Sejarah Kemunculan Asy’ariyah
Nama lengkap al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin
Isma’il bin Ishaq bin alim bin Ismail bin usa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi
Musa Al-Asy’ari. menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di bashrah pada
tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota
Baghdad dah wafat di sana pada tahun 324 H935 M. (Harun Nasution, 2009: 120)
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia
berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan
jama’ah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan
menunjukan keburukan-keurukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi
Asy’ariyah meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Asy’ari telah
bermimpi bertemu Rasulullah SAW. sebanyak tiga kali, yaitu pada malah ke-10,
ke-20, dan ke30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang
telah diriwayatkan dari beliau.(Abdul Rozak dan Rasihan Anwar, 2010: 120)
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi
yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya.
Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham
Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb
(acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang
diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb)
untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana
manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela
keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S.
Ash-shaffat : 96)
Aliran
Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya
manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb
mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini
implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya
kehendaknya.
Ajaran-Ajaran
Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah nama aliran yang namanya dinisbatkan
kepada Abu Musa al-Asy’ari. Memang Asy’ari adalah penganut bahkan tokoh yang
sangat terkemuka Mu’tazilah, namun pada usia 40 tahun ia bermimpi bertemu
dengan Rasulullah SAW dan menyuruhnya untuk meninggalkan aliran Mu’tazilah..
Ajaran-ajaran yang diberikan aliran ini antara lain:
1.Tuhan dan sifat-sifatnya
Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat,
seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara
harfiah, melainkan secara simbolis, mereka beranggapan bahwa sifat Allah itu
unik dan tidak sama dengan sifat yang ada pada diri manusia.
2.Kebebasan
dalam berkehendak
Asy’ariyah berpendapat bahwa kebebasan dalam
berkehendak itu terbagi antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah
sendiri adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia
sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allahlah yang mampu
menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
3.Akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk
Asy’ariyah berpendapat bahwa akal dan wahyu itu sangat
penting, tetapi mereka lebih mengutamakan wahyu. Mereka berpendapat bahwa
menentukan yang baik dan buruk itu ditentukan dengan wahyu.
4.Qadimnya Quran
Mereka berpendapat bahwa walaupun al-Quran terdiri dari dari kata-kata, huruf dan bunyi,
semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak Qadim.
Nasutionpun mengatakan bahwa al-Quran bagi Asy’ariyah tidaklah diciptakan,
sebab kalau ia diciptakan sesuai dengan ayat.
40): النحل) إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ
إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya:”Jika kami menghendaki sesuatu, kami sersabda,
“Terjadilah” maka ia pun terjadi”. (an-Nahl: 40)
5.Melihat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat nanti
di akhirat, mereka juga berpendapat bahwa Tuhan itu bersemayam diatas arsy.
Tetapi Tuhan dapat dilihat jika ia menghendakinya, jika ia tidak menghendaki
maka dia tidak terlihat.
6. Keadilan Tuhan
Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan itu adil.tetapi ia
tidak mempunyai keharusan untuk menyiksa orang yang berbuat salah dan memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memounyai
keharusan apapun karena ia adaalh penguasa mutlak.
7.Kedudukan orang yang berdosa besar
Asy’ariyah berpendapat bahwa mukmin yang berdosa besar
ialah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufur, iman merupakan lawan dari kafir.
Menurut Asy’ariyah
Perbuatan Tuhan itu menyangkut beberapa aspek, diantaranya: Tuhan tidak terikat dengan kewajiban, Tuhan
bebas untuk berkehendak, tanpa wahyu manusia tidak bias membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk, Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji, Tuhan
menciptakan perbuatan manusia tapi manusia yang punya andil untuk memilih
kasabnya (kasb/muktasabih), Tuhan mempunyai sifat yang tidak sama dengan
sifat manusia, kehendak Tuhan itu adalah mutlaq, Tuhan itu adil bisa berbuat
dan membuat hukum sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Perbuatan Tuhan
Menurut Asy’ariyah
Sebagai sosok pencipta, Tuhan melaksanakan segala kehendaknya , Tuhan pasti
melakukan berbagai perbuatan, perbuatan Tuhan telah dijelaskan oleh berbagai
golongan tertentu didalam islam. Diantara perbuatan tuhan menurut Asy’ariyah
ialah:
1.Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Bagi kaum Asy’ariyah, Tuhan mempunyai kekuasaan dan
kehendak mutlak, tanpa ada yang membatasinya. Allahlah pencipta semua perbuatan
manusia, dan dialah yang mengatur segala sesuatu, yang baik atau yang buruk,
perbuatan manusia itu bukan diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diwujudkan
atau hakikatnya adalah diciptakan oleh Tuhan itu dinamakan kasab.
Jadi paham
Asy’ariyah bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kehendak yang mutlak itu
mengandung arti bahwa Tuhan itu tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap
makhluknya. Tidak ada satupun kewajiban bagi Allah. Allah tidak berkewajiban
memberi pahala kepada yang ta’at menjalankan ibadah, dan Allahpun tiak
berkewajiban memberikan adzab orang yang berbuat dosa besar kepadanya. Semuanya
tergantung kepada mekuasaan dan kehndak mutlak Tuhan. Al-Ghazali mengatakan:
manusia adalah ciptaan Tuhan; dan dia bebas memperlakukan mereka menurut kehndaknya. Karena itu
tidaklah menjadi soal bagi Allah seandainya dia menganpuni semua orang kafir
dan mengadzab semua orang mukmin. Sebab memberi pahala kepada orang-orang
mukmin itu bukan menjadi kewajiban Allah, tetapi hanya kehendak mutlak Tuhan
semata-mata. Tuhan boleh saja melarang apa yang telah diperintahkannya dan
boleh juga ia memerintahkan apa yang dilarangnya. Tidak ada larangan apapun
bagi Tuhan. Ia dapat berbuat apa saja menurut kehendaknya dan dia tidak
bertanggung jawab atas semua perbuatannya, Tuha maha kuasa dan dapat berbuat
apa saja yang disukainya,sesuai dengan kekuasaan dan kehendak mutlaknya.
Sebaliknya manusia adalah
makhluk yang serba terpaksa dalam segala perbuatannya oleh kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Segala sesuatu yang dating dari Tuhan. Apabila manusia
berbuat baik, perbuatan itu sudah ditentukan oleh Tuhan, sesuai dengan
rahmatnya, dan apabila manusia berbuat jahat, maka perbuatan itulah perbuatan
yang dikehndaki oleh Tuhan, sesuai dengan keadilannya.
Menurut kaum Asy’ariyah, segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta ini, termasuk
perbuatan manusia, adalah hasil dari
perbuatan Allah yang telah ditentukan sejak azali, yaitu sebelum terciptanya
alam ini. Manusia tidak dapat merubah ketentuan Allah yang demikian itu, sebab
manusia tidak mempunyai kekuasaan dalam penciptaan perbuatanya. Hanya Allah
sajalah pencipta semua makhluk dan pencipta perbuatan semua makhluknya, baik
perbuatan baik maupun perbuatan yang buruk. Tidak ada pencipta lain selain dia.
2. Berbuat baik dan terbaik
Bagi kaum Asy’ariyah, paham
al-shalah wa al-ashlah ini tidak dapat diterima, karena paham tersebut
bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini
ditegaskan oleh Al-Ghazali yang mengantakan bahwa Tuhan tidak berbuat baik dan
terbaik bagi manusia.
3.Sifat-sifat Tuhan
Bagi kaum Asy’ariyah,
pendapat kaum Mu’tazilah ini tidak dapat
diterima. Mereka berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut mereka,
mustahil Tuhan mengetahui dengan dzatnya. Karena dengan demikian dzatnya adalah
pengetahuan dan Tuhan sendri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan
(‘ilm), tetapi yang mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan
pengetahuan, dan pengetahuannya itu bukanlah dzatnya, tetapi sifatnya. Demikian
pula dengan sifat-sifat yang lain seperti: hidup, berkuasa, mendengar, melihat
dan sebagainya. Menurut al-Bagdadi, dalam kalangan kaum Asy’ariyah telah
terdapat kesempatan, bahwa pengetahuan, hidup, kemampuan, pendengaran,
penelihatan dan firman Tuhan adalah kekal, dan sifat-sifat tersebut tidak sama
dengan dzat Tuhan atau esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri.
Sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena
sifat-sifat itu tidak lain dari Tuhan, maka adanya sifat-sifat itu tidak akan
membawa kepada keyakinan kepada banyak yang kekal, sehingga tidak perlu
khawatir akan jatuh kepada kemusyrikkan.
4. Pelaku
dosa besar
Asy’ariyah berpendapat bahwa
pelakku dosa besar tidaklah menjadi
kafir jika dia termasuk ahli tauhid yang ikhlas. Tapi ia adalah mukmin dengan
keimanannya dan fasik dengan dosa besarnya, dan dia berada di bawah kehendak Allah. Apabila kehendaknya,
dia mengampuninya dan apabila dia berkehendak pula, maka ia menyiksa dineraka
karena dosanya, kemudian ia mengeluarkannya dan tidak menjadikannya kekal di
neraka.
5. Pengiriman
Rasul
Dalam teologi kaum
Asy’ariyah mempunyai arti penting menolak sifat wajibnya pengiriman demikian,
karena hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apa-apa terhadap manusia. Paham serupa ini dapat membawa akibat tidak
baik.setidaknya Tuhan tidak mengutus Rasul kepada manusia, hidup mereka akan
mengalami kekacauan, karena tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan
perbuatan baik dan perbuatan buruk. Manusia dalam hal demikian berbuat apa saja
yang dikehendakinya, tetapi sesuai dengan paham Asy’ariyah tentang kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi persoalan dalam teologi
mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya. Kalau ia menghendaki
manusia hidup dalam masyarakat kacau, itu tidak apa-apa. Tuhan dalam paham
Asy’ariyah tidak berbuat untuk kepentingan manusia.
6. Janji
dan ancaman
Bagi kaum Asy’ariyah paham
ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban terhadap
Tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman
yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits.
Tetapi disini timbul
persoalan bagi kaum Asy’ariyah, karena dalam al-Quran telah dikatakan dengan
tagas bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat
jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab man, allazna
dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh Asy’ariyah sendiri diberi
interpretasi “bukan semua orang, tetapi sebagian. Dengan demikian kata “siapa”
dalam ayat “Barang siapa yang memakan harta anak yatim piatu dengan cara tidak
adil, maka sesungguhnya ia menelan api masuk ke perutnya” mengandung arti bukan
seluruh tapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain yang
diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang tapi sebagian orang yang
memakan harta anak yatim piatu. Yang sebagian akan terlepas dari ancaman atas
dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah Asy’ariyah
mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.
Bagi kaum Asy’ariyah paham
ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban terhadap
Tuhan. Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman
yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits.
Tetapi disini timbul
persoalan bagi kaum Asy’ariyah, karena dalam al-Quran telah dikatakan dengan
tagas bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat
jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab man, allazna dan
sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh Asy’ariyah sendiri diberi
interpretasi “bukan semua orang, tetapi sebagian. Dengan demikian kata “siapa”
dalam ayat “Barang siapa yang memakan harta anak yatim piatu dengan cara tidak
adil, maka sesungguhnya ia menelan api masuk ke perutnya” mengandung arti bukan
seluruh tapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain yang diancam
akan mendapat hukuman bukan semua orang tapi sebagian orang yang memakan harta
anak yatim piatu. Yang sebagian akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah Asy’ariyah mengatasi
persoalan wajibnya Tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad, Mohammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV
Pustaka Media. 1998.
Rozak, Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: CV
Pustaka Media. 2011.
Sarjoni, ILMU
KALAM “Perbandingan Antar Aliran : Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia”,
JAKARTA 11/12/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar