HATI-HATI
BERTASAWUF ?
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)". [al-Hijr/15 : 99]
يَسِّرُوا وَلاَ
تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
Mudahkanlah
oleh kalian (pengajaran agama ini), jangan kalian buat sulit; Dan berikanlah
kabar gembira, jangan engkau buat orang-orang menghindar dan menjauh. (HR. Bukhari)
Muqaddimah
Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir t
berkata: “Ketika kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan
juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang
terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati
sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah
melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia
Muhammad r dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah
makhluk-makhluk pilihan Allah I di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita
melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani,
Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.” (At-Tashawwuf Al-Mansya’ Wal
Mashadir, hal. 28)
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil t berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah I di dalam memerangi Allah I dan Rasul-Nya r. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil t berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah I di dalam memerangi Allah I dan Rasul-Nya r. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)
Tasawuf sunni merupakan aliran
tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syari’ah dan hakikat namun
diberi interpertasi dan metode baru yang belum dikenal pada masa salaf
as-shalihin dan lebih mementingkan cara-cara mendekatkan diri kepada Allah
serta bagaimana cara menjauhkan diri dari semua hal yang dapat menggangu
kekhusyu’an jalannya ibadah yang mereka lakukan. Aliran tasawuf ini memiliki
ciri yang paling utama yaitu kekuatan dan kekhusyu’annya beribadah kepada
Allah, dzikrullah serta konsekuen dan juga konsisten dalam sikap walaupun
mereka diserang dengan segala godaan kehidupan duniawi.
Tasawuf sunni yang dibawa dan
dikenalkan oleh para da’i memiliki karakter khusus, yaitu sebagai representasi dari
ajaran tasawuf Abu Hamid Al-Ghazali. Banyak kalangan yang menganut ajaran
tasawuf ini mempelajari teori dan praktik tasawuf berdasarkan pada kitab-kitab
yang dikarang oleh Al-Ghazali, sedangkan yang terjadi pada tasawuf falsafi,
figur Mansur Al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain, memegang teguh ajaran
panteisme, meskipun pada kenyataannya banyak pula para pelaku jalan tasawuf
falsafi yang menyimpang dari yang sebenarnya.
Ajaran Tasawuf yang Sesat ?
Di antara
sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:
1.
Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah I menyatu dengan segala sesuatu
yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa
Allah I dapat masuk ke dalam makhluk-Nya.
Al-Hallaj,
seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada
makhluk-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum.” (Dinukil dari
Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)
Ibnu ‘Arabi,
tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba.
Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan
hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang
diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah,
hal. 601)
Muhammad
Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi r bahwasanya beliau
bersabda:
“Aku melihat
Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.”
(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)
Padahal Allah I telah berfirman:
(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)
Padahal Allah I telah berfirman:
“Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Asy-Syura: 11)
“Berkatalah
Musa: ‘Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup
melihatku’…”1 (Al-A’raf: 143)
2.
Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah I
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).2 Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam).2 Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?
3. Keyakinan
kafir bahwa Allah I adalah makhluk dan makhluk adalah Allah I, masing-masing
saling menyembah kepada yang lainnya.
Ibnu ‘Arabi
berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia menyembahku dan aku
pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).3
Padahal Allah I telah berfirman:
Padahal Allah I telah berfirman:
“Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
(Adz-Dzariyat: 56)
“Tidak ada
seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha
Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)
4.
Keyakinan bahwa tidak ada perbedaan di antara agama-agama yang ada.
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).4
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).4
Jalaluddin
Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim,
tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah
adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”5
Padahal Allah I berfirman:
Padahal Allah I berfirman:
“Dan
barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
merugi.” (Ali Imran: 85)
5.
Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih
Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi r secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau r mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahui dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).6
Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi r secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau r mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahui dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).6
6. Pembagian
ilmu menjadi syariat dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada
tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi
kepada Allah I. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala
kewajiban dan larangan dalam agama ini.
Mereka
berdalil dengan firman Allah I dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:
yang mana
mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang
kepadamu keyakinan.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman,
bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling
berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan
Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya.
Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka
berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat tidak lagi terkait dengan
kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)
Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri t berkata: ‘Sesungguhnya Allah I tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian’.”
Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri t berkata: ‘Sesungguhnya Allah I tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian’.”
Beliau
melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan
setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)
7. Keyakinan
bahwa ibadah kepada Allah I itu bukan karena takut dari adzab Allah I (an-naar/
neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah I. Padahal Allah I berfirman:
“Dan
peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk
orang-orang yang kafir.” (‘Ali Imran: 131)
“Dan
bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga)
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertaqwa.” (‘Ali Imran: 133)
8. Dzikirnya
orang-orang awam adalah Laa ilaha illallah, sedangkan dzikirnya orang-orang
khusus dan paling khusus adalah / Allah”, / huwa (dibaca: huu)”, dan /
aah” saja.
Padahal Rasulullah r bersabda:
Padahal Rasulullah r bersabda:
“Sebaik-baik
dzikir adalah Laa ilaha illallah.” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin
Abdullah z, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no.
1104).7
Syaikhul
Islam t berkata: “Barangsiapa beranggapan bahwa Laa ilaha illallah adalah
dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus
adalah / Huwa, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah
Al-’Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)
9. Keyakinan
bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal
yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.
Allah I dustakan mereka dalam firman-Nya:
Allah I dustakan mereka dalam firman-Nya:
“Katakanlah
tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib
kecuali Allah.” (An-Naml: 65)
10.
Keyakinan bahwa Allah I menciptakan Nabi Muhammad r dari nur/ cahaya-Nya, dan
Allah I ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad r.
Padahal Allah I berfirman :
Padahal Allah I berfirman :
“Katakanlah
(Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian,
yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).
“(Ingatlah)
ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan
manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)
11.
Keyakinan bahwa Allah I menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad
r. Padahal Allah I berfirman:
“Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
(Adz-Dzariyat: 56)
Demikianlah
beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas
kesesatannya. Semoga Allah I menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut.
Maqamat dalam Tasawuf ?
Maqamat-maqamat yang diajarkan
oleh al-Gazali terdapat di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, khususnya juz IV. Di
dalam bagian tersebut diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut: Kitab
al-Taubah, Kitab al-Sabr wa al-Syukr, Kitab al-Khauf wa al-Raja, Kitab al-Faqr
wa al-Zuhd, Kitab Tauhid wa al-Tawakkal, Kitab al-Mahabbah wa al-Syauq qa
al-Uns wa al-Ridha, Kitab al-Niyyah wa al-Ikhlas wa al-Sidq, Kitab al-Muqarabah
wa al-Muhasabah, Kitab al-Tafakkur, dan Kitab Zikr al-Maut wa Ba’dah.
Maqamat-maqamat ini menjelaskan beberapa point yang dianggap penting untuk memahami konsep tasawuf yang diajarkan oleh al-Gazali, di antaranya: Konsep taubat, zuhud, tawakkal, dan ma’rifah.
Maqamat-maqamat ini menjelaskan beberapa point yang dianggap penting untuk memahami konsep tasawuf yang diajarkan oleh al-Gazali, di antaranya: Konsep taubat, zuhud, tawakkal, dan ma’rifah.
Pendapat Imam Mdzhab tentang Tasawuf ?
IMAM ABU HANIFAH (
HANAFI ) (85 H -150 H) (Nu’man bin Tsabit - Ulama besar pendiri mazhab Hanafi) Beliau adalah
murid dari Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandi yaitu Imam Jafar as Shadiq ra .
Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur,
meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Jika tidak karena dua tahun, aku
telah celaka. Karena dua
tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu
spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
IMAM MALIKI (Malik bin
Anas - Ulama besar pendiri mazhab Maliki) juga murid Imam Jafar as Shadiq ra,
mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai
berikut :
“Man tasawaffa wa lam yatafaqa faqad
tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatasawaf faqad tafasaq, wa man tasawaffa wa
taraqaha faqad tahaqaq”.
Yang artinya
: “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah
zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa
yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih Kebenaran dan Realitas
dalam Islam.” (’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang
meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
IMAM SYAFI’I (Muhammad bin Idris, 150-205 H) Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i berkata,
“Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka
mengajariku bagaimana berbicara 2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan
orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati 3. Mereka membimbingku ke
dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat
dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz 1, hal. 341)
IMAM AHMAD BIN HANBAL (164-241 H) Ulama besar pendiri mazhab Hanbali berkata,
“Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata
air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah
orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak
melihat orang yang lebih baik dari mereka” (Ghiza al Albab, juz 1, hal. 120 ; Tanwir
al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)
Sumber:1.https://aftanet.wordpress.com 2.http://www.kompasiana.com
3.https://shirotholmustaqim.wordpress.com
Jakarta 3/11/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar