KAIDAH-KAIDAH ILMU AL-QUR’AN
Pendahuluan
Al-Qur’an
sebagai sumber yang asasi dan tertinggi bagi ajaran Islam meskipun diturunkan
dengan memakai bahasa Arab sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an itu sendiri
yang artinya “…sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang” namun
dalam menetapkan hukum, membuat perumpamaan, ataupun memberi pengajaran ia
memiliki uslub yang berbeda dengan uslub yang biasa dipakai oleh bangsa Arab.
Dia mempunyai corak dan bentuk tersendiri yang umumnya berbeda dengan yang
biasa dilafadzkan oleh orang Arab. Hal ini merupakan bukti bahwa Al-Qur’an
bukan dibuat oleh manusia (Muhammad) yang kemudian diperjelas oleh ayat yang
berbunyi :
“Dan jika kamu
(tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), maka datangkanlah (buatlah) satu surat (saja) yang semisal
Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar. (Qs. Al-Baqarah/2:23)
Al-Qur’an
adalah kalam Allah. yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada
Muhammad Saw. yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung
dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf.
Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah
meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam
segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan
berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap
al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit
dipahami.
Menurut bahasa,
Qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang
dimaksud Qawaid dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para
mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.Kaidah-kaidah yang diperlukan para
mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-uslubnya, pemahaman
asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah kebahasaan.
- A. Makiyyah dan Madaniyyah
- Ciri-ciri ayat Makiyah dan Madaniyah
Ditinjau dari
segi goegrafis turunnya al-Qur’an maka terdapat dua kelompok ayat yaitu
ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat yang turun di Mekah
disebut ayat Makiyah dan ayat-ayat yang turun di Madiniyah disebut ayat-ayat
Madaniyah.[1]
Para ulama
telah menyebut tanda-tanda wahyu Makiyyah dan Madaniyyah, diantaranya:
Pertama, semua surat yang di dalamnya “Ya ayyuhannasu’ dan tidak ada “ya
ayyuhalladzina aman” maka disebut ayat/surat makiyyah. Dalam surat
Al-Hajj, sebagain ayatnya ada beda pendapat. Ayat dan surat Makiyyah pada
umumnya pendek-pendek, sedangkan ayat dan surat Madaniyah umumnya
panjang-panjang. Dapat dibandingkan misalnya surat al-Baqarah.[2] Salah satu surat Madaniyah,
panjangnya setengah juz, sementara juz terakhir (30) pada Qur’an memuat 36
surat yang pada umumnya dimasukkan dalam surat-surat Makiyah. Kedua, semua
surat yang menyebut “ Kalla” maka ia adalah ayat Makkiyyah.[3] Umumnya ayat dan surat Makiyyah berbicara masalah
ketahuhidan. Sedangkan Madaniyah pada umumnya berbicara masalah kemasyarakatan.[4]
Para ulama
berbeda pendapat tentang Makkiyah dan Madaniyyah, kedalam tiga pendapat:
Pertama, pendapat paling masyhur, makkiyah yaitu wahyu yang turun sebelum
hijrah Nabi Muhammad Saw, sedangkan Madaniyyah yaitu wahyu yang turun setelah
hijrah Nabi Muhammad Saw, sama saja apakah turun di Makkah al-Mukkarromah atau
di Madinah al-Munawarroh, pada tahun “Fatkhu Mekkah” atau tahun ”Haji
Wada”, Nabi sedang berada dikediaman atau sedang berpergian. Ini adalah
pendapat paling shahih dalam pengertian keduanya.
Kedua, Makkiyyah yaitu wahyu yang turun di Mekkah al-Mukarromah walaupun setelah hijrah,
sedangkan Madaniyah yaitu wahyu yang turun di Madinah
munawarroh,
maka ayat yang turun dalam perjalanan Nabi tidak dinamakan Makiyyah atau
Madaniyyah, tetapi dikatakan sebagai ayat Safariyyah.
Ketiga, Makkiyah yaitu wahyu yang turun karena objek pembicaraan yang dituju untuk penduduk
Mekkah al-Mukarramah sedangkan Madaniyyah yaitu wahyu yang turun karena
objek pembicaraan yang dituju untuk penduduk Madinah al-Munawwaroh.[5]
- Nasikh dan Mansukh
Akar historis
nasikh mansukh ini sebenarnya adalah masuk kaedah-kaedah ilmu Ushul Fiqh. Namun
nasikh mansukh dalam praktisnya masuk pada wilayah fiqh (tuntunan atau
yurisprudensi Islam ). Secara definisi nasikh adalah pembatalan atau lebih
tepatnya penghapusan pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang
kemudian. Penghapusannya secara jelas atau tersurat ( dhimni ). Baik itu
penghapusan secara keseluruhan ( kulliy ) atau sebagian ( juz’iy ),
menurut kepentingan amalannya.[6]Semua ini diamalkan demi sebuah
kemaslahatan. Perlu diingat yang dihapus itu pada tataran tuntunan bukan pada
tataran akidah dan tauhid seperti keimanan. Juga diperuntukkan kepada orang
yang mempunyai akal, dalam fiqh disebut taklif atau orang terbebani
dalam melakukan syari’at. Nasikh ( penghapus ) itu terpisah dari mansukh ( yang
dihapus ) maka datangnya lebih awal mansukh daripada nasikh. Jika nasikh
bersambung dengan mansukh maka bisa disebut syarat, sifat, istitsna’ (
pengecualian ) dan bukan disebut nasikh mansukh. Mansukh dibatasi oleh waktu
tertentu. Misalnya : “Dan makan-minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar…”( QS:2 : 187 ). Nasikh harus lebih kuat atau sama
kuatnya dengan mansukh, tidak boleh lebih lemah daripadanya. Karena yang lebih
lemah tidak sanggup menghapus yang kuat. Oleh karena itu hadist Ahad bisa
mansukh dengan hadits Mutawatir dan tidak boleh sebaliknya. Kemudian
penghapusan ada yang terhadap hukum dan tulisannya sekaligus. Ada yang hukumnya
saja dan tulisannya masih tetap dan ada yang tulisannya saja sedang hukumnya masih
tetap.[7]
Berdasarkan
amalannya nasikh mansukh diklasifikasikan menjadi berbagai macam.[8]
- Nasakh Al-kitab Bi Al-kitab : Penghapusan ayat Al-Quran yang turun lebih dahulu dengan ayat turun kemudian. Dalam pendekatan pola filsafat ini disebut pengkokohan. Karena lebih kokoh jika dua ayat yang substansinya sama. Kemunculan dua ayat ini dirasakan untuk kemaslahatan dan sesuai kondisi ummat Islam pada waktu itu. Misalnya : jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir ( QS: 8: 65 ). Ayat ini dinasakh dengan ayat “ Sekarang Allah telah meringankan kamu dan Dia telah mengetahui kelemahan ada pada kamu. Maka, jika ada diantara kamu seratus orang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika diantara kamu ada seribu orang ( yang sabar ), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika kamu seribu orang ( yang sabar ) niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang ( musuh ) ( QS : 8: 66 ).
- Nasakh Al-kitab Bi As-sunnah : Penghapusan ayat yang datang lebih dahulu dengan hadits yang datang kemudian. Namun syaratnya hadist Mutawatir. Misalnya : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan maut jika dia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf ( QS : 180 ). Dinasakhkan oleh hadist: “ketahuilah tiada wasiat untuk ahli waris” ( H.R. Ad-Darutquthni dari Jabir R.A ).
- Nasakh As-sunnah Bi Al-kitab : Sebaliknya dari nomer 2. Misalnya : Perbuatan Nabi SAW dan para shahabat menghadap ke Baitil-Maqdis dalam Shalat dinasakhkan ayat : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidi Haram….” ( QS: 2 :144 ).
- Nasakh As-sunnah bi As-sunnah : Penghapusan hadist dengan hadist. Misalnya: “Dulu aku telah melarangmu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah karena mengingatkan pada kematian” ( HR. Hakim dari Anas ).
- Nasakh Dimniy : Penghapusan secara tersirat ( implisit ). Jika nash ( teks ) tidak memberi perintah secara tegas. Maka yang ada dua syari’ dengan hukum yang terdahulu ( qadiim ) dan tidak boleh menggabungkannya. Maka dianggaplah hukum yang datang kemudian sebagai penghapus.
- Nasakh Juz’iy : Penghapusan yang bersifat sebagian. Hukum yang mutlak ini dihapus dengan melibatkan sebagian keadaan. Misalnya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik ( berbuat zina ) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali” ( QS: 64: 4). Ayat ini menunjukkan bahwa penuduh wanita bersuami yang tidak mempunyai bukti ( bayyinah ) atas tuduhannya dapat didera.
- Nasakh Kulliy : Penghapusan secara menyeluruh. Misalnya: Menghapus kewajiban memberi warisan kepada orang tua dan sanak kerabat. Seperti juga menghapus masa tenggang ( ‘iddah ) Seorang istri yang ditinggal suaminya selama setahun dengan ‘iddah lebih ringan yakni empat bulan sepuluh hari. Tercantum di QS : 2 : 240 dan QS : 2 : 234.
- Nasakh Sharih : Penghapusan nash secara tegas dalam pembentukan syari’at. Karena otoritasnya lebih kuat dan lebih jelas yang datang kemudian seperti penghapusan hadist ziarah kubur tadi.[9]
Terdapat
perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I
hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan
hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b)
pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang
bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum
bersyarat.[10] Bahkan ada di antara mereka yang
beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi
tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat
adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri
pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh
perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang
beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku
pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.[11]
Pengertian yang
demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin).
Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna
membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum
yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan
terakhir.
Para ulama
tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup
butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin
tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh
tetapi takhshish (pengkhususan). Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah
butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama
yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan
alasan-alasan berdasarkan ‘aql dan naql (Al-Quran).
Ibn Katsir,
dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan
ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan
membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan:
“Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan
dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai
kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya.”[12]Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya
naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk
kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu
dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu
karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut
berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh
(dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan
demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya
untuk hamba-hamba Allah.[13]Lebih jauh dikatakannya bahwa hal
ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini
berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat
yang diberikan oleh dokter.[14]
Ada dua butir
yang harus digarisbawahi dari pernyataan AlMaraghi di atas. Pertama,
mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan
bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana
dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan
dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun
telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain
yang membutuhkannya.Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan
para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain
atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang
mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang
dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan
oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.
Pendukung-pendukung
naskh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;
Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya
kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah
Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Menurut mereka,
“ayat” yang di naskh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung
ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang
menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan
bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi.[15]Mereka juga mengemukakan ayat 101
Surat Al-Nahl:
Apabila Kami
mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang
diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, beranggapan bahwa
pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu
(a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum
dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka. Argumentasi
ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS 41:42, Tidak datang
kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Ayat
tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak
disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai
pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.
Pendapat Abu
Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat
tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi “kebatilan” yang berarti
lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil,
karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan
kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika
berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan
dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.[16]
Agaknya kita
dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh
dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung
naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung
naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum
yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus
diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.[17]
Di sini para
penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan kemampuan
mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif.
Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung
naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh
para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.
Dalam hal ini
agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut,
misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang
dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau
istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim. Untuk maksud tersebut,
kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam penafsirannya tentang
ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak. Muhammad ‘Abduh –walaupun tidak
mendukung pengertian kata “ayat” dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai “ayat-ayat
hukum dalam Al-Quran”, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan
“Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya
mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat– tetap berpendapat
bahwa dicantumkannya kata-kata “Ilmu Tuhan”, “diturunkan”, “tuduhan kebohongan”,
adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam surat Al-Nahl ayat 101
adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.[18]
- C. Asbabul Nuzul
Sbabun Nuzul
secara bahasa berarti “sebab-sebab turunya”. Yang dimaksud di sini adalah
“sebab-sebab atau yang melatarbelakangi turunya al-Qur’an”. menurut as-Suyuthi,
Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang terjadi sebelum turun ayat, sedangkan
sesudah turunnya ayat tidaklah disebut asbab.[19]menurut Wakidy, Asbabun Nuzul adalah
peristiwa sebelum turun ayat, walaupun “sebelumnya” itu masanya jauh seperti
adanya peristiwa gajah dengan surat al-Fii.
Subhi as-Shalih
dalam Mabahits fi Ulumil Qur’an menyatakan, Asbabul Nuzul adalah sesuatu
yang menjadi sebab turunya satu atau beberapa ayat sebagai jawaban terhadap
sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada waktu terjadinya sebab itu.[20]
Az-Zarqani
dalam kitab Manahilul Irfan menyatakan, Asbabun Nuzul adalah suatu
kejadian yang menyebabkan turunya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa
yang dapat dijadikan petunjuk hokum berkenaan dengan turunnya suatu ayat.[21]sanada dengan Az-Zarqani, Daud
al-Aththar mendefinisikan Asbabun Nuzul sebagai sesuatu yang melatarbelakangi
turunnya suatu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu pertanyaan atau
menceritakan suatu peristiwa itu.[22]
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Asbabun Nuzul adalah suatu peristiwa yang ada kaitan
langsung dengan satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang diturunkan ketika itu,
baik sebagai: (a) Jawaban suatu pertanyaan atau (b) penjelasan hokum yang
dikandung ayat tersebut, atau (c) contoh kasus yang diceritakan ayat tersebut.
Pentingnya
mempelajari dan mengetahui Asbabun Nuzul adalah untuk membantu memahami ayat
al-Quran, baik dalam mengistimbath hukum dalam berstidlal,[23] ataupun sekedar memahami maksud
ayat. Tidak mungkin memahami kandungan makna suatu ayat tanpa mengetahui sebab
turunya ayat tersebut. Menurut Ibn Daqiq al-‘Id, mengetahui Asbabun Nuzul
adalah cara yang tepat untuk memahami al-Qur’an. menurut Ibn Taymiah, Asbabun
Nuzul membantu seseorang untuk memahami al-Qur’an. subhi ash-Shalih menyatakan:
“ketidaktahuan seseorang tentang Asbabun Nuzul sering menjerumuskannya ke dalam
kesalahan dan kekeliruan kaarena ia memahami ayat tidak sesuai dengan
maksudnya.[24]
- Lafadz Umum dan Sebab Khusus
Dalam memahami
hal yang berkaitan dengan sebab turunnya al-Qur’an terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Persoalannya adalah apakah suatu ayat yang turun dengan
sebab tertentu itu terbatas pengertian dan hukum yang dikandungnya hanya pada
seba nuzul ayat tersebut ataukah dapat menjangkau berbagai masalah atau
peristiwa serupa?menurut jumhur ulama yang menjadi pegangan dalam memahami ayat
tersebut adalah redaksinya yang bersifat umum dan bukan sebabnya yang khusus.
Adapun ketentuan-ketentuan yang menyangkut hal tersebut adalah sebagai berikut:
- Al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus as-sabab adalah:
- Yang jadi hujjah adalah lafaznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
- Lafaz haruslah diberlakukan secara umum, kecuali ada dalil yang mengharuskan ia dipahami khusus.
- Para sahabat salalu berhujjah dengan lafaz umum, walaupun mereka sudah tahu sebab-sebab khususnya.
Contoh ayat
yang berkaitan dengan hal tersebut adalah sebagaimana yang ditulis oleh
az-Zarqani bahwa ayat yarmuna Azwajahum. Ayat tersebut turun berkaitan
dengan kasus li’an Hulal bin Umayah terdapat istrinya yang menjadi sebab
khusus turunya ayat tersebut. Akan tetapi ayat tersebut turun dengan lafaz yang
umum; karena itu hukum yang dikandungnya dapat diterapkan pada kasus lain yang
serupa tanpa melalui qiyas.
- 2. Al-Ibrah bi khusus as-sabab
- Sebab dan munasab harus serasi, lafaz umum haruslah diapahami dengan sebab khususnya itu.
- Kelompok ulama yang berpegang atas dalil ini mengatakan bahwa ketentuan hukum yang dikandung ayat tersebut pada dasarnya terbatas pada peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. penerapannya terhadap kasus lainnya yang serupa hanya mungkin dilakukan melalui qiyas atau nash lain.[25]
Pengertian
Asbabun Nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi social
pada masa turunnya al-Qur’an dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui
kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu dengan mengembangkan
pengertian qiyas.[26]
- Cara Mengetahui Asbabun Nuzul
Mengetahui
Asbabun Nuzul adalah upaya untuk membedah antara dua hal yaitu sebab dan
musababnya, atau dalam bahasanya Nasr Hamid Abu Zaid menguak dan menghubungkan
antara realitas khusus (sebab) ke realitas yang menyerupainya (musabbab). Akan
tetapi harus disadari bahwa transformasi dari “sabab” ke “musabab”, atau dari
realitas khusus ke realitas menyerupainya, harus didasarkan pada tanda-tanda
yang terdapat ada struktur teks itu sendiri.[27]
Menurut
az-Zarqani, suatu peristiwa atau pertanyaan dapat disebut sebagai sebab nuzul
ayat didasarkan pada riwayat yang shahih yang berasal dari sahabat Nabi yang
benar-benar menyaksikan dan memahami sejarah turunnya suatu ayat. Jika riwayat
itu berasal dari Thabi’in maka tidak dapat dijadikan sebab nuzul, kecuali
diperkuat oleh salah seorang imam tafsir yang langsung mengambil dari sahabat
seperti Ikrimah, Mujahid, Said bin Zubair, Atha Said bin Musayyab, dan Dhahhak.
Bentuk-bentuk
ungkapan dalam mengunngkapkan Asbabun Nuzul itu bermacam-macam. Adakalanya
diucapkan dengan ucapan yang jelas (sharih) melalui perkataan. Ibarat
seperti ini merupakan nash yang tegas mengenai sebab turunnya ayat.
Kadang-kadang
rawi tidak secara langsung menggunakan kata sabab tetapi menggunakan fa
ta’qibiyah dalam rangkaian riwayat, seperti riwayat, seperti riwayat yang
berasal dari Jabir:
كا ن اليهود يقول: من اتى امراة من دبرها جاء الوالد احول، فانزل الله: نساءكم حرث لكم
Kecuali itu,
terkadang pula sebab turun tidak diungkapkan baik dengan kata sebab maupun fa
ta’qibiyah tetapi ada kaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi
dengan ayat yang diajdikan jawaban atas pertanyaan tersebut, seperti riwayat
Ibn Mas’ud mengenai ayat yang berkaitan dengan masalah ruh.
Penutup
Menjadi jelas kepada kita akan pentingnya mengetahui asbabun nuzul bila kita
hendak memahami al-Qur’an. pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbabun Nuzul
adalah untuk membantu memahami ayat al-Qur’an, baik dalam menetapkan hukum atau
dalam berdalil, ataupun sekedar memahami maksud ayat. Tidak mungkin memahami
kandungan makna suatu ayat tanpa mengetahui sebab turunnya ayat tersebut.
[1] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman
Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor: Granda Sarana Pustaka, 2005), h. 47.
[2] Al-Sayid Muhammad bin Alawi
al-Maliky Al-Hasany, Kaidah-kaidah ulumul Qur’an, (Perkalongan: Al-Asri,
2008), h. 4.
[3] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman
Memahami Kandungan Al-Qur’an. h. 48.
[4] Manna Khalil al-Qattan, Studi
ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2004), h. 82.
[5] Al-Sayid Muhammad bin Alawi
al-Maliky Al-Hasany, Kaidah-kaidah ulumul Qur’an, h. 4.
[6] Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah,
Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh , ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 ), hlm
243.
[7] Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah,
Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh , h. 243.
[8] Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah,
Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh , h. 244-246.
[9] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan Fi
‘Ilmi Ushul Fiqh, ( Ponorogo: Darussalam Press, tanpa tahun), hlm 41.
[10] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul
Al-Syari’at, (Beirut: Dar Al-Ma’arif, 1975) , jilid III, h. 108.
[11] Abdul ‘Azim Al-Zarqani, Manahil
A-’Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, (Mesir :1980), Jilid II, h. 254.
JAKARTA
12/8/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar