“Tahukah kamu orang yang mendustakan
agama itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang
miskin, maka celakalah bagi orang-orang yang sholeh yaitu orang-orang yang
lalai dari sholatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan
barang berguna”.(QS. Al-Ma’un ayat 1-7)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (Q.S. An Nisaa’, 4:10)
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku
sewenang-wenang”(QS. ad-Dhuha: 9)
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa…”. (Q.S. Al An’aam, 6:152)
“Barangsiapa mengambil anak yatim dari kalangan
Muslimin, dan memberinya makan dan minum, Allah akan memasukkannya ke surga,
kecuali bila ia berbuat dosa besar yang tidak terampuni.( HR. Turmudzi)
“Aku dan pemelihara anak yatim di
surga seperti ini (dan beliau memberi isyarat dengan telunjuk dan jari
tengahnya, lalu membukanya (HR. Bukhari,
Turmudzi, Abu Daud)
Muqaddimah
DALAM al-Quran sebanyak 23 kali disebut perkataan
‘yatim’ dan penggunaan kata-kata yatim itu merujuk kepada kemiskinan dan
kepapaan. Artinya mereka yang berada dalam golongan yatim (anak yatim)
memerlukan perhatian dan pembelaan serta tanggung jawab dari kita semua /
masyarakat agar mereka bisa belajar dengan tenang, hidup layak dan bisa
bergembira seperti anak-anak lain yang mempunyai ayah atau ibu.
Begitu banyak ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan tentang
tanggung jawab kita / masyarakat agar memperhatikan dan memelihara anak yatim
dari segi kejiwaan serta sosial kemasyarakatannya, dan kita dilarang untuk
merendahkan, serta menghina kondisi mereka. Tetapi realitanya sudah berapa
persen dari umat muslim yang mau peduli mengambil tanggung jawab sebagai
orang tua dari sekian banyak anak yatim dan anak terlantar.
Demi yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan
menyiksa orang yang mengasihi dan menyayangi anak yatim, berbicara kepadanya
dengan lembut dan mengasihi keyatiman serta kelemahannya, dan tidak bersikap
angkuh dengan apa yang Allah anugerahkan kepadanya terhadap tetangganya. Demi
yang mengutus aku dengan hak, Allah tidak akan menerima sedekah seorang yang
mempunyai kerabat keluarga yang membutuhkan santunannya sedang sedekah itu
diberikan kepada orang lain. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, ketahuilah,
Allah tidak akan memandangnya (memperhatikannya) kelak pada hari kiamat.(HR. Ath-Thabrani)
Anak Yatim Bersama Rasulullah saw
Siang itu, di salah satu sudut Kota Madinah, sejumlah anak sedang asyik bermain. Semuanya mengenakan pakaian baru dan sangat gembira. Hari itu bertepatan dengan Idul Fitri. Di belakangnya, seorang anak tampak bersedih.
Seorang lelaki dengan penuh saksama memerhatikan mereka, tak terkecuali anak yang bersedih itu. Lelaki ini pun mendekatinya, kemudian bertanya, “Wahai ananda, mengapa engkau tak bermain seperti teman-temanmu yang lainnya?”
Dengan berurai air mata, ia menjawab, “Wahai tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru, dan saya tak punya siapa-siapa untuk membeli pakaian baru.”
Lelaki ini kembali bertanya, “Kemanakah orang tuamu?” Anak kecil ini menuturkan ayahnya telah syahid karena ikut berperang bersama Rasulullah. Sedangkan ibunya menikah lagi, sedangkan semua harta ayahnya dibawa serta, dan ayah tirinya telah mengusirnya dari rumah.
Lelaki ini pun kemudian memeluk dan membelainya. “Wahai ananda, mau engkau kalau saya menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah jadi saudarimu?”
Anak kecil itu pun tampak sangat gembira. Lelaki itu lalu membawa anak itu ke rumahnya, dan memberikan pakaian yang layak untuknya.
Beberapa saat kemudian, anak itu kembali menemui teman-temannya. Ia tampak sangat bahagia dengan pakaian yang lebih baru. Menyaksikan hal itu, teman-teman sebaya heran dan bertanya-tanya. “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi sekarang aku bahagia, karena Rasulullah SAW menjadi ayahku. Aisyah ibuku, Ali adalah pamanku dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia,” ujarnya.
Setelah mendengarkan perubahan itu, giliran teman-temannya yang bersedih. Mereka iri dengan anak itu, karena kini lelaki yang membawanya telah menjadi orang tua asuhnya yang tak lain adalah Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah SAW wafat, anak itu kembali menangis dan bersimpuh di atas pusara Rasul SAW dengan berlinang air mata. “Ya Allah, hari ini aku menjadi yatim yang sebenarnya. Ayahku yang sangat mencintaiku sudah tiada. Apakah aku harus hidup sebatangkara lagi?”
Mendengar hal itu, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq menghampirinya sambil membujuk dan memeluknya. “Akulah yang akan menjadi pengganti ayahmu yang sudah tiada.” (Diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA).
Siang itu, di salah satu sudut Kota Madinah, sejumlah anak sedang asyik bermain. Semuanya mengenakan pakaian baru dan sangat gembira. Hari itu bertepatan dengan Idul Fitri. Di belakangnya, seorang anak tampak bersedih.
Seorang lelaki dengan penuh saksama memerhatikan mereka, tak terkecuali anak yang bersedih itu. Lelaki ini pun mendekatinya, kemudian bertanya, “Wahai ananda, mengapa engkau tak bermain seperti teman-temanmu yang lainnya?”
Dengan berurai air mata, ia menjawab, “Wahai tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru, dan saya tak punya siapa-siapa untuk membeli pakaian baru.”
Lelaki ini kembali bertanya, “Kemanakah orang tuamu?” Anak kecil ini menuturkan ayahnya telah syahid karena ikut berperang bersama Rasulullah. Sedangkan ibunya menikah lagi, sedangkan semua harta ayahnya dibawa serta, dan ayah tirinya telah mengusirnya dari rumah.
Lelaki ini pun kemudian memeluk dan membelainya. “Wahai ananda, mau engkau kalau saya menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah jadi saudarimu?”
Anak kecil itu pun tampak sangat gembira. Lelaki itu lalu membawa anak itu ke rumahnya, dan memberikan pakaian yang layak untuknya.
Beberapa saat kemudian, anak itu kembali menemui teman-temannya. Ia tampak sangat bahagia dengan pakaian yang lebih baru. Menyaksikan hal itu, teman-teman sebaya heran dan bertanya-tanya. “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi sekarang aku bahagia, karena Rasulullah SAW menjadi ayahku. Aisyah ibuku, Ali adalah pamanku dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia,” ujarnya.
Setelah mendengarkan perubahan itu, giliran teman-temannya yang bersedih. Mereka iri dengan anak itu, karena kini lelaki yang membawanya telah menjadi orang tua asuhnya yang tak lain adalah Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah SAW wafat, anak itu kembali menangis dan bersimpuh di atas pusara Rasul SAW dengan berlinang air mata. “Ya Allah, hari ini aku menjadi yatim yang sebenarnya. Ayahku yang sangat mencintaiku sudah tiada. Apakah aku harus hidup sebatangkara lagi?”
Mendengar hal itu, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq menghampirinya sambil membujuk dan memeluknya. “Akulah yang akan menjadi pengganti ayahmu yang sudah tiada.” (Diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA).
Perhatian Islam Terhadap Anak Yatim
1.”Bila engkau ingin agar hati menjadi lembut dan
damai serta mencapai yang diinginkan, sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya,
dan berilah dia makanan seperti yang engkau makan. Bila itu engkau lakukan,
niscaya hatimu akan menjadi tenang serta menjadi lembut…” (HR.Thabrani).
2.“Sebaik-baik rumah kaum Muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya
anak yatim yang diperlakukan dengan baik. Dan seburuk-buruk rumah kaum Muslimin
ialah rumah yang didalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlkukan
dengan huruk”. (HR Ibnu Majah)
3.“Sesungguhnya, seorang laki-laki mengeluh kepada
Nabi s.a.w., karena hatinya yang keras. Nabi s.a.w. berkata: -‘Usaplah kepala
yatim, dan berilah makan orang miskin’. (HR. Ahmad)
4.Barangsiapa meletakan tangannya di atas kepala anak
yatim dengan penuh kasih sayang, maka Allah akan menuliskan kebaikan pada
setiap lembar rambut yang disentuh tangannya. (HR.Ahmad, Ath-Thabrani, Ibnu Hibban, Ibnu Abi
Aufa)
5.Aku
dan seorang wanita yang pipinya kempot dan wajahnya pucat bersama-sama pada
hari kiamat seperti ini (Nabi Saw menunjuk jari telunjuk dan jari tengah).
Wanita itu ditinggal wafat suaminya dan tidak mau kawin lagi. Dia seorang yang
berkedudukan terhormat dan cantik namun dia mengurung dirinya untuk menekuni
asuhan anak-anaknya yang yatim sampai mereka kawin (berkeluarga dan berumah
tangga) atau mereka wafat. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
5.Aku dan
pengasuh anak yatim (kelak) di surga seperti dua jari ini. (HR. Bukhari)
Perhatian Yayasan atau Lembaga
terhadap Anak Yatim
REPUBLIKA.CO.ID, “Aku dan pengasuh anak yatim kelak
berada di surga.” (HR Bukhari)”
Demikianlah sabda Rasulullah SAW mengapresiasi para pengasuh yatim. Karena, sesungguhnya yatim itu, kata Pembina Pesantren Motivasi Anak Yatim Ustaz Nurul Huda Haem, secara syar’i, kata yatim merujuk pada anak yang tidak memiliki ayah sedangkan piatu adalah anak yang ditinggalkan oleh ibunya. “Sayangi mereka layaknya menyayangi anak kandung sendiri,” katanya.
Demikianlah sabda Rasulullah SAW mengapresiasi para pengasuh yatim. Karena, sesungguhnya yatim itu, kata Pembina Pesantren Motivasi Anak Yatim Ustaz Nurul Huda Haem, secara syar’i, kata yatim merujuk pada anak yang tidak memiliki ayah sedangkan piatu adalah anak yang ditinggalkan oleh ibunya. “Sayangi mereka layaknya menyayangi anak kandung sendiri,” katanya.
Karena itu, Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Ustaz
Ahmad Satori Ismail mengatakan, memuliakan anak yatim tidak bergantung pada
waktu. Tetapi, sepanjang hari dan sepanjang waktu. Menyayangi anak yatim
diartikan tidak hanya dengan mengelus kepala anak yatim. Tetapi, juga
menyayangi dengan memberikan kebutuhannya.
Ia menilai, pemberian santuan merupakan hal yang paling ringan untuk diberikan kepada anak yatim. Tetapi, tidak cukup dengan itu. Curahkan pula kasih sayang kepada mereka. “Seperti anak sendiri,” ujarnya.
Guru besar Ilmu Komunikasi dan Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, tak sedikit Muslim atau lembaga dan yayasan yang dapat memelihara mereka. Tetapi, lembaga dan yayasan tersebut harus mampu mengelola santunan agar segala kebutuhan anak yatim terpenuhi.
Satori menegaskan, yang terpenting adalah mendampingi mereka agar kejiwaan mereka normal, sempurna, dan tidak minder seperti anak pada umumnya. Begitu juga dengan masa depannya agar terjamin.
Ia mengingatkan anak yatim harus mendapatkan bekal keahlian dan ilmu yang sama sehingga mampu memiliki masa depan yang cerah. Berbahagialah para pengasuh yatim. Allah menjanjikan surga dan menyediakan kemudahan di dunia.
Ia menilai, pemberian santuan merupakan hal yang paling ringan untuk diberikan kepada anak yatim. Tetapi, tidak cukup dengan itu. Curahkan pula kasih sayang kepada mereka. “Seperti anak sendiri,” ujarnya.
Guru besar Ilmu Komunikasi dan Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, tak sedikit Muslim atau lembaga dan yayasan yang dapat memelihara mereka. Tetapi, lembaga dan yayasan tersebut harus mampu mengelola santunan agar segala kebutuhan anak yatim terpenuhi.
Satori menegaskan, yang terpenting adalah mendampingi mereka agar kejiwaan mereka normal, sempurna, dan tidak minder seperti anak pada umumnya. Begitu juga dengan masa depannya agar terjamin.
Ia mengingatkan anak yatim harus mendapatkan bekal keahlian dan ilmu yang sama sehingga mampu memiliki masa depan yang cerah. Berbahagialah para pengasuh yatim. Allah menjanjikan surga dan menyediakan kemudahan di dunia.
Jakarta
22/12/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar