KAJIAN AYAT KURSI ?
Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أعظم آية في القرآن
"الله لا إله إلا هو الحي القيوم".
“Ayat yang
paling agung dalam Al-Qur’an adalah ‘Allahu lailaha illa huwal hayyul Qoyyum’.
Muqaddimah
Dari Abu
Umamah, tentang keutamaan membacanya setelah shalat fardu, dia berkata,
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
من قرأ دبر كل
صلاة مكتوبة آية الكرسي لم يمنعه من دخول الجنة إلا أن يموت.
“Barangsiapa
yang membaca ayat kursi setiap setelah selesai fardhu, tidak ada yang dapat
menghalanginya masuk surga kecuali dia meninggal dunia.”(HR Nasai)
Ayat kursi sangat kental dengan nuansa akidah, terutama
akidah kepada Allah swt, yaitu akidah akan sifat-sifat Allah yang berbeda
dengan sifat seluruh makhluk-Nya. Kejelasan
akan sifat-sifat Allah sangatlah penting untuk menghindari dominasi khurafat,
mitos dan syubhat yang kerap kali menutupi hati dan pandangan manusia. Justru
Islam datang untuk menyelamatkan dan membersihkan hati manusia dari timbunan
kotoran yang demikian berat, serta dari kesesatan dan kebingungan dalam
kegelapan. Sehingga secara korelatif dijelaskan pada ayat setelahnya: ”Tidak
ada paksaan dalam beragama”, bahwa akidah yang dibawa oleh Islam adalah akidah
yang berdasarkan kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan penjelasan yang
terang benderang, bukan berdasarkan pemaksaan dan tekanan.
Menurut
Ibnu Athiyah, yang dimaksud dengan kursi, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah
saw, adalah makhluk Allah yang agung yang berada di antara Arsy Allah swt,
sedangkan Arsy Allah tentunya lebih besar berbanding kursi-Nya. Perbandingan
antara keduanya seperti yang dituturkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits
riwayat Abu Dzar, “Bukanlah kursi Allah yang berada di Arsy Allah itu melainkan
hanya seperti sebuah lingkaran besi yang dilemparkan di salah satu penjuru
bumi”.
اللَّهُ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah,
tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta
terus menerus mengurus (makhluk).”
Allah
adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini
dengan menegaskan kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam
dan seluruh syariat sebelumnya. Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk
disembah selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah apapun
kepada selain Allah.
Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna
yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya Yang hidup dengan sendirinya dan
selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-Nya dan semua tidak
bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan
bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum
adalah nama yang paling agung. Pendapat ini dan yang sebelumnya adalah yang
terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang paling agung, dan semua nama ini
ada di ayat kursi.
لاَ تَأْخُذُهُ
سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ
“Dia
Tidak mengantuk dan tidak tidur.”
Maha
Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala
sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap
hamba-hamba-Nya.
Allah
mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.
Barangkali
ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu
menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”
Akan
tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa
mengantuk terlebih dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa
menahan tidur. Jadi, menafikan kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.
لَهُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ
“Kepunyaan-Nya
apa yang di langit dan di bumi.”
Semesta
alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak
ada yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.
مَنْ ذَا
الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada
yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
Memberi
syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat
atau mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang
mengharapkan syafaat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti
mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakannya di sisi
Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat untuk
dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga
dibukakan untuk mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi
wa sallam, seperti syafaat bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak
dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke derajat yang lebih tinggi
di surga.
Jadi,
seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau
sahabatnya di akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang
beriman dan meninggal dalam keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk
mendapatkannya, yaitu:
- Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
- Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.
Oleh
karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain
berdoa, hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha
Allah. Tentunya dengan menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan
meninggalkan semua laranganNya.
يَعْلَمُ مَا
بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ
“Dia
mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”
Ini
adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa
lampau, sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah,
sedang, dan yang akan terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana
wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah sangat sempurna.
وَلاَ
يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ
“Dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang
dikehendaki-Nya.”
Tidak
ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu
tentang dzat dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan
suatu nama atau sifat, kecuali yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam
al-Quran dan al-Hadits.
وَسِعَ
كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
“Kursi
Allah meliputi langit dan bumi.”
Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
الكُرْسيُّ
مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ
“Kursi
adalah tempat kedua telapak kaki Allah.”
(HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
Ahlussunnah
menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa
menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Ayat
ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَا
السَّمَاوَاتُ السَّبْع مَعَ الكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْض
فَلاَةٍ
“Tidaklah
langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang
diletakkan di tanah lapang.”
(HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
وَلاَ يَئُودُهُ
حِفْظُهُمَا
“Dan
Allah tidak terberati pemeliharaan keduanya.”
Seorang
ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga
seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus
wilayah yang mereka pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat.
Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya sangat ringan bagi-Nya. Segala
sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan Allah.
وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Dan
Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Allah
memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di
atas langit (di atas singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan: “Di mana
Allah?”
Ia
menjawab, “Di langit.”
Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”
Ia
menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”
Maka,
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan
budak perempuan tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!”
(HR. Muslim no. 537)
Jelaslah
bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan
al-Qur’an dan al-Hadits.
Demikian
pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana
ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.
Ikhtitam
Keagungan ayat kursi semakin jelas karena ayat ini secara
terperinci mengandungi penjelasan akan sifat-sifat dzat Allah swt; dari sifat
Wahdaniyah yang dinyatakan oleh Allahu La Ilaha Illah Huwa”, Sifat Maha Hidup
yang berkekalan (Al-Hayyu), sifat Maha Kuasa dan berdiri sendiri (Al-Qayyum),
bahkan sifat Qayyum Allah diperkuat dengan penafian akan segala yang mengarah
kepada kelemahan, seperti “Tidak mengantuk dan tidak tidur”. Begitu juga dengan sifat memiliki yang berkuasa untuk
melakukan apa saja terhadap makhluk yang dimiliki-Nya. Sifat iradah
(berkehendak) yang ditunjukkan oleh kalimat “mandzalladzi yasyfa’u…”, dan
iradah Allah di sini adalah pada urusan yang paling besar, yaitu syafa’at yang
tidak dimiliki oleh siapapun kecuali atas izin Allah swt. Juga sifat “Ilm yang
dinyatakan oleh “ya’lamu ma baina…..”. Terakhir sifat-sifat dzatiyyah Allah
ditutup dengan sifat yang menunjukkan ketinggian dan keagunganNya, “Wahuwal
Aliyyul Adzim”. Ibnu Abbas menuturkan, “Yang sempurna dalam ketinggian dan
keagunganNya”.
Sumber:1.http://islamqa.info
2.http://www.dakwatuna.com 3.http://muslim.or.id
Jakarta 20/11/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar