KAIDAH-KAIDAH
TAFSIR AL-QUR'AN
A.
Pengertian
Kaidah-kaidah Penafsiran Al Qur’an
Kaidah-kaidah
tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah yang
berarti undang-undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan dengan
undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua
yang partikular. Adapun kata tafsir
secara bahasa berasal dari kata fassara,
yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan. Secara istilah tafsir dapat
diartikan sebagai alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk
al-Qur’an. Atau pedoman dasar yang
digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk
al-Qur’an.
Menurut Qurais Shihab komponen kaidah-kaidah
penafsiran Al Qur’an mencakup:
1. Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran
2. Sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran
3. Patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik
dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik
langsung dari penggunaan Al-Quran.
Para ahli tafsir berbeda pandangan
dalam hal menentukan kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an. Berikut akan
dipaparkan dua orang ulama yang merumuskan kaidah tafsir. Abd ar-Rahman ibn
Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an
mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan
secara umum seperti hukum dan tauhid.Beberapa kaidah pokok diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Kaidah yang terkait dengan kebahasaan
2. Kaidah yang terkait dengan hukum
3. Kaidah yang berhubungan dengan tauhid
4. Kaidah yang berhubungan dengan pedoman hidup
Muhammad ibn Alawi Al-Maliki Al-Hasani
misalnya, berpandangan bahwa oleh karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab
yang jelas, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yusuf (10) : 2,“ sesungguhnya
kami menurunkannya berupa al-qur’an dengan bahasa arab, agar kamu memahami “. Maka kaidah-kaidah yang diperlukan para
mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman
azas-azasnya, penghayatan terhadap redaksinya dan pengetahuan akan
rahasia-rahasia yang dikandungnya.
B.
Macam-macam
kaidah-kaidah penafsiran Al Qur'an
1.
Kaidah
Dasar
a.
Kaidah
Al Qur’an
1) Kaidah Quraniyah
ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran.
Hal ini didasarkan
atas pernyataan Al Quran bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna al-Quran
secara tepat hanyalah Allah. QS. Al Qiyamah (75) : 19, “Kemudian,
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”
Jika satu nas
menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain
menerapkan nas tersebut, sekalipun nas itu turun untuk menanggapi suatu
peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegangi oleh mayoritas ulama dengan
argumentasinya yang bervariatif. Misalnya
pada QS. AL Maidah (5) : 38 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Menurut riwayat ayat
ini turun untuk menanggapi suatu kasus pencurian perhiasan yang dilakukan
seorang perempuan bernama Tumah. Persoalan yang muncul dalam hal ini, lafaz
yang digunakan berbentuk isim mufrad yang dita’rifkan termasuk kategori lafaz
umum. Jumhur ulama’ menerapkan langsung
hukum tersebut tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul karena lafaz
tersebut berbentuk umum.
Selain pendapat
tersebut, ada ulama’ yang
memberikan analisis berbeda, yaitu
dengan mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang
melingkupinya, baik kualitas peristiwa, pelaku, tempat maupun waktunya.
Mekanisme pendapat kedua ini lebih banyak menggunakan metode qiyas, karena jika
seandainya yang dikehendaki lafaz umum, mengapa Allah masih menunggu
peristiwa-peristiwa tertentu.
2) Kandungan suatu ayat
yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukan bahwa hukum yang
terkandung berkaitan dengan nama yang mulia. Misalnya pada QS. Al Baqarah (2)
: 32 , mereka menjawab:“maha suci engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya engkaulah yang
maha mengetahui lagi maha bijaksana.” ayat tersebut merupakan dialog Tuhan
dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di
bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan mengatakan: “Apakah
Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat
kerusakan dan saling membunuh?”. QS. Al Baqarah (2) : 30. Untuk membuktikan kemahatahuan Tuhan, Dia
mengajar Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini
mengakui kemaha-tahuan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan
keterbatasannya.
3) Kaidah yang bertalian
dengan mutasyabihat dan muhkamat
a)
Dalam satu pengertian Al Quran semuanya muhkam, dalam
pengertian lain semuanya mutasyabih, tetapi pada pengertian lain lagi
sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih.
Maksud muhkam, ayat-ayatnya tidak ada
yang kontradiksi, semua perintahNya kembali kepada kebaikan manusia dan semua
laranganNya kembali kepada kejelekan.
Ungkapan yang menunjukkan semuanya muhkam diantaranya pada QS. Zumar
(39): 23, “Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)
lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya
seorang pemimpinpun. “
Argumen lain yang menyatakan semuanya
mutasyabih adalah seperti pada QS. Ali Imran (3) : 7: “Dia-lah yang
menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Mutasyabih dalam hal kebaikan dan
kejujuran, petunjuk dan kebenaran dan lain-lain. Di samping hal itu juga ada
anggapan sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih, sebagaimana dalam
penjelasan di dalam al-Quran.Misalnya ada ayat yang menjelaskan kekuasaan
Allah, sedangkan apa yang Dia kehendaki terjadi dan apa yang tidak dikehendaki
tidak terjadi, Allah juga memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki tetapi
juga menyesatkan kepada orang yang dikehendaki.
b)
Memahami mutasyabih itu harus setelah memahami ayat-ayat
muhkamat. Muhkamat adalah ummul kitab, sebagai sesuatu yang pokok,
sedangkan yang mutasyabih adalah sebagai cabang. Memahami yang pokok harus
terlebih dahulu dari pada memahami cabangnya. Dengan demikian jika menafsirkan
suatu ayat mutasyabih, maka terlebih dahulu harus mengetahui ayat yang muhkam
sehingga mendapat suatu pengertian yang kongkrit dan mendapat keyakinan yang
mendalam tanpa adanya keragu-raguan.
c)
Untuk memahami mutasyabih itu cara mentakwilkannya harus
dikembalikan pada muhkamnya. Apabila mufasir sudah mendapat suatu pengertian
yang positif dari ayat yang muhkam, maka ia harus menyelidiki dan membahas
ayat-ayat mutasyabih dengan berpedoman pada ayat-ayat muhkam.
b.
Kaidah
Sunnah
Berdasarkan
penjelasan yang ada dalam al-Quran 16:44 dan 64, Muhammad sebagai Rasul yang
datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka
Rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna al-Quran. Beliau tidak
menafsirkan menurut akal pikiran tetapi menurut wahyu ilahi. Dalam
hal ini, Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber
penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu al-Quran dan penafsiran
yang diturunkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Quran dan
kemudian dikenal dengan al-Sunnah.
Kaidah
yang dipergunakan di antaranya ialah:
1) Sunnah harus dipakai
sesuai dengan petunjuk al-Quran
Berdasarkan atas hadis Nabi sebagai
penjelas al-Quran, secara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan Al Quran sebagai materi yang dijelaskannya.
2) Menghimpun hadis yang
pokok bahasannya sama.
Hadis yang dimaksud dalam hal ini
adalah hadis yang sahih. Dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih
kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad dan
menkhususkan yang umum. Dengan demikian akan didapatkan suatu pemahaman yang
benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan, bahwa hadis berfungsi menafsirkan
Al Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan
makna yang belum terungkap dan lain sebagainya.
c.
Kaidah
Perkataan Sahabat
Mufassir tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut
pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis. Selanjutnya, apabila terdapat
penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat Al Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan
tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang
tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
d.
Kaidah
Perkataan Tabi’in
Keberadaan
perkataan tabiin dalam menafsirkan Al Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang
berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari
sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi,
seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
2.
Kaidah
Umum
Berikut ini adalah beberapa contoh
penerapan kaidah umum penafsiran Al Qur’an :
a.
Dlamir
(kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
1) Pada dasarnya
dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
2) Setiap dhamir
harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
3) Pada dasarnya
dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
b.
Penggunaan
isim ma’rifat dan isim Nakirah
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai
beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
1)
Ta’rif dengan ism dhamir berfungsi untuk
menunjukkan keadaan
2)
Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik
nama itu dalam hati
3)
pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas,
memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
4)
Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk)
berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11),
menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5),
menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan
memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang
ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang
disebutkan sesudah ism isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
5)
Ta’rif dengan ism mausul (kata ganti penghubung)
berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk
menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S.
29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
6) Ta’rif dengan
alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah
disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar
(Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada
saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala
karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S.
21:30).
c.
Pengulangan
Kata Benda (isim)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali
maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya
nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama
makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
1)
Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang
kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
2)
Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan
yang pertama (Q.S. 30:54)
3)
Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah
berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
4) Jika yang pertama
makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada
qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S.
39:27-28)
d.
Mufrad
dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang
berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya
adalah sebagai berikut:
1)
Kata al-rih/angin, dalam bentuk jamak berarti rahmat,
sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat
Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
2) Kata al nur/ cahaya dan sabil al-haq/jalan kebenaran selalu dalam
bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat/keburukan dan sabil al-bathil / jalan kesesatan selalu dalam
bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan
kebatilan sangat beragam.
e.
Mutaradif
(kata yang seolah-olah sama)
Dalam Al Qur’an banyak kata yang memiliki makna
yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata
tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk
dalam kaidah ini antara lain:
1) al-khauf dan al-khasyyah
yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa
takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang
mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa
takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang
ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
2) al-syuhh dan al bukhl
yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni
kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir
saja.
f.
Pertanyaan
dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai
dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang
dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya
ditanyakan.(Q.S. 2: 189)
3.
Kaidah
Khusus
a.
Masalah
Nalar dan Bukan Nalar
Wilayah bukan nalar meliputi
masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang termasuk
wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah pertama, apabila
nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena
sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua
menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat.
Dalam hal ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk
melakukan tafsir ulang terhadap teks Al Qur’an
b.
Qath’i dan Dzani
Pemikiran modernis menuntut adalah
pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i dalam Al Qur’an. Hal ini terkait dengan
perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas baru. Misalnya
angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat
dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya
pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatihul ghayb
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian
wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan
nalar dan wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berpengaruh
pada konsep syariat yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu
syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan
fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang
dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.
c.
Takwil
Perkembangan
ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan usangnya
makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya
adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama
klasik enggan untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era
modern, dengan adanya bukti empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks
tersebut harus diposisikan sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang
penggunaan takwil dalam penafsiran menjadi lebih terbuka.
C.
Penggunaan
kaidah-kaidah sederhana dalam menafsirkan al-Qur'an
1. Kaidah bersumber dari displin
ilmu tertentu seperti Ilmu Bahasa dan Ushul Fiqh.
Keragamam sumber itu menjadikan kaidah
dimaksud dapat diterapkan juga dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya
yang dari segi bahasa tentang fungsi-fungsi huruf wauw dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’. Demikian juga makna-makna yang dikandung oleh setiap kata, atau bentuk
kata itu seperti kala kini/mendatang (mudhâri’)
kala lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan
makna antara kalimat yang berbentuk verbal sentencedengan nominal sentence.
Seorang penafsir mestinya dapat menghayati,
misalnya mengapa Nabi Ibrahim as. menjawab para malaikat yang berkunjung ke
rumah beliau sambil berucap “salamă” lalu beliau menjawabanya dengan “salămun” (QS. Hud [11]: 69) dengan menghayati perbedaan yang dikemukakan
pakar-pakar bahasa antara bentuk kata salama, dan salămun yakni yang pertama mereka namai Jumlah Fi’liyah. Ucapan malaikat salam(an) berbentuk Jumlah Fi’liyah sehingga ia dipahami sebagai bermakna Kami mengucapkan salam
(Kata salam(an) di sini berkedudukan sebagai objek ucapan), sedang ucapan Nabi Ibrahim as
berbentuk Jumlah Ismiyah sehingga maknanya adalah keselamatan mantap dan terus menerus menyertai kalian. Demikian beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik.
Kaidah-kaidah Usuh Fiqh banyak sekali diadopsi
oleh Tafsir. Misalnya “Perintah pada dasarnya mengandung makna wajib, kecuali
jika ada yang mengalihkannya”. Di sini sangat diperlukan keluasan ilmu, agar
dapat menemukan dalil-dalil yang mengalihkannya itu. Demikian
juga kaidah yang berbunyi “Teks keagamaan yang memerintahkan sedang sebelumnya
ada larangan, maka perintah itu sekadar mengandung makna boleh dilakukan”.
2. Kaidah yang khusus
Kaidah khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum
melangkah masuk ke dalam penafsiran dan ini antara lain bersumber dari
pengamatan terhadap kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran
tentang perlunya mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan. Misalnya
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy, atau Muqaran. Demikian juga menyangkut sistematika penyusunan urutan
uraian, misalnya kapan uraian asbabun nuzûl didahulukan atas uraian tentang hubungan ayat dan kapan sebaliknya. Bagaimana
sikap terhadap sinonim yang terdapat dalam al-Qur’an apakah maknanya sama atau
berbeda. Demikian juga apakah dalam Al Qur’an ada kata atau huruf yang tidak
bermakna (zâidah) dan lain-lain.
3. Kaidah yang ditarik dari dan
bersumber langsung dari pengamatan terhadap al-Qur’an dan yang bisa jadi ia
tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin ilmu lain.
Kaidah kelompok ketiga ini cukup banyak.
Sebagai contoh kata Kami yang menunjuk Allah Tuhan Yang
Maha Esa. Penggunaan kata tersebut di samping bertujuan menunjukkan
keagungan-Nya juga dapat berarti adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas
yang ditunjuknya. Firman Allah إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
adalah Pemelihara(nya). (QS. al-Hijr [15]: 9). Ini karena yang membawa “turun” Al Qur’an
adalah malaikat Jibril as. atas perintah Allah dan yang mememeliharanya bersama
Allah antara lain adalah umat Islam.
Sedangkan kalau Allah menunjuk diri-Nya dengan
kata Aku, maka itu antara lain mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang
boleh /dapat terlibat di dalamnya, seperti firman-Nya dalam QS. Yâsîn [36]: 61وَأَنِ
اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan
yang lurus.Bisa juga kata Aku menunjukkan bahwa keterlibatan selainnya sedemikian sedikit/kecil
tidak berarti sehingga dinilai “tidak ada” seperti dalam firman-Nya ذَرْنِي
وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا Biarkanlah Aku (bertindak) terhadap orang yang Aku
telah menciptakannya sendirian (QS. al-Muddaststir [74]: 11).
Jakarta
12/8/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar