وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِين
“Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-’aalamiin
(Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam).” (QS Al Anbiya’ : 107).
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (QS. Al Ma’idah : 2).
Muqaddimah
Dalam ayat itu, “rahmatan
lil-’alamin” secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, Allah tidaklah menjadikan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rasul, kecuali karena kerasulan beliau
menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan Allah kepada
semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada
yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima
rahmat tersebut tidak sempurna.
Sesuai Al Qur’an Surat Al Anbiya: 107, Islam yang dibawah Rasulullah adalah
rahmat bagi semesta alam. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Sebagian oknum liberalis mengartikan bahwa
rahmat bagi seluruh alam ini berarti bahwa orang-orang Islam harus bersikap
lemah lembut, bermanis muka, berkasih sayang terhadap semua orang tanpa
kecuali, termasuk kepada orang-orang kafir, ahli bid’ah dan semua musuh agama.
Bahkan lebih jauh rahmat terhadap seluruh alam itu diarahkan artinya sebagai
sikap toleransi (baca: lembek) terhadap setiap kemungkaran, kekafiran dan
kesyirikan yang terjadi di sekitar kita.
Apakah benar jika rahmat diartikan hanya dengan sikap lemah lembut dan lembek seperti itu.
Mari kita tanyakan kepada Ibnu Abbas, shahabat Nabi yang mendapat julukan turjumanulqur`an (penerjemah al-Qur`an) [1] yang tentunya lebih berhak untuk didengar pendapatnya dari pada seluruh manusia yang hidup saat ini. Ibnu Abbas mengatakan mengenai tafsir ayat ini yang kurang lebih artinya bahwa siapa saja yang beriman pada Alloh dan hari akhir, rahmat akan dilimpahkan padanya di dunia dan akhirat, sementara bagi orang yang tidak beriman pada Alloh dan Rasul-Nya, maka tidak akan diguncangkan dengan gempa bumi atau dilempari batu sebagaimana umat-umat (yang kafir) dari bangsa-bangsa terdahulu (silakan dicek di tafsir Ibnu Katsir)
Ternyata rahmat yang dimaksud dalam ayat tersebut dibedakan antara rahmat kepada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Bagi yang beriman rahmat diberikan di dunia dan akhirat sementara untuk yang tidak beriman rahmat hanya diberikan di dunia dan itu pun hanya dalam bentuk tidak diazab sebagaimana azab umat terdahulu.
Apakah benar jika rahmat diartikan hanya dengan sikap lemah lembut dan lembek seperti itu.
Mari kita tanyakan kepada Ibnu Abbas, shahabat Nabi yang mendapat julukan turjumanulqur`an (penerjemah al-Qur`an) [1] yang tentunya lebih berhak untuk didengar pendapatnya dari pada seluruh manusia yang hidup saat ini. Ibnu Abbas mengatakan mengenai tafsir ayat ini yang kurang lebih artinya bahwa siapa saja yang beriman pada Alloh dan hari akhir, rahmat akan dilimpahkan padanya di dunia dan akhirat, sementara bagi orang yang tidak beriman pada Alloh dan Rasul-Nya, maka tidak akan diguncangkan dengan gempa bumi atau dilempari batu sebagaimana umat-umat (yang kafir) dari bangsa-bangsa terdahulu (silakan dicek di tafsir Ibnu Katsir)
Ternyata rahmat yang dimaksud dalam ayat tersebut dibedakan antara rahmat kepada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Bagi yang beriman rahmat diberikan di dunia dan akhirat sementara untuk yang tidak beriman rahmat hanya diberikan di dunia dan itu pun hanya dalam bentuk tidak diazab sebagaimana azab umat terdahulu.
Rahmatan Menurut Para Pakar Tafsir ?
Ibnu Katsir pun ketika menjelaskan mengenai ayat ini membawakan ayat Al Fusshilat 44: Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh”. Ayat tersebut juga memberi dua perspektif mengenai untuk apa Alloh menurunkan risalah berupa Nabi dan Al Qur’an, yaitu sebagai petunjuk, penawar (yaitu segala yang baik, lembut, indah) bagi orang yang beriman dan kegelapan (yaitu segala yang menyeramkan, ancaman) bagi orang yang tidak beriman.
Di ayat lain Al Qur’an pun bisa kita temui dua sisi ini misalnya.
Al Kahfi 56 Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan;
Saba 28 Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Al Furqon 1 Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,
Al Baqoroh 119 Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.
Al A’raaf 188 Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".
Al Isro 105 Dan Kami turunkan (Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Al Fath 8 Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
Semua ayat di atas menunjukkan adanya sisi basyiran (Risalah sebagai pemberi kabar gembira) bagi orang yang beriman kepada Alloh, hari akhir, kitab-Nya, Rasul-Nya. Sekaligus menunjukkan adanya sisi nadziron (Risalah sebagai pembawa peringatan atau ancaman) bagi orang yang tidak beriman.
Ibnu Katsir pun ketika menjelaskan mengenai ayat ini membawakan ayat Al Fusshilat 44: Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh”. Ayat tersebut juga memberi dua perspektif mengenai untuk apa Alloh menurunkan risalah berupa Nabi dan Al Qur’an, yaitu sebagai petunjuk, penawar (yaitu segala yang baik, lembut, indah) bagi orang yang beriman dan kegelapan (yaitu segala yang menyeramkan, ancaman) bagi orang yang tidak beriman.
Di ayat lain Al Qur’an pun bisa kita temui dua sisi ini misalnya.
Al Kahfi 56 Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan;
Saba 28 Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.
Al Furqon 1 Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,
Al Baqoroh 119 Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.
Al A’raaf 188 Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".
Al Isro 105 Dan Kami turunkan (Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Al Fath 8 Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
Semua ayat di atas menunjukkan adanya sisi basyiran (Risalah sebagai pemberi kabar gembira) bagi orang yang beriman kepada Alloh, hari akhir, kitab-Nya, Rasul-Nya. Sekaligus menunjukkan adanya sisi nadziron (Risalah sebagai pembawa peringatan atau ancaman) bagi orang yang tidak beriman.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi Salallahu
‘Alaihi Wa Sallam, pakar dalam Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang
beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan memperoleh rahmat
Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan diselamatkan dari azab
yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti
dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.”
Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh Al
Hafizh Jalaluddin Al Suyuthi dalam tafsirnya, AlDurr Al Mantsur.
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu,
wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syari’at, melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi
pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai
Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan
membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’”.
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat
ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh
manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli
tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun
kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam
menafsirkan ayat ini:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunya dan di akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa ummat terdahulu, seperti mereka semua ditenggelamkan atau diterpa gelombang besar”.
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunya dan di akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa ummat terdahulu, seperti mereka semua ditenggelamkan atau diterpa gelombang besar”.
Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi:
Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau
berkata:
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa ummat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa ummat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
Tafsir Islam Rahmatan Lil Alamin ?
Berdasarkan penafsiran para ‘ulama ahli tafsir yang
terpercaya, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah!:
1] Diutusnya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang
Allah kepada seluruh manusia.
2] Seluruh manusia di muka
bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
3] Hukum-hukum syari’at dan
aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada
makhluk-Nya.
4] Seluruh manusia mendapat
manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
5] Rahmat yang sempurna
hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
6] Seluruh manusia mendapat
manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
7] Orang yang beriman kepada
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam,
membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di
dunya dan di akhirat.
8] Orang kafir yang
memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena
kehidupan mereka didunya lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka
di akhirat kelak.
9] Orang kafir yang terikat
perjanjian dengan kaum muslimin juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Yaitu dengan dilarangnya membunuh dan
merampas harta mereka.
10] Secara umum, orang kafir
mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
berupa dihindari dari azab yang menimpa ummat-ummat terdahulu yang menentang
Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam,
tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan cara ditenggelamkan seluruhnya
atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau diubah menjadi binatang
seluruhnya.
11] Orang munafik yang
mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat
berupa terjaganya darah; harta; keluarga; dan kehormatan mereka. Mereka pun
diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum
yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka
Jahannam.
12] Pengutusan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan
pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah
kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada
selain Allah.
13] Sebagian ‘ulama
berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir namun
mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
14] Sebagain ‘ulama
berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan kepada orang mu’min.
Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang
menegaskan bahwa rahmatan lil-’alamin telah menjadi karakteristik Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam dakwahnya. Ketika sebagian sahabat
mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik,
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai
pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR.
Muslim).
Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter
rahmatan lil-’alamin memiliki keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam kitab-kitab Tafsir, tidak ditemukan
keterkaitan makna rahmatan lil-’alamin dengan sikap toleransi
yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini berangkat dari kenyataan
bahwa rahmatan lil-’alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni penyampaian ajaran Islam kepada umatnya.
Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan
pesan Islam rahmatan lil-’alamin tidak boleh menghilangkan
misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri. Misalnya, memberikan khotbah
dalam acara kebaktian agama lain, menjaga keamanan tempat ibadah agama lain dan
acara ritual agama lain, atau doa bersama lintas agama dengan alasan itu adalah
“Islam rahmatan lil-’alamin”. Kegiatan-kegiatan semacam itu justru
mengaburkan makna rahmatan lil-’alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah
Islam.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan
lil-’alamin, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus juga bertugas
sebagai basyiiran wa nadziiran lil-’aalamiin (pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam).
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al
Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam.” (QS. Al Furqan : 1).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (QS. Saba’ : 28).
Penafsiran yang salah !
1] Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada
orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan
menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar,
dengan berdalil dengan ayat:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (Qs Al-Anbiya': 107).
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (Qs Al-Anbiya': 107).
Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah
Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun
bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada
mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat
bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa ummat
terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari
penjelasan shahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.
2] Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang
meninggalkan sholat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka
aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan
enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung
hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam itu ‘kan ‘Rahmatan Lil
‘Alamin’, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh!!!.
Padahal bukanlah demikian tafsir surah Al-Anbiya’ ayat
107 ini. Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan
kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya.
Sebagaimana dijelaskan Ath-Thabari dalam tafsirnya di atas: “Rahmat bagi
orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan
orang-orang beriman ke dalam jannah dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran
Allah!”.
3] Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan
berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap
bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus
ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman
kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam ‘Rahmatan Lil ‘Alamin’?”.
Sungguh aneh.
Menafsirkan rahmat dalam surat Al-Anbiya’ ayat 107
dengan kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum
muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang
menafsirkan demikian.
4] Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang
menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka
menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan
kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan
lil ‘alamin.
Renungkanlah perkataan Ash-Shabuni dalam menafsirkan rahmatan
lil ‘alamin: “Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan
kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan
hidayah kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang
dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia!”. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau
membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada
dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun
mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’!”. (Qs An-Nahl: 36).
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’!”. (Qs An-Nahl: 36).
: 31-32).
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa siapapun yang menerima rahmat risalah Muhammad dan bersyukur atas karunia dari Alloh ini, maka akan bahagia di dunia dan di akhirat. Tapi siapa yang kafir terhadap rahmat risalah kenabian Muhammad maka akan rugi dunia dan akhirat.Wallahu a’lam.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa siapapun yang menerima rahmat risalah Muhammad dan bersyukur atas karunia dari Alloh ini, maka akan bahagia di dunia dan di akhirat. Tapi siapa yang kafir terhadap rahmat risalah kenabian Muhammad maka akan rugi dunia dan akhirat.Wallahu a’lam.
Jakarta 5/12/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar