Selasa, 19 Maret 2013

KUMPUL KEBO ?




               KUMPUL  Kebo, Menodai Keturunan !
Pengantar
Kumpul Kebo atau Samen Leven merupakan fenomena sosial yang ada ditengah masyarakat Indonesia tidak terkecuali mahasiswa sebagai kaum muda penerus kehidupan bangsa
Penlitian awal pada bulan November 2009-Januari 2010 yang melibatkan 98 mahasiswa UniversitasEsa Unggul yang dipilih secara acak sebagai responden menunjukkan bahwa sikap responden yang mendukung dan tidak mendukung kumpul kebo mempunyai proporsi yang sama besar walupun berbeda secara siginifikan dalam komponen sikap yang menonjol bagi yang mendukung atau tidak mendukung.
Kumpul kebo yang berarti ‘hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan’ dipakai orang untuk menggantikan kata samenleven (bahasa Belanda).
Ungkapan ini bukanlah ungkapan yang benar dalam bahasa Indo­ne­sia karena kumpul kebo diambil dari bahasa daerah. Jika kita menghendaki kumpul kebo itu menjadi ungkapan bahasa Indonesia, bentuknya harus kita ubah menjadi kumpul kerbau karena kata Indone­sia yang benar adalah kerbau bukan kebo.
Pengertian Kumpul Kebo
Istilah ‘kumpul kebo’ sepanjang hemat penulis merupakan istilah asli Indonesia. Kata  ‘kumpul’ yang artinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : bersama-sama menjadi satu kesatuan atau kelompok (tidak terpisah-pisah); berhimpun; berkampung; berapat (bersidang); berkerumun. Lalu ‘kebo’ artinya : kerbau (http://bahasa. kemdiknas.go.id/). Sudah tentu yang dimaksudkan adalah arti kiasan, bukan arti yang sebenarnya : kerbau berkumpul, tetapi pasangan laki-laki dan perempuan kumpul seperti kerbau. Oleh sebab itu ada yang mengartikan ‘kumpul kebo’ adalah suatu perbuatan tinggal bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh suatu tali perkawinan yang sah (http://edukasi.kompasiana.com; http://smartpsikologi. blogspot.com/).
Kumpul kebo merupakan istilah masyarakat Indonesia yang ditujukan kepada pasangan lain jenis yang hidup bersama dalam satu rumah sebagaimana layaknya suami isteri yang sah, tetapi tidak diikat oleh perkawinan yang sah dan dalam Islam disebut dengan zina.


Mengapa  Kumpul Kebo ?
Fenomena ini (kumpul kebo) juga marak terjadi di kalangan selebriti. Model iklan dan pemain sinetron Steve Emmanuel dan pasangan “kumpul kebonya” Andi Soraya, yang secara terang-terangan mengakui telah “kumpul kebo” dan mempunyai seorang anak dari hasil perbuatannya tersebut (Majalah Gatra, Edisi 47, beredar Jum’at 03 Oktober 2003). Mereka mengungkapkan bahwa ini (“kumpul kebo”) merupakan ranah privasi yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak seharusnya diurusi oleh Negara. Mereka sudah sangat menikmati gaya hidup mereka sebagai pasangan yang hidup bersama tanpa pernikahan resmi. (www.kompascybermedia.com)
Mereka mengadopsi kehidupan “kumpul kebo” dari Kebudayaan Barat bahwa  “kumpul kebo” adalah hal yang biasa. Padahal seks sebelum menikah adalah hal yang tabu pada kultur Indonesia. Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi pasangan “kumpul kebo”. Oleh karena itu berita seseorang yang menjalani kehidupan “kumpul kebo” akan menjadi gaduh sosial. Namun norma yang menabukan “kumpul kebo” dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar meminimalkan banyaknya pelaku “kumpul kebo”.
Fenomena “kumpul kebo” juga terjadi di lingkungan kampus, salah seorang warga yang bermukim di sekitar kampus tersebut pernah mengeluhkan praktek “kumpul kebo” yang dijalani sejumlah mahasiswa – mahasiswi di tempat kos mereka masing-masing yang berada disekitar kampus dan menjadi bagian dari pemukiman penduduk sipil. (http://www.suplentonkjaya.com). Hidup bersama tanpa menikah di tempat kos-kosan di kalangan mahasiswa kian marak terjadi. Mahasiswa yang melakukan “kumpul kebo” biasanya adalah mahasiswa pendatang atau mahasiswa yang berasal dari luar daerah. Mereka beralasan faktor keuangan menjadi pemicu mereka melakukan “kumpul kebo”. Demi menghemat pengeluaran uang untuk sewa kos dan dipengaruhi faktor lainnya, mereka memilih ‘tinggal bersama’ tanpa ikatan tali pernikahan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang mahasiswa Universitas Indonusa Esa Unggul yang melakukan hidup “kumpul kebo”, seperti berikut” Gue milih tinggal sama pacar gue biar irit pengeluaran bayar uang kos, lagian ibu kosnya juga santai aja. Ada faktor lain juga sih yang bikin gw mau ngelakuin pilihan ini, kayaknya enjoy aja hidup serumah sama pacar gue soalnya dulu gue tuh suka banget nonton film beverly hills. Kayaknya enak banget ya bisa setiap hari ketemu pacar, bangun tidur ada pacar, mau tidur ada pacar juga. Daripada gue seks bebas gak jelas mending gue tetap dengan satu orang. Lagian sekalian uji coba sebelum gue nikah beneran, daripada nanti cerai mending dicoba dulu”
Faktor-Faktor Berkumpul Kebo
Seorang individu mengambil keputusan untuk melakukan “kumpul kebo”  karena didasari beberapa faktor, di antaranya :
a)   Ketidaksiapan Mental untuk Menikah
Individu ingin membentuk hubungan yang romantis dengan pasangannya sehingga dapat meyalurkan kebutuhan seksualnya tanpa harus terikat dalam pernikahan yang sah. Mereka yang melakukan “kumpul kebo”, umumnya tidak memiliki kesiapan mental untuk memasuki jenjang pernikahan walaupun dari segi usia dan pekerjaan atau ekonomi sudah memenuhi syarat. Menurut Popenoe dan Whitehead (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2001) menyatakan bahwa orang laki-laki cenderung menganggap “kumpul kebo” sebagai kesempatan melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya, sedangkan bagi wanita, “kumpul kebo” dianggap sebagai persiapan untuk memasuki pernikahan yang sah.
b)      Ketidaksiapan secara Ekonomis
Dari segi usia, mungkin seseorang telah memenuhi syarat, namun dari segi ekonomis mungkin merasa belum siap untuk menikah. Mereka yang tergolong belum mandiri secara ekonomi, misalnya mereka yang masih duduk di bangku perguruan tinggi, lulus universitas atau akademi tetapi masih menganggur, atau sudah bekerja tetapi penghasilannya belum mencukupi jika dipergunakan untuk hidup berdua dalam pernikahan. Sementara itu, dorongan seksual dari dalam dirinya sudah seharusnya memperoleh penyaluran secara teratur dan sah dari segi hukum perkawinan. Dengan kondisi tersebut, akhirnya mereka sering kali hamya berpikir dalam jangka pendek, yaitu yang penting bagaimana kebutuhan biologis tersebut segera dapat terpenuhi, tetapi dengan konsekuensi mengabaikan nilai-nilai agama, norma sosial dan etika. Akhirnya, mereka memilih “kumpul kebo” sebagai alternatif terbaik.
c)   Pengalaman Traumatis sebelum dan sesudah Pernikahan
Bagi seorang individu yang telah menjalin hubungan dengan lawan jenis, tetapi putus. Akhirnya mengalami patah hati, dengan perasaan sangat kecewa (frustasi), sedih, putus asa, dan dendam, individu memilki pemikiran (niat) untuk tidak menikah secara resmi. Akhirnya, mereka pun melakukan “kumpul kebo” dan tinggal serumah dengan pasangan hidupnya. Mereka hidup bersama sehingga dapat saling membagi cinta kasih dan menyalurkan hasrat seksual.
Bila salah satu atau kedua orang yang melakukan “kumpul kebo”, sebelumnya pernah menikah, namun kemudian bercerai. Misalnya, karena ketidaksetiaan pasangan hidupnya, kemudian terjadi perselingkuhan. Mereka merasa sakit hati dan kemudian memutuskan unutk hidup bersama dengan orang lain tanpa didasari ikatan pernikahan yang sah.
Hukum Zina dan Kumpul Kebo
 Disamping itu dalam RUU KUHP delik zina dan kumpul kebo hanya masuk pada delik aduan sehingga kerangka hukum bagi pelaku zina dan kumpul kebo kurang begitu kuat, serta juga tidak dijelaskan secara rinci tentang kriteria delik zina dan kumpul kebo, serta unsur yang ada dalam delik tersebut[9]. Begitu juga dalam hukum Islam yang bersumber pada al-Qur'an dan Hadis, tidak dijelaskan secara rinci terhadap delik zina dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman, al-Qur'an dan Hadis hanya memberikan penjelasan terhadap sanksi yang harus dijatuhkan terhadap pelaku. Fakta inilah yang mengundang sejumlah kalangan ulama' untuk memberikan pendapat terhadap kriteria delik zina dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman. Dan tentunya masih banyak pendapat para ulama' yang menjelaskan tentang kriteria delik zina dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman, yang jelas orang yang melakukan delik zina dan kumpul kebo didasari suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan.
Disamping kriteria, zina dan kumpul kebo, juga mencakup tiga unsur, yaitu unsur formil, materiel, dan unsur moril. Pelaku zina dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman adalah mereka yang mampu mempertanggung jawabkan pidananya.
 Jadi secara garis besar kriteria zina dan kumpul kebo adalah:adanya persetubuhan, adanya perbuatan yang diharamkan, perbuatan tersebut didasari suka sama suka, perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang mukallaf dan perbuatan tersebut dilarang oleh syara'. Apabila dari segi kriteria,unsur dan syarat-syarat lain ada pada pelaku delik zina akan dijatuhi hukuman had, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Bagi pezina muhsan akan dikenakan hukuman rajam sampai mati, hukuman ini diberikan karena pezina muhsan tidak bisa menjaga keihsanan pada dirinya. [10]
Sedang bagi kumpul kebo (ghairu muhsan) bentuk sanksinya adalah hukuman jilid seratus kali dan pengasingan (taghrib), ditetapkan hukuman jilid adalah untuk memerangi psikologis yang mendorong terjadinya jarimah kumpul kebo (ghairu muhsan).
Pernikahan Benteng Zina dan Kumpul Kebo
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
JAKARTA  20/3/2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman