayaan yang sejati, menempuh suatu jalan yang selalu terang benderang, sebab
pelitanya terpasang dalam hati sendiri; pelita iman yang tidak pernah padam.
Sebagai telah kita sebutkan di atas tadi, dari ayat 1 sampai
ayat 5, adalah memperlakukan permohonan kita di dalam al-Fatihah, memohon
diberi petunjuk jalan yang lurus. Asal ini dipegang , petunjuk jalan yang lurus
pasti tercapai.
TAFSIR HAMKA
JAKARTA 29/3/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar