Selasa, 05 Maret 2013

SUAP Dalam Islam



             JANGAN Memakan Harta yang Batil:SUAP !
“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).
“Hai orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa [4]: 29).
Muqaddimah
Bukan rahasia umum, budaya korupsi yang melanda bangsa ini semakin tidak jelas ujungnya. Kita tahu, momentum akbar tumbuh suburnya korupsi bermula sejak zaman Orde Baru. Pada saat itu akses kekuasaan yang luas dan ketergantungan kepada pihak asing membuat Indonesia terus berutang. Surga uang terus mengucur dari pihak asing dan sebagai imbalannya konsesi-konsesi pertambangan secara khusus kemudian diberikan pemerintah Indonesia. Ironisnya, kucuran dana tersebut tidak semua dikelola untuk pembangunan negara akan tetapi sebagian menjadi bancakan di lingkungan pemerintah maupun komlorasi. Walhasil, budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tumbuh subur dan berlangsung bertahun-tahun bahkan diwariskan sampai sekarang.
Makna Risywah (Suap)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negera atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.6 Sebenarnya korupsi dari asal kata yang mengandung banyak defenisi, sebagaimana disebutkan di awal pembahasan. Termasuk ke dalam makna korupsi adalah suap. Pengertian korupsi yang banyak tersebut dilihat dari sudut pandang fiqih Islam juga mempunyai dimensi-dimensi yang berbeda. Perbedaan ini muncul karena beberapa defenisi tentang korupsi merupakan bagian-bagian tersendiri dari fiqih Islam.
Pengertian Suap, Korupsi, dan Hadiah kepada Pejabat
  1. Risywah adalah pemberian seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariat) atau  membatalkan  perbuatan  yang  hak. Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy (Ibn Al-Atsir, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
  2. Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
  3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
  4. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.
Yang dimaksud risywah (suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah II/7819).
Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. (Lihat Al-Misbah Al-Munir I/228).
Sedangkan Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak semestinya). (Lihat An-Nihayah Fi Gharibil Hadits II/546).
Dari beberapa pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Atau bisa juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
Hukum Suap Dalam Al-Qur’an dan Hadits
Praktik suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil syar’i berupa Al-Qur’an, Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Terdapat banyak dalil syar’i yang menjelaskan keharaman suap menyuap, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dalil dari Al-Qur’an Al-Karim, firman Allah Ta’ala:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”. (QS. Al-Maidah: 42).
Di dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhuma dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu (sesuatu yang haram) adalah
risywah (suap-menyuap). (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya imam Al-Qurthubi VI/119).
Berkenaan dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”. (Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an II/711).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah mengatakan, “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”. (Lihat Az-Zawajir ‘An Iqtirof Al-Kaba-ir, karya Haitsami I/131).
2. Dalil dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, diantaranya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.” (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban XI/467 no.5076. Dan dinyatakan Shohih  oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2212).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan Shohih  oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2211).
عن ثوبان قال : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dan diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452. namun sanad hadits ini dinyatakan Dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam Dho’if At-Targhib wa At-Tarhib II/41 no.1344).
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena pelakunya diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan suap ke dalam dosa besar yang ke-32.
Pendapat Ulama’
Para ulama telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga Allah merahmati mereka semua.  (Lihat Al-Mughni XI/437, An-Nihayah II/226, dan Subulussalam I/216).
Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya. (Lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an VI/119).
Imam Ash-Shan’ani mengatakan, “Dan suap-menyuap itu haram berdasarkan Ijma’, baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188). (Lihat Subulus Salam II/24).
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ” (Lihat Taudhihul Ahkam VII/119).
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.” (Lihat Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131).
Fatwa MUI tentang Suap, Korupsi, dan Hadiah kepada Pejabat
Atas desakan masyarakat yang telah lama resah dengan praktik risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau sebaliknya, maka dalam Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi'ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M, MUI telah membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat. Sidang tersebut kemudian menyepakati bahwa:
  1. Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram.
  2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
  3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
    a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
    b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:
    (1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
    (2) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya);
    (3) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.
 Pemberantasan suap/sogok, korupsi adalah tanggung jawab seluruh masyarakat. Sekecil apa pun upaya dalam memotong mata rantai korupsi sangatlah berharga untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan akibat ketamakan segelintir orang. Wallahu a’lam bi shawab.
JAKARTA 6/3/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman