Selasa, 15 Januari 2013

SIFAT WARA'

ANTARA Halal Dan Haram

Landasan Utama


Sifat wara’ dan sikap meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat dilandasi oleh sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam yang sangat terkenal, yaitu yang diriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, ‘Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar (syubhat), tidak diketahui oleh banyak orang; siapa saja yang menjauhi syubhat tersebut, maka ia telah berlepas diri bagi agama dan kehormatannya, dan siapa saja yang terjerumus ke hal yang syubhat, maka berarti ia telah terjerumus ke dalam hal yang haram, ibarat seorang penggembala yang menggembala di seputar pagar larangan di mana hampir saja gembalanya memakan tumbuhan yang ada di dalamnya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki pagar larangan. Ketahuilah bahwa pagar larangan Allah Subhannahu wa Ta’ala adalah hal-hal yang diharamkan nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging; bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, bahwa ia adalah qalbu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Makna Syubhat

Terkait dengan hadits di atas, al-Hafizh Ibn Rajab berkata, “Maknanya adalah bahwa yang halal secara murni itu sudah jelas sekali, tidak ada kesamaran sedikit pun, demikian juga dengan yang haram, akan tetapi di antara kedua hal tersebut terdapat hal-hal yang masih samar bagi kebanyakan orang; apakah ia halal ataukah haram? Ada pun bagi orang-orang yang mumpuni ilmu (agama)-nya, maka tidak ada kesamaran sedikit pun. Mereka mengetahui mana yang termasuk dalam kedua bagian tersebut.”

Sementara Imam Ahmad menafsirkan syubhat dengan “Suatu posisi yang berada di antara halal dan haram. Yakni, antara halal murni dan haram murni.” Dalam hal ini, beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menjauhinya, maka ia telah berlepas diri untuk agamanya.” Terkadang beliau menafsirkannya dengan “percampuran antara halal dan haram.”

Makna Wara’

Secara bahasa ‘Wara‘ terambil dari kata wara’a-yari’u- wara’an artinya al-kaff (mencukupkan diri dari sesuatu) dan al-iffah (menahan diri dari sesuatu yang tidak sewajarnya). Pada dasarnya sikap wara‘ itu mencukupkan diri dengan sesuatu yang halal dan menjauhkan diri dari sesuatu yang haram, sehingga hati menjadi lembut dan cenderung untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada sahabatnya Abu Hurairah RA :

“Wahai Abu Hurairah! jadilah engkau orang yang wara’, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling taat dan patuh.” (kepada Allah dan Rasul-Nya) (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, Baihaqi dan Thabrani).

Menurut Syeikh Muhammad Sholeh Al-Munjid dalam bukunya “Silsilatu A’malil Qulub” halaman 315, wara’ adalah : Meninggalkan apa yang membuatmu ragu, dan menghilangkan segala sesuatu yang mendatangkan ‘aib bagimu, serta mengambil (sesuatu) yang lebih dipercaya (diyakini), dan membawa diri pada yang paling hati-hati.

Al-wara' menurut bahasa jika dikatakan, "wara'a yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan." artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang diahromkan kemudian digunakan juga untuk perbuatan menahan diri dari hal halal yang mubah. pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un.

lafazh wari'a yaura'u wa yauri'u artinya menjadi orang yang wara'. tawarra'a minal-amri artinya menjauhinya. al-wara' dapat menggerakkan ketakwaan.

menurut pengertian terminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulka mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat, karena subhat ini dapat menimbulkan mudharat. sesungguhnya, siapa yang takut kepada syubhat maka dia telah membebaskan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang berada dalam syubhat berarti dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala di sekitar tanaman yang dijaga, yang begitu cepat dia masuk ke dalamnya.

Definisi Wara’

Ibrâhim bin Ad-ham berkata, “Wara’ artinya meninggalkan semua syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak menjadi kepentinganmu yaitu meninggalkan hal-hal sampingan (yang melebihi dari urusan).”

Yahya bin Mu’âdz berkata, “Wara’ artinya berhenti sebatas ilmu yang dimiliki tanpa menakwilnya.”

Abu Sulaimân ad-Darâny berkata, “Wara’ adalah hal pertama dari zuhud sebagaimana qana’ah (rasa puas diri) merupakan hal pertama dari ridha.”

Yûnus bin ‘Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari semua syubhat dan menghitung diri (muhasabah) dalam setiap saat.”

Pendapat lain mengatakan bahwa Wara’ adalah keluar dari hawa nafsu dan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Urgensi Wara’ Dan Buahnya

Imam Ibn al-Qayyim berkata di dalam kitabnya Madârij as-Sâlikîn (II:23), “Yang dimaksud bahwa Wara’ dapat menyucikan kotoran dan najis yang menempel di hati sebagaimana air menyucikan kotoran dan najis yang ada pada pakaian. Nabi shallallahu ‘alihi wasallam telah menghimpun makna Wara’ semuanya dalam satu kalimat, “Termasuk baiknya keislaman seseorang, meninggalkan hal yang tidak menjadi kepentingannya (yang tidak perlu).” (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)

Ini mencakup juga meninggalkan hal-hal seperti berbicara, melihat, mendengar, bertindak keras (dengan tangan), berjalan, berfikir dan seluruh gerakan yang kelihatan secara fisik atau pun abstrak. Kalimat tersebut sudah lebih dari cukup ketika berbicara tentang Wara’.”

Sedangkan di antara buah dari sikap Wara’ adalah:

-Sebagaimana ucapan Abu ‘Utsmân al-Hiry, “Pahala sikap Wara’ adalah mendapat keringanan hisab kelak.

-Sebagaimana ucapan al-Hasan al-Bashary, “Wara’ yang seberat Dzarrah adalah lebih baik daripada puasa dan shalat yang seberat Dzarrah.”

-Meraih surga dan menjadi dekat kepada Allah. Abu Hurairah berkata,  kelak adalah orang-orang yang bersikap Wara’I“Teman-teman duduk Allah  dan zuhud.”

-Menghitung diri (muhasabah) dan menyesali perbuatan yang telah lalu. Abu ‘Utsman al-Hiri berkata, “Begitu aku melakukan suatu dosa, aku terus menangis sejak empat puluh tahun yang lalu. Ceritanya, suatu ketika saudaraku mengunjungiku, lalu aku membeli ikan panggang seharga seperenam dirham (satu Dâniq). Setelah selesai, aku mengambil sebongkah tanah dari dinding tetanggaku hingga ia membasuhnya dengan tangannya padahal aku belum meminta dihalalkan kepadanya.”

Kisah lainnya, diceritakan bahwa Ibn al-Mubarak pernah pulang lagi dari Marw menuju Syam gara-gara pena yang dipinjamnya belum ia kembalikan kepada pemiliknya.

-Meninggalkan hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada apa-apanya. Mengenai ini, terdapat hadits dari Hanzhalah al-Usaidy, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,

”Seorang hamba belum mencapai kedudukan orang-orang yang bertaqwa hingga ia meninggalkan hal yang sebenarnya tidak apa-apa hanya untuk menghindari hal yang ada apa-apanya.” (HR.at-Turmudzi dan Ibn Majah)

Sebagian shahabat berkata, “Kami meninggalkan 70 pintu halal karena khawatir terjerumus ke dalam satu pintu haram.”

Tingkatan Wara’

Di dalam kitab Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn hal. 91 disebutkan, “Wara’ memiliki empat tingkatan:

-Pertama, Menarik diri dari setiap hal yang oleh fatwa diindikasikan haram.

-Kedua, Wara’ dari setiap syubhat yang tidak wajib menjauhinya tetapi dianjurkan.

-Ketiga, Wara’ dari sebagian yang halal karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram.

-Keempat, Wara’ dari semua hal yang bukan karena Allah Ta’ala. Inilah Wara’ ash-Shiddiqin.

Sumber: Kutaib, “Khairu dinikum al-Wara’, al-Qism al-Ilmi Darul Wathan (Abu Shafiyah

Maqam Wara’

Wara’ adalah meninggalkan segala yang syubhat (), yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal belum jelas haram dan halalnya. Laku hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas keislaman, apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan.

Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Allah, dan wara’ batin yakni agar tidak maasuk dalam hatimu kecuali Allah ta’ala.

Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya.

Pengertian dasar dari kata wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Tetapi orang sufi mempunyai penafsiran sendiri, dimana mereka mengartikan wara’ itu meninggalkan sesuatu yang tidak jelas (syubhat) persoalanya baik yang menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan.[6] Laku hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas keislaman apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua setelah taubat dan disamping merupakan pembinaan mentalitas juga merupakan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduaniaan. Mungkin kita masih buram dengan definisi diatas maka kita akan mencoba sedikit mengulas, menurut Qomar Kailani, para sufi membedakan wara’ itu dua macam. Pertama, wara’ lahiriyah yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah SWT. Kedua, adalah wara’ bathin yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali Allah SWT.

Maqam wara’. Yaitu menjauhi segala yang syubhat, artinya menjauhi segala hal yang belum jelas haram dan halalnya. Yahya Ibnu Ma’adz mengatakan:

الورع على وجهين ورع فى الظاهر وهو أن لا يتحرك إلا الله تعالى وورع فى الباطن وهو أن لا يدخل قلبك سواه تعالى

Al-wara’ adalah sikap seorang manusia yang telah dapat menjauhi masalah-masalah yang terkait dengan haram, dan syubhat (antara yang hala dan yang haram)=abu Bakar adalah contoh ideal pelaku wara’ dia tidak akan pernah makan makanan sebelum mengetahui secara jelas asal muasal makanan tersebut.

Resep untuk dapat menjadi Wara’ adalah membebaskan diri dari hak-hak orang lain (tidak mendzalimi orang lain)

Bersikap Wara’

Begitu pentingnya sikap wara’ ini dalam beragama sehingga Rasulullah SAW pernah bersabda : “Keutamaan ilmu lebih aku cintai dari pada keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah bersikap wara’.” (HR. Al-Hakim, Thabrani, Al-Bazzar). Dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa wara’ itu adalah :

    Meninggalkan semua yang dilarang syari’at agama Islam (barang yang haram) karena membahayakan kehidupan kita di dunia dan di akhirat.
    Menjauhi barang syubhat (samar-samar halal dan haramnya) dan meninggalkan semua yang tidak bermanfaat.
    Mencukupkan diri hidup dengan barang yang halal dan makanan yang bermanfaat untuk tubuh (Thayyib).

Sikap dasar setiap muslim haruslah mampu meninggalkan sekuat tenaga segala apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan juga harus mampu meninggalkan apa saja yang makruh (dibenci agama). Seperti merokok misalnya. Sikap wara’ merupakan sikap utama ajaran Islam dalam membentuk akhlak islami yang mengantarkan seorang muslim ke derajat yang mulia dan agung. Untuk itu Rasulullah SAW sang pemilik akhlak yang agung memberikan petunjuk kepada kita : “Diantara kebaikan Islam seseorang adalah (kemampuannya) meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban).

Faedah Sikap Wara’

Menurut Syeikh Muhammad Sholeh Al-Munjid dalam bukunya “Silsilatu A’malil Qulub” halaman 324 ada tujuh faedah sikap wara’ :

    Terpelihara dari azab Allah dan menentramkan jiwa.
    Terpelihara dari makanan yang haram.
    Terpelihara dari penggunaan waktu yang tidak bermanfaat.
    Meraih cinta dan kasih sayang Allah SWT.
    Do’a orang yang wara’ pasti diterima (diijabah) Allah SWT.
    Bertambahnya kebaikan dan Ridho Allah.
    Perbedaan derajat manusia di surga berdasarkan kepada wara’. Karena wara’ merupakan hakikat taqwa.

Sikap wara’ yang bermuara pada sifat zuhud dapat diartikan sebagai berpaling dari sesuatu yang tidak diperlukan dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat kelak. Jadi orang yang berwatak wara’ dan bersifat zuhud, mereka senantiasa hidup sesuai dengan kebutuhan, mereka tidak pernah hidup sesuai dengan keinginan-keinginan (hawa nafsu). Orang yang hidup sesuai dengan kebutuhannya, mereka akan meraih ketenangan batin dan kebahagiaan. Sebaliknya, orang yang hidup berdasarkan keinginan-keinginan (hawa nafsu) tidak akan pernah mengecap dan menikmati yang namanya kebahagiaan hidup. Karena kehidupan ini menurut Al-quran hanyalah senda gurau dan permainan yang melalaikan.

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS 57:20).

Faedah wara’ yang utama adalah membuahkan rasa takut (al-khauf) dan dekat kepada Allah SWT. Al-khauf akan menghasilkan sikap wara’ (meninggalkan segala yang haram) dalam hidup ini. Sikap wara’ akan membuahkan sikap zuhud (hidup sesuai dengan kebutuhan). Dari khauf, wara’, dan zuhud, akhirnya menuju taqwa. Inilah pokok moralitas yang penting dalam menata hidup dan kehidupan ini.

Abi Naufal ( 17-2-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman