ISLAM DAN PEMIMPIN Mensejahterakan ?
الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“ (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi
niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf
dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.”(al-Haj:41)
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah
memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan
pasti allah mengharamkan baginya surga. (buchary, muslim)
Muqaddimah
Pada zaman sekarang semakin ramai orang
berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya
sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip
ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah
(meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.
Jabatan baik formal maupun informal di negeri
kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik
langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan,
kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran
menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan
sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan
politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai
kepada artis.
Islam adalah agama yang kompleks dan komprehensif dalam segala hal. Tak
terkecuali masalah politik dan kepemimpinan, tentunya hal besar ini tidak luput
dari perhatian Islam. Kendatipun ada segelintir kaum minoritas yang
memisahkan antara agama dan Negara. Hal itu lumrah. Karena sunnah hidup melahirkan
adanya perbedaan.
Dalam Islam masalah kepemimpinan dianggap masalah yang sangat penting
sehingga para ulama membahas dengan mendetil dalam berbagai kitab Fiqh
Siyasah.
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah
swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab
kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk
memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi
kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri,
bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin
sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan
kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda:
"Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan
dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap
yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada
beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami
jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab
Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu
jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H.
R. Bukhari Muslim).
Kriteria
pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan
Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh
seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam
empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
(1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan
bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah,
yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa
yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih
lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan,
cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi
persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian
secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya
(akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan)
dan melindungi (kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat
yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ
(21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami
jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah
(32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang
pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang
pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat
adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan
kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21):
73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut
tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan.
Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi
hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya
di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi
(sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali
merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali
menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S.
Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan
zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan)
apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul
dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.
Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut
sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip
Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama,
memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan
dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia
(akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif
dalam mengatur urusan-urusan duniawi.
Sikap rakyat
terhadap pemimpin
Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai
pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat.
Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus
mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak
membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin)
sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya,
maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".
Di lain pihak pemimpin dituntut untuk
memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya
para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya
serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami
tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q.
S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat
mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum
mukmin.
7.Hadits Tentang Pemimpin dan
Penjelasanya
Hadis ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah Tanggung
jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah
saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban
atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban
perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga
yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan
ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja
rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya
dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta
pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika
kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok
dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi
ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul
tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami
bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada
anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang
atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati,
gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata
bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan
dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud
tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri
secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat
pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh
binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk
mensejahterakan binatang gembalanya.
Tapi cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan
manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama
dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada
manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya
sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya,
pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia
adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau
denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau
menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah
tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang
tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi
serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari
makna tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan
memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu
provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu
pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya
sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk
mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden
tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab
seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada
rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman
dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar
kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
Hadis ke 2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu
rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah
memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan
pasti allah mengharamkan baginya surga. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam
sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa
fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan
lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran
orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan
berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan
pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen
yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya,
hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang
sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak
sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang
jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun
staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu pula
sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam
hadis ini adalah seorang pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik
kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan ini tentunya harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin
yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai
hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk
mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena
hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun
sebenarnya hukuman “haram masuk sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah
terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakayat. BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar