فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا
أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: seorangpun tidak mengetahui
apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan. (As-Sajadah:17)
Muqaddimah
Akidah bagi setiap muslim merupakan salah
satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini. Dalam al-Qur’an akidah disebut
dengan al-Iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-Amal (perbuatan
baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran
Islam.
Dasar-dasar akidah Islam telah dijelaskan
Nabi Muhammad Saw melalui pewahyuan al-Qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat
manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah Saw telah meyakini dan
menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran
rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah
secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara
harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan
(al-Qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia
sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan
pendapat masing-masing.
1.Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah muncul ketika ada seorang tabi’in yang datang kepada
kelompok Hasan al-Bashri yang menanyakan tentang hakikat orang yang berdosa besar, Ketika Hasan Al
Basri masih berfikir, Watsil bin Atho mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan
mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan lah mukmin
dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin
dan tidak pula kafir. ”Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan Al
Basri, lalu ia pergi ke tempat lain di mesjid, disana ia mengulangi pendapatnya
kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al Basri mengatakan: ” Watsil bin Atho
menjauhkan diri dari dari kita (i’tazala’ anna).” Dengan demikian ia
serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak
Rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang
dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan
perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan
perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di
dalam al-Qur’an pun jelas dikatakan
bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah
untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat al-Anbiyaa (21):23 dan surat ar-Rum (30) : 8.
Qadi Abd al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa
ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha
suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia
menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat
baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat
yang kedua, menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa
Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk,
pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak,
tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Aliran
Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya
yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah
atau free wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga
berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat
terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah
mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.
Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang
menentukannya.
Aliran
Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan
sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Perbuatan Tuhan Menurut Mu’tazilah ?
Sebagai sosok pencipta, Tuhan melaksanakan segala kehendaknya , Tuhan pasti
melakukan berbagai perbuatan, perbuatan Tuhan telah dijelaskan oleh berbagai
golongan tertentu didalam islam. Diantara perbuatan tuhan menurut Mu’tazilah
1.Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap
Manusia
Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan mutlak dan
keadilan Tuhan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuham mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu
kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik
bagi manusia.
Dalam paham ini termasuklah kewajiban-kewajban seperti
kewajiban Tuhan menepati janji-janjinya, kewajiban Tuhan mengirim Rasul untuk
memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rezeki kepada manusia
dan sebagainya. Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu timbul
sebagai akibat dari konsep kaum Mu’tazilah
tentang keadilan Tuhan dan adanya batasan-batasan kehendak mutlak Tuhan. Bahwa
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu dibatasi oleh sifat keadilan Tuhan
sendiri. Karena itu Tuhan tidak bisa lagi berbuat menurut kehendaknya sendiri
menyalahi prinsip keadilan yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Tuhan
sudah terikat pada janji-janjidan nilai-nilah keadilan, Tuhan melanggarnya,
maka Tuhan dianggap tidak bersifat adil.
2.Berbuat baik dan Terbaik
Dalam kalangan Mu’tazilah
dikenal satu paham ilmu kalam yang mereka sebut dengan al-shalah atau berbuat
baik dan terbik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan
yang sangat penting bagi kaum Mu’tazilah.
Menurut paham Mu’tazilah, demi untuk keadilan, maka
Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik untuk kepentingan manusia. Keadilan erat sekali hubungannya dengan hak. Sebab adil itu berarti
memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Disamping itu menurut kaum
Mu’tazilah, keadilan itu harus dapat diterima secara rasional. Tuhan memberikan
pahala kepada seseorang sesuai dengan kebaikan yang dilakukannya, dan menghukum
seseorang sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, itu termasuk keadilan yang
sesuai dengan pemikiran yang rasional. Karena itu Abdul Jabbar mengatakan:
Kata-kata Tuhan tidak adil, mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah
buruk, dan Tuhan tidak mungkin mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap
manusia.
Dalil yang dijadikan penguat
argument-argumen yang ada diantaranya:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ
الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
Artinya :
yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. (As-Sajadah:7)
Menurut Abd
Jabbar, ayat ini mengandung dua arti. Pertama: ahsana berarti ”berbuat baik” dan
dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan kebajikan kepada manusia, dan
ini tidak mungkin, karena diantara perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang merupakan
kebajikan, seperti siksaan yang diberikan Tuhan adalah baik. Dengan demikian
perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara
perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.
Juga dimajukan ayat-ayat
yang mengatakan bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya seperti:
فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ
أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya :
seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajadah:17)
Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan
bukan perbuatan manusia, pemberian balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia,
seperti disebutkan dalam ayat ini,tidak ada artinya. Agar ayat ini tidak
mengandung dusta, demikian Abd Jabbar mengatakan, perbuatan-perbuatan manusia
haruslah benar-benar berbuatan manusia.
3.Sifat-sifat
Tuhan
Mu’tazilah yang memahami dan
membahas persoalan ini dengan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Mereka berargumen jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mesti kekal seperti
halnya dengan dzat Tuhan. Namun jika demikian maka yang bersifat kekal bukanlah
satu lagi, tetapi banyak. Jika Tuhan itu mempunyai sifat-sifat maka akan
menyebabkan paham banyak yang kekal (Ta’aduddul qudama) yang
selanjutnya menyebabkan sifat syirik atau polytheisme sebagai sesuatu yang
tidak mendapat tempat di dalam teologi islam.
Jadi menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain.apa yang
dipandang sebagai sifat dalam pendapat golongan, bagi Mu’tazailah tidak lain
adalah dzat allah sendiri.
Untuk menyucikan keesaan
Tuhan, golongan Mu’tazilah menafikan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara
demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut Tauhid
Wal ‘adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.
4.Pelaku Dosa
besar
Sedangkan Mu’tazilah berpendapat bahwa mereka yang
mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar ini tidak mukmin dan tidak juga
kafir, tetapi ia berada pada tingkatan yang ada
diantara keduanya. Namun demikian, apabila ia keluar dari dunia tanpa tanpa
bertaubat maka ia kekal di neraka.
5.Pengiriman
Rasul-rasul
Bagi kaum Mu’tazilah, yang
mempunyai kepercayaan, bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang
mendalam. Dengan akal manusia dapat mengetahui tentang adanya Tuhan, dan dengan
akal manusia dapat mengetahui tentang mana yang baik dan mana yang buruk, karena
itumenusia berkewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut kaum Mu’tazilah, pengiriman Rasul-rasul itu tidak begitu penting, sebab wahyu yang
dibawa oleh para Rasul itu hanya berfungsi untuk memperkuat atau menyempurnakan
apa-apa yang telh diketahui manusia oleh akalnya. Tanpa Rasul manusia dapat
mengetahui tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, termasuk
kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan. Orang yang tidak
mengetahui tentang hal-hal berarti tidak berterima kasih kepada Tuhan, dan akan
mendapat hukuman dari Tuhan.
Bagi kaum Asy’ariyah
pengiriman Rasul itu sangat penting, karena mereka banyak bergantung kepada
wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib, bahkan juga untuk mengetahui
hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniaan manusia. Bagi merekalah
seharusnya pengiriman Rasul-rasul mempunyai sifat wajib. Tetapi sebagaimana
telah disebutkan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pengiriman Rasul-rasul
kepada manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argument yang dimajukan kaum
Mu’tazilah untuk ini adalah keadaan akal tidak dapat mengetahui segala apa yang
harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena Tuhan
berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia, wajiblah bagi Tuhan mengirimkan
Rasul kepada umat manusia. Tanpa pengiriman Rasul, manusia tidak dapat
memperoleh hidup baik dan terbaik, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Argument inilah yang dipakai dalam Syarh al-Usulul Khamsah untuk menyongkong
pendapat mereka tentang sifat wajibnya pengiriman Rasul kepada umat manusia.
6.Janji dan
Ancaman
Dalam perbuatan-perbuatan
Tuhan termasuklah perbuatan mnepati janji dan menjalankan ancaman (al-wa’d
wa al-wa’id). Sebagamana diketahui, janji dan ancaman merupakan salah satu
dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan
dasar kedua, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil, jika ia tidak
menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan jika
tidak menjalankan ancaman untuk memberikan hukuman kepada orang yang berbuat
jahat. Juga, menurut Abd al-Jabbar, hal ini akan membuat Tuhan mempunyai sifat
berdusta. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan
ancaman, bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu
menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
PERBUATAN MANUSIA ?
Masalah
perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh
kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari
permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta
alam semesta, termasuk di dalamnya manusia
sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Maka di sini timbullah
pertanyaan, sampai di manakah manusia
sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam
menentukan perjalanan hidup?, dan apakah manusia
terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai
daya yang besar dan bebas. Oleh
karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh
Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan
tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada
diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan
dalam perbuatan manusia.
Aliran
Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua
daya yang menentukannya.
Aliran
Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan
sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Rozak,
Abdul,. Ilmu Kalam, (Cet. II;
Bandung: Pustaka Setia, 2006)
2.Sarjoni,
ILMU KALAM “Perbandingan Antar Aliran :
Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia”,
(Online) 2010. (http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/.,
diakses tanggal 19 April 2010)
3.Ahmad, Mohammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV
Pustaka Media. 1998.
Rozak, Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: CV
Pustaka Media. 2011.
http://hadirukiyah.blogspot.com/2010/07/perbuatan-manusia-menurut-aliran.html
http://romipermadi.blogspot.com/2011/04/perbuatan-manusia-menurut-beberapa.html
Jakarta 11/12/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar