MENGANALI
TASAWUF YANG MENYIMPANG (1) ?
يَاأَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِن رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَه
“Wahai Rosul
sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak
melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya”. [QS al-Maidah/ 5: 67].
وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Sembahlah
Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99).
Muqaddimah
Asy-Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata, “Ketika kita telusuri ajaran Sufi
periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang
keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan
terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Alqur’an dan
Assunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam
sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shalallahu alaihi wasallam, dan para
shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan
Allah Subhanahu wa ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat
bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma
Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha”. [At-Tasawuf Al-Mansya’ Wal Mashadir,
halaman 2].
Asy-Syaikh Abdurrahman al-Wakil rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya setan yang paling tercela
lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam
memerangi Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shalallahu alaihi wa sallam.
Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai
seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam
memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan
mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Budha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah,
Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme
Jahiliyyah”. [Muqaddimah kitab Mashra’ at-Tasawuf,
halaman 19]. 2
Kesesatan-Kesesatan
Ajaran Tasawuf ?
Di antara
sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah,
1. Wihdatul
Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menyatu dengan segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga al-Hulul, yakni keyakinan
bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya
(inkarnasi).
Al-Hallaj,
seorang dedengkot sufi, berkata, “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada
makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum”. [Dinukil dari Firaq
Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, II/600].
Ibnu Arabi,
tokoh sufi lainnya, berkata, “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba.
Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan
hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang
diberi kewajiban?”. [Al-Futuhat al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah,
halaman 601].
Muhammad
Sayyid at-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi Shalallahu alaihi
wa sallam bahwasanya beliau bersabda,
رَأَيْتُ
رَبِّي فِي صُوْرَةِ شَابٍّ
“Aku melihat
Rabbku dalam bentuk seorang pemuda”.
[Jawahir
al-Ma’ani, karya Ali Harazim, I/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, halaman
615].
Padahal
Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
لَيْسَ
كَمِثْلِه شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. [QS Asy-Syura/ 42: 11].
قَالَ
رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي
“Berkatalah
Musa: ‘Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat-Mu.’ Allah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku…”.
[QS al-A’raf/ 7: 143].
2.
Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Subhanahu wa
ta’ala.
Ibnu ‘Arabi
berkata, “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain
(ketika itu) ia menyetubuhi Allah!”. [Fushush al-Hikam].
Betapa
kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan
gembongnya ini?.
3. Keyakinan
kafir bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah makhluk dan makhluk adalah Allah
Subhanahu wa ta’ala, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya
Ibnu Arabi
berkata, “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku
dan aku pun menyembah-Nya”. [Al-Futuhat al-Makkiyyah].
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. [QS
Adz-Dzariyat/ 51: 56].
إِنْ
كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ إِلاَّ آتِى الرَّحْمَنِ عَبْدًا
“Tidak ada
seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha
Pemurah dalam keadaan sebagai hamba”. [QS Maryam/ 19: 93].
4.
Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada.
Ibnu ‘Arabi
berkata, “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun
kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja
pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf
Alqur’an”. [Al-Futuhat al-Makkiyyah].
Jalaluddin
ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata, “Aku seorang muslim,
tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah
adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala”.
Padahal
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ
يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي
اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Dan
barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
merugi.” (Ali Imran: 85)
5.
Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih.
Ibnu ‘Arabi
berkata, “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para
perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang
mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi Shalallahu alaihi wa
sallam secara langsung, “Apakah engkau mengatakannya?”. Maka beliau Shalallahu
alaihi wa sallam mengingkarinya seraya berkata, “Aku belum pernah mengatakannya
dan belum pernah menghukuminya dengan shahih”. Maka diketahuilah, dari sini
lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari
Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang shahih”.
[Al-Futuhat al-Makkiyah].
6. Pembagian
ilmu menjadi syariat dan hakikat.
Di mana bila
seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai
martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena
itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam
agama ini.
Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Alqur’an Surat Al-Hijr ayat 99,
Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Alqur’an Surat Al-Hijr ayat 99,
وَ
اعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Yang mana
mereka terjemahkan dengan, “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang
kepadamu keyakinan.”
Syaikh al-Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan
iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang
paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi
dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian
lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena
mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi
terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen)”. [Majmu’ Fatawa,
XI/401].
Beliau juga
berkata, “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan
bumerang bagi mereka. Al-Hasan al-Bashriy rahimahullah berkata, ‘Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang
beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Alqur’an Surat al-Hijr ayat
99, yang artinya, ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu
kematian’.”
Beliau melanjutkan, “Dan bahwasanya ‘al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin”. [Majmu Fatawa, XI/41]. BERSAMBUNG...
Beliau melanjutkan, “Dan bahwasanya ‘al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin”. [Majmu Fatawa, XI/41]. BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar