Rabu, 04 Maret 2015

WALI SELALU BERTAQWA




PARA KEKASIH (WALI) ALLAH SWT ?


Artinya: Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al Baqarah : 257)
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 & 63)
Muqaddimah
Makna wali versi masyarakat awam di atas harus diluruskan. Oleh karena itu, di bawah ini kami akan sebutkan istilah yang benar seputar makna wali, agar kita dapat mengetahui makna wali yang benar dengan dasar ayat al-Qur`an, hadis dan penjelasan para ulama.
Ditinjau dari segi bahasa, wali berarti penolong, yang mencintai, yang mengikuti, dan yang menaati. Sehingga dikatakan, seorang mukmin adalah wali Allah, yakni yang mencintai dan menaati Allah. (Mu’jam Maqayis al-Lughah, al-Mu’jam al-Wasithdan Lisan al-‘Arab, pada kata waw lam ya’)
Sedangkan dari segi istilah, marilah kita simak al-Qur`an berbicara tentang definisi wali. Allah ta’ala berfirman:
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 & 63)
Dalam hadis sahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ َلأُعِيْذَنَّهُ.
Sesungguhnya Allah ta’ala berfirman: “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan (izinkan) ia untuk diperangi. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku sukai daripada amalan yang Aku wajibnkan atasnya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, menjadi tangan yang ia memukul dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku pasti akan Kuberi, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku pasti Kulindungi.” (HR. al-Bukhari, no. 6502)
Pengertian Wali Allah ?
Artinya: Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. ( Q.S. Yunus : 62 – 64).
Secara bahasa kata al-walii berasal dari kata dasar al-walaayah yang artinya cinta dan kedekatan. Lawan kata dari kata al-walaayah adalah al-‘adaawah yang artinya permusuhan. Orang yang taat kepada Allah disebut wali Allah, karena kedekatannya dengan Allah melalui ibadah yang dia lakukan dan ketundukannya untuk berusaha mengikuti semua aturan Sang Pencipta.
Allah ta’ala telah menjalaskan batasan, siapakah wali Allah yang sesungguhnya. Dalam al Qur’an surat Yunus ayat 62-63, Allah telah menjelaskan definisi wali Allah,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga – (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”
Berdasarkan kriteria yang disebutkan dalam ayat di atas, Imam Abu Ja’far At-Thahawi memberikan sebuah kaidah:
والمؤمنون كلهم أولياء الرحمن، وأكرمهم عند الله أطوعهم وأتبعهم للقرآن
“Setiap mukmin adalah wali Allah. Dan wali yang paling mulia di sisi Allah adalah wali yang paling taat dan paling mengikuti Al Qur’an. (Aqidah Thahawiyah).
ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir mengatakan:
يخبر تعالى أن أولياءه هم الذين آمنوا وكانوا يتقون، كما فسرهم ربهم، فكل من كان تقيا كان لله وليا
“Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga setiap orang yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/278).
Antara Wali Allah dengan wali setan ?
1). Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, sedangkan wali setan tidak beriman kepada Allah apalagi bertakwa kepada-Nya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Apabila sudah diketahui bahwa di antara manusia ada yang menjadi wali Allah dan wali setan, maka wajib dibedakan antara ini dan itu, sebagaimana Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membedakan keduanya.
2). Wali Allah adalah orang yang menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, meniti jejak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintainya secara lahir dan batin, meskipun mereka tidak mengaku-ngaku sebagai wali Allah, mereka adalah orang-orang mukmin yang saleh dan tulus dalam beragama. Adapun wali setan, mereka mengaku-ngaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, mengaku sebagai wali-wali-Nya, namun pada hakikatnya mereka tidak mengikuti ajaran nabi, bahkan membencinya. Merekalah orang-orang yang fasik dan munafik.
3). Bahwasanya wali Allah beriman dan berkeyakinan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi perantara antara Allah dan makhluk-Nya dalam menyampaikan risalah ini, adapun wali setan berkeyakinan bahwa ada wali tertentu yang memiliki jalur spesial untuk sampai kepada Allah dengan tanpa mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4). Wali-wali setan amalan mereka penuh dengan perbuatan dosa dan pelanggaran, seperti kesyirikan, kezaliman, perbuatan keji, berlebih-lebihan atau bid’ah dalam hal ibadah. Oleh karenanya, setan turun untuk singgah dan menyertai mereka, sehingga mereka termasuk wali-wali setan bukan wali-wali Allah.
5). Bahwasanya wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dengan al-Qur`an dan syariat yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti sekaligus mengamalkan keduanya. Adapun wali-wali setan, terkadang mereka berzikir kepada Allah siang dan malam dengan begitu zuhudnya –zuhud versi mereka-, beribadah kepada-Nya dengan begitu antusiasnya, akan tetapi mereka tidak mengikuti tuntunan al-Qur`an dan sunah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah. (al-Furqan, hal. 85)
Pandangan Syeikh Hasyim Asy’ari tentang Wali ?
Pandangan Syeikh Hasyim tersebut sejalah dengan Syeikh al-Qusyairi, ulama’ sufi tersohor dari Khurasan. Dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah, Syeikh al-Qusyairi menerangkan karakterisitik ahli tasawwuf. Di antaranya hifdzul Adabi al-Syari’ah (menjaga adab syariah). Syeikh Hasyim juga banyak menukil para sufi beraliran Sunni, yang terutama Syeikh al-Junaid dan Hujjatul Islamm Imam al-Ghazali.
Dalam anggaran dasar NU, bahwa dalam aspek tasawwuf NU mengikuti Syeikh al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Pemikiran sufi Syeikh Hasyim banyak dipengaruhi dua ulama sufi tersebut.

Corak pemikiran tersebut diadopsi oleh Syeikh Hasyim Asy’ari. Orang yang mengaku dirinya wali tetapi dalam kesaksiannya tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka orang tersebut adalah pendusta. Beliau mengatakan:
فمن الدعى الولاية بدون شاهد المتابعة فدعواه زور وبهتان
“Barangsiapa yang mengaku dirinya wali tanpa kesaksian bahwa dia mengikuti syariat Nabi Muhammad saw, maka pengakuan tersebut dusta bohong.” (Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 4).
Syeikh Hasyim berpendapat, wali tidak akan memamerkan dirinya sebagai wali. Justru seorang sufi tidak menyukai popularitas. Ia mengatakan: “Jenis fitnah itu banyak sekali. Di antara yang banyak merusak seorang hamba adalah pengakuan seseorang menjadi guru tarekat dan wali. Bahkan sampai mengaku dirinya wali quthb, dan imam mahdi. Padahal mmereka bukan ahli syariat.” (Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 1).
Dikatakan bahwa karakter seorang wali justru menyembunyikan kewalian dan mengedepankan tawadhu’. Ia mengatakan: “Wali itu tidak membuka jalan popularitas dan juga tidak melakukan pengakuan akan kewaliannya. Bahkan kalau bisa ia akan menyembunyikannnya. Karena itu orang yang ingin terkenal dalam hal tersebut, bukanlah ia seorang ahli tariqah” (Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 9).
Seorang tidak dapat disebut wali jika ia meremehkan syariat, mengejek al-Qur’an, membela kesesatan. Sifat pokok kewalian disebut oleh Syeikh Hasyim dengan “istiqamatu ‘ala adabi al-syari’ah al-Islammiyah” (istiqamah dalam adab syariat Islam). Seseorang yang mengaku secara dusta bahwa dirinya wali, sesungguhnya orang tersebut tertipu oleh bujuk setan. Ia mengatakan:
فكل مى كان للشرع اعتراض فهو مغرور مخدوع
“Setiap orang yang bertentangan dengan syariat, maka orang tersebut tertipu oleh nafsu dan setan.” (Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 6).
Kritik keras juga diungkapkan kepada konsep tariqah yang tidak memalui jalur syariah. Beliau bukanlah sufi yang anti-tariqah. Beliau dikenal menganut tariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Ia berpendapat, tariqat mana saja yang ditempuh sesuai ajaran al-Qur’an dan Hadis boleh diikuti. Bagi beliau, dalam bertariqah dilarang mengkultuskan secara berlebihan di luar batas kepada guru sufinya. Ia mengatakan tidak boleh mengikuti ucapan guru tariqah yang bertentangan dengan syariah (Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 8). Jika ada guru tariqah yang maksiat, maka harus ditinggalkan.
Ikhtitam
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga – (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”
JAKARTA 4/3/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman