“Sesungguhnya
amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya amalan seseorang itu akan
dibalas sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي
حَرْثِهِ
وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا
وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu
baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat”.
Muaqaddimah
Riya merupakan suatu jenis penyakit hati yang sangat
berbahaya karena bersifat lembut (samar-samar) tapi berdampak luar biasa.
Bersifat lembut karena masuk dalam hati secara halus sehingga kebanyakan orang
tak merasa kalau telah terserang penyakit ini. Dan berdampak luar biasa, karena
bila suatu amalan dijangkiti penyakit riya’ maka amalan itu tidak akan diterima
oleh Allah subhanahu wata’ala dan pelakunya mendapat ancaman keras dari Allah
subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sangat
khawatir bila penyakit ini menimpa umatnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya
takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para
shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad dari shahabat
Mahmud bin Labid no. 27742)
Arriya’ (الرياء)
berasal dari kata kerja raâ ( راءى) yang bermakna memperlihatkan. Sedangkan yang
dimaksud dengan riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan ibadah
tertentu seperti shalat, shaum (puasa), atau lainnya dengan tujuan agar
mendapat perhatian dan pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah Sum’ah yaitu
memperdengarkan suatu amalan ibadah tertentu yang sama tujuannya dengan riya’
yaitu supaya mendapat perhatian dan pujian manusia.
Pengertian Riya’
Tanbihun – Secara bahasa, Riya’ adalah memperlihatkan suatu
amal kebaikan kepada sesama manusia, adapun secara istilah yaitu: melakukan
ibadah dengan niat dalam hati karena demi manusia, dunia yang dikehendaki dan
tidak berniat beribadah kepada Allah SWT[1].
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fathul Baari
berkata: “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu
mereka memuji pelaku amalan itu”. Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari
kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal
kebaikan. Sementara Imam Habib Abdullah Haddad pula berpendapat bahwa riya’
adalah menuntut kedudukan atau meminta dihormati daripada orang ramai dengan
amalan yang ditujukan untuk akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah
melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi
manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya
mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan
penghormatan padanya[2]. Sebagaimana ulama mengatakan[3]:
وَالرِّيَاءُ
إِيْقَاعُ الْقُرْبَةِ لِقَصْدِ النَّاسِ
“Riya’ adalah melakukan ibadah karena mengharap arah kepada
manusia supaya mendapat keuntungan darinya (pujian dan penghormatan)”.
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa
riya’ merupakan perbuatan haram dan satu diantara dosa besar yang harus dijauhi
serta di tinggalkan supaya selamat dan amalnya manfaat sampai di negeri
akhirat. Adalah sangat jelas umat Islam yang melakukan perbuatan riya’
akan mendapat balasan buruk dari Allah. Sementara Rasul sendiri selalu
mengingatkan umatnya supaya menjauhi diri daripada perbuatan riya’ dalam
beberapa hadisnya. Seperti: Rasul SAW bersabda: Awaslah kamu jangan
mencampuradukkan antara taat pada Allah dengan keinginan dipuji orang (riya’),
niscaya gugur amalanmu. (HR. Ad-Dailami).
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: Sesuatu
yang paling aku khawatirkan terhadapmu ialah syirik kecil, lalu
ditanya oleh sahabat, apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Kemudian
baginda bersabda: itulah riya’. (HR. Ahmad dan Baihaqi).
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus”.
Dalam ayat yang lain
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ , أَلَا للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab
(al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari
syirik).”
Ikhlas Beribadah
Imam al-Ghazali menerangkan
bahwa sesiapa yang tidak membuang sifat riya’ ini, niscaya akan
ditimpa kecelakaan serta akan tergolong dalam golongan kufur. Jika hal ini
berlaku, maka tentulah dia tidak lagi layak memasuki syurga, apatah lagi
mencium baunya. Rasulullah SAW menasihatkan umatnya agar tidak sesekali
menyebut kebaikan diri dan keluarga karena sikap demikian akan mendorong
seseorang kepada sifat riya’. Justeru, keikhlasan saja yang dapat membunuh
perasaan riya’ sebagaimana firman Allah[10]:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus”.
Dalam ayat yang lain[11]:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ , أَلَا للهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab
(al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari
syirik).”
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila
sifat riya’ muncul sebelum selesai suatu ibadah dikerjakan, seperti
sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka
hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya’
sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar
kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan pahala.
Adapun apabila riya’ menyertai suatu
ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan tujuan riya’ dan
hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan
apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka
seyogyanya dia memulainya lagi[12].
Dalam surah al-baqarah ayat 264 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ
“Wahai orang-orang yang beriman, Jangan rusakkan
(pahala amal) sedekah kamu dengan perkataan membangkit-bangkit dan (kelakuan
yang) menyakiti, seperti (rusaknya pahala amal sedekah) orang yang membelanjakan
hartanya karena hendak menunjuk-nunjuk kepada manusia (riya’)…”.
Secara mudah kita simpulkan bahwa riya’
adalah perbuatan yang semata-mata untuk mengharapkan sanjungan, pujian atau
penghormatan daripada orang lain. Hal ini amat bertentangan dengan kehendak
Islam yang senantiasa menyeru umatnya agar beramal atau melakukan perkara
kebaikan dengan hati penuh keikhlasan dan mengharapkan keridhaan Allah.
Sekiranya penyakit ini dibiarkan terus bersarang dalam hati seseorang, lama
kelamaan ia boleh membinasakan orang yang mengamalkannya. Kemurnian akidah,
keluhuran akhlak dan kesempurnaan amal umat Islam akan tercemar dan rusak jika
tidak dilandasi keimanan dan keikhlasan hati serta mengharapkan keridhaan
Allah. Justru, dalam Islam setiap amal kebajikan yang disertai dengan riya’
adalah tergolong dalam perbuatan syirik kecil yang boleh merusakkan amal
kebajikan, melunturkan kemurnian akhlak dan akan mendapat kerugian hidup di
dunia dan akhirat.
Bahaya
Riya’
Penyakit riya’ merupakan penyakit yang sangat
berbahaya, karena memilki dampak negatif yang luar biasa.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghilangkan pahala sedekahmu
dengan selalu menyebut-nyebut dan dengan menyakiti perasaan si penerima,
seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan
tidak beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al Baqarah: 264)
Dalam konteks ayat di atas, Allah subhanahu
wata’ala memberitakan akibat amalan sedekah yang selalu disebut-sebut atau
menyakiti perasaan si penerima maka akan berakibat sebagaimana akibat dari
perbuatan riya’ yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah
subhanahu wata’ala.
Ayat di atas tidak hanya mencela perbuatanya saja
(riya’), tentu celaan ini pun tertuju kepada pelakunya.
Bahkan dalam ayat yang lain, Allah subhanahu
wata’ala mengancam bahwa kesudahan yang akan dialami orang-orang yang berbuat
riya’ adalah kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya:
“Wail (Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang
shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang
berbuat riya’, … “ (Al Maa’uun: 4-7)
Diperkuat lagi, adanya penafsiran dari Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma, makna Al Wail adalah ungkapan dari dasyatnya adzab di
akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir 1/118)
Sedangkan dalam hadits yang shahih, Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ancaman bagi orang yang berbuat
riya’ yaitu Allah subhanahu wata’ala akan meninggalkannya. Sebagaimana hadits
yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah subhanahu
wata’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan
mencampurkan kesyirikan bersama-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan amal
kesyirikannya itu”.
Bila Allah subhanahu wata’ala meninggalkannya
siapa lagi yang dapat menyelamatkan dia baik di dunia dan di akhirat kelak?
Dalam hadits lain, Allah subhanahu wata’ala
benar-benar akan mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang
pertama kali dihisab di hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang
yang mati di medan jihad, kedua; pembaca Al Qur’an, dan yang ketiga; seseorang
yang suka berinfaq. Jenis golongan manusia ini Allah subhanahu wata’ala
campakkan dalam An Naar karena mereka beramal bukan karena Allah subhanahu
wata’ala namun sekedar mencari popularitas. (Lihat HR. Muslim no. 1678)
Perlu diketahui, bahwa riya’ yang dapat
membatalkan sebuah amalan adalah bila riya’ itu menjadi asal (dasar) suatu
niatan. Bila riya’ itu muncul secara tiba-tiba tanpa disangka dan tidak terus
menerus, maka hal ini tidak membatalkan sebuah amalan.
Mengobati
Riya’
Di antara cara untuk mencegah dan mengobati
perbuatan riya’ adalah:
1. Mengetahui dan memahami keagungan Allah
subhanahu wata’ala, yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tinggi dan
sempurna.
Ketahuilah, Allah subhanahu wata’ala adalah Maha
Mendengar dan Maha Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun yang
tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh manusia
sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala?
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman
(artinya):”Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau
kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali Imran: 29)
2. Selalu mengingat akan kematian.
Ketahuilah, bahwa setiap jiwa akan merasakan
kematian. Ketika seseorang selalu mengingat kematian maka ia akan berusaha
mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan. Ia merasa khawatir ketika ia
berbuat riya’ sementara ajal siap menjemputnya tanpa minta izin /permisi
terlebih dahulu. Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia bukan dalam keadaan
husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).
3. Banyak berdo’a dan merasa takut dari perbuatan
riya’.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah
mengajarkan kepada kita do’a yang dapat menjauhkan kita dari perbuatan syirik
besar dan syirik kecil. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari
shahabat Abu Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Wahai manusia takutlah akan As Syirik ini, sesungguhnya ia lebih
tersamar dari pada semut. Maka berkata padanya: “Bagaimana kami merasa takut dengannya
sementara ia lebih tersamar daripada semut? Maka berkata Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam :” Ucapkanlah:
“Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung
kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan
kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya.”
4. Terus memperbanyak mengerjakan amalan shalih.
Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih,
baik dalam keadaan sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah
dibenarkan seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut riya’.
Dan Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih.
Bila riya’ itu muncul maka segeralah ditepis dan jangan dibiarkan terus menerus
karena itu adalah bisikan setan.
“Barangsiapa
yang memberikan teladan yang baik dalam Islam, kemudian ada yang
mengamalkannya, maka dicatat baginya kebaikan seperti orang yang mengamalkannya
tanpa mengurangi sedikitpun dari kebaikannya.” (HR. Muslim no. 1017)
WALLAH A’LAM
BISHAWAB
JAKARTA
23/3/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar