Kamis, 10 Januari 2013

MENGGAPAI MAHABBATULLAH

Ciri-ciri Cinta:
MENGENAL ALLAH SWT

1.Selalu mengingat-ingat (QS. 8:2 )

2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman[594] ialah mereka yang bila disebut nama Allah[595] gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

[594] Maksudnya: orang yang sempurna imannya.

[595] Dimaksud dengan disebut nama Allah Ialah: menyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan memuliakannya.

2.Mengagumi (QS. 1:1 )

3.Ridha /rela (QS. 9:61 )

4.Siap berkorban (QS. 2:207 )

5.Takut(QS. 21:90 )

6.Mengharap(QS. 21:90 )

7.Menaati(QS. 4:80 )

Tingkatan Cinta:

1.Cinta menghamba —hanya dengan Allah —untuk menyembah atau mengabdikan diri (QS. 2:21 )

2.Mesra —dengan Rasulullah dan Islam —untuk diikuti

3.Rasa rindu —dengan Mukminin (keluarga atau jamaah)— untuk saling kasih sayang dan saling mencintai (QS. 48:29 , 5:54 , 55 dan 56 )

4.Curahan hati — untuk kaum Muslimin umumnya — untuk persaudaraan Islam

5.Rasa simpati — pada manusia umumnya — untuk dida’wahi

6.Hubungan hati — hanya dengan benda-benda — untuk memanfaatkan

Kelaziman Cinta:

1.Menghasilkan loyalitas (wala).

2.Mencintai siapa-siapa yang dicintai Kekasih

3.Mencintai apa saja yang dicintai Kekasih

4.Melepaskan diri (bara’):

5.Membenci siapa saja yang dibenci Kekasih

6.Membenci apa saja yang dibenci Kekasih

Teladan Cinta Kepada Allah swt

Sayidina Ali ra.

Sewaktu masih kecil Husain (cucu Rasulullah Saw.) bertaya kepada ayahnya, Sayidina Ali ra: “Apakah engkau mencintai Allah?” Ali ra menjawab, “Ya”. Lalu Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?” Ali ra kembali menjawab, “Ya”. Husain bertanya lagi: “Apakah engkau mencintai Ibuku?” Lagi-lagi Ali menjawab,”Ya”. Husain kecil kembali bertanya: “Apakah engkau mencintaiku?” Ali menjawab, “Ya”. Terakhir Si Husain yang masih polos itu bertanya, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” Kemudian Sayidina Ali menjelaskan: “Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Nabi Saw.), ibumu (Fatimah ra) dan kepada kamu sendiri adalah kerena cinta kepada Allah”. Karena sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang-cabang cinta kepada Allah Swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.

Rabi’ah Al-Adawiyah

Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi’ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: “Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah Swt”. Tentang cinta itu sendiri Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada Allah adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah dihitung dalam mencintai Allah Swt. Seorang mukmin pecinta Allah pastilah mencintai apa apa yang di cintai-Nya pula. Rasulullah pernah berdoa: “Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah dzat-Mu lebih aku cintai dari pada air yang dingin.”

Selanjutnya Rabiah -yang sangat terpandang sebagai wali Allah karena kesalehannya- mengembangkan konsep cinta yang menurut hematnya harus mengikuti aspek kerelaan (ridha), kerinduan (syauq), dan keakraban (uns). Selain itu ia mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan harus mengesampingkan dari cinta-cinta yang lain dan harus bersih dari kepentingan pribadi (dis-interested). Cinta kepada Allah tidak boleh mengharapkan pahala atau untuk menghindarkan siksa, tetapi semata-mata berusaha melaksanakan kehendak Allah, dan melakukan apa yang bisa menyenangkan-Nya, sehingga Ia kita agungkan. Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Allah akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahannya yang sempurna. Rumusan cinta Rabiah dapat di simak dalam doa mistiknya: “Oh Tuhan, jika aku menyembahmu karena takut akan api neraka, maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembahmu karena berharap surga, maka campakanlah aku dari sana; Tapi jika aku menyembahmu karena Engkau semata, maka janganlah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi.”

Bayazid Bustami

Bayazid Bustami sering mengatakan: “Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang di peroleh kekasih, meskipun itu sedikit.” Kata-kata arif dari sufi pencetus doktrin fana’ ini dapat kita artikan bahwa ciri-ciri seorang yang mencintai Allah pertama adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang identik dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mau berhenti berdakwah. Dengan kobaran cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pamannya: “Wahai pamanku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa”. Ciri kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang di berikan Allah. Bahkan ia akan selalu ridha terhadap Allah walaupun cobaan berat menimpanya.

Imam Al-Ghazali

Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. “(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Sang Hujjatul Islam ini kata mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandung arti biji atau inti. Sebagian sufi mengatakan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeda dalam menjalankan syariat karena mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu.

Ibnu Qayyim

Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.

Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:

Aku cemburu kepada-Nya,

Karena aku Cinta kepada-Nya,

Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,

Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku

Mahabbah dan Mawaddah

Mahabbatullah wa mahabbatur-rasul juga merupakan bagian penting yang terungkap dari teks naskah Dhiyâul Wara ilâ Tharîq Sulûk al-Ma’bud al-Ûlâ. Dalam bahasa Arab terdapat dua kata yang artinya cinta yaitu mahabbah dan mawaddah. Kata mahabbah berasal dari kata kerja dasar h-b-b (habba-yahubbu-hubb-mahabbah).  Hubb al-źât artinya selfishness; egoisme. Hubb al-watan artinya patriotism. Hibb juga sama artinya dengan habîb; mahbûb, ‘asyîq (lover; sweetheart; darling).

Dari sisi ilmu tasawuf, cinta merupakan tahap tertinggi bagi seorang sufi yang menyelaminya di samping kepuasan (rida), kerinduan (syauq), dan keintiman (uns). Rida tercermin pada ketaatan yang tulus dari pencinta terhadap kehendak yang dicinta. Syauq ialah rasa rindu si pecinta untuk bertemu dengan Kekasih. Uns merupakan bentuk hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih. Setelah tahap cinta, seorang sufi langsung mencapai ma‘rifah di mana sufi mampu menyingkap keindahan dan menyatu dengan-Nya. Bagi seorang sufi, cinta merupakan doktrin. Di sana dikatakan bahwa: Urusan manusia adalah menghapus, sejauh mungkin, elemen yang bukan Allah, dan untuk dapat menyatu dengan Allah, penggabungan dengan Yang Suci itu, akan dapat dicapai pada saat kematian, meskipun sebenarnya memungkinkan untuk dicapai pada saat hidup walau dalam tahap tertentu.

‘Cinta atau mahabbah mengandung berapa unsur pokok yaitu: kesenangan, keindahan, keharmonisan, kedekatan, intensitas, dan timbal-balik. Adapun faktor-faktornya ialah: pertama, pelaku, adalah sesuatu yang hidup; kedua, sasaran, dapat berupa apa saja, baik yang hidup atau tidak; ketiga, situasi dan kondisi pencinta; keempat, adanya motif atau tujuan.16

Tangga Menuju CintaNya Allah SWT

    Membaca Al-Qur’an dengan memikirkan dan memahami maknanya.
    Berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah yang wajib.
    Selalu mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala , baik de-ngan lisan, hati maupun dengan anggota badan dalam setiap keadaan.
    Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Subhannahu wa Ta’ala daripada dirinya ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.
    Memahami dan mendalami dengan hati tentang nama dan sifat-sifat Allah.
    Melihat kebaikan dan nikmatNya baik yang lahir maupun yang batin.
    Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
    Beribadah kepada Allah pada waktu sepertiga malam terakhir (di saat Allah turun ke langit dunia) untuk bermunajat kepadaNya, membaca Al-Qur’an , merenung dengan hati serta mempelajari adab dalam beribadah di hadapan Allah kemudian ditutup dengan istighfar dan taubat.
    Duduk dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah dari para ulama dan da’i, mendengar-kan dan mengambil nasihat mereka serta tidak berbicara kecuali pembicaraan yang baik.
    Menjauhi/menghilangkan hal-hal yang menghalangi hati dari mengingat Allah Subhannahu wa Ta’ala .

Mereka yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta’ala :

    Attawabun (orang-orang yang ber-taubat),
    Al-Mutathahhirun (yang suka bersuci),
    Al-Muttaqun (yang bertaqwa),
    Al-Muhsinun (yang suka berbuat baik)
    Shabirun (yang penyabar),
    Al-Mutawakkilun (yang bertawakal kepada Allah)
    Al-Muqsithun (yang berbuat adil).
    Orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam satu barisan seakan-akan mereka satu bangunan yang kokoh.
    Orang yang berkasih-sayang, lembut kepada orang mukmin.
    Orang yang menampakkan izzah/kehormatan diri kaum muslimin di hadapan orang-orang kafir.
    Orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah.
    Orang yang tidak takut dicela manusia karena beramal dengan sunnah.
    Orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah wajib.

Abi Naufal

( 3-2-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman