Senin, 14 Januari 2013

IKHLAS

IKHLAS BERAMAL

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.(al-Furqan:23)

Makna Ikhlas

Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin -semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian untuk berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah-, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amalan apapun dari siapa pun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil, yaitu:
1.    Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah Ta’ala.
2.    Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-.

Dalil untuk kedua syarat ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam beberapa tempat dalam Al“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (QS. Al-Kahfi : 110)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata dalam Tafsirnya (3/109) menafsirkan ayat di atas, “[Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh], Yaitu apa-apa yang sesuai dengan syari’at Allah, [dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya] yaitu yang hanya diinginkan wajah Allah dengannya tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun untuk amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas syari’at Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-”.

Dan juga Firman Allah Ta’ala:
“Dia lah yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah -rahimahullah- (18/250) berkata ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”], “(Yaitu) Yang paling ikhlas dan yang paling benar. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasannya akan tetapi belum benar, maka tidak akan diterima. Jika amalan itu benar akan tetapi tanpa disertai keikhlasan, maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya (diperuntukkan) bagi Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah (Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-)”.
-Qur`an. Di antaranya:

Ikhlas berasal dari kata khalasha, maknanya yaitu kejernihan dan hilangnya segala sesuatu yang mengotorinya. Dengan demikian, kata ikhlash menunjukkan kepada sesuatu yang jernih, bersih dan bebas dari campuran dan kotoran. Di antara makna ikhlas menurutb ulama’ adalah “Amal yang dilakukan hanya karena Allah, tidak untuk selain Allah”

Orang yang Ikhlas (mukhlis) adalah orang yang tidak peduli apakah keluar seluruh kemampuannya di hati orang lain karena kebenaran hatinya terhadap Allah, dan dia tidak ingin menampakkan amalnya meskipun hanya sebiji sawi kepada orang lain

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Hakekat Ikhlas

Dari segi bahasa ikhlas berarti membersihkan dan memurnikan sesuatu.

Adapun menurut syari'at ikhlas mempunyai makna yang sangat banyak yang kesemuanya adalah benar dan saling melengkapi.

Diantara makna ikhlas menurut Salafush Shaleh -Rahimahumullah adalah:

"Hanya berorientasi kepada Allah Yang Maha Esa semata dalam beribadah."
"Membersihkan hati dari segala yang mengotori kebeningannya."
"Menghindari perhatian makhluk."
"Mengesakan Allah dalam tujuan ketaatan."
"Memurnikan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dari segala kotoran."
"Apa yang tidak diketahui Malaikat sehingga mencatatnya, tidak diketahui oleh musuh sehingga merusaknya dan tidak ujub (bangga diri) atasnya pelakunya sehingga membatalkannya."
"Pemotivasi dalam mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan adalah mencari Ridha Allah."
"Melupakan pandangan makhluk dengan terus menerus memandang Al-Khaliq (Allah)."
"Sama antara amal lahir dan batin seorang hamba dan bahkan batinnya lebih baik dari lahirnya."
"Tidak ingin amalnya diketahui oleh yang lain selain Allah dan tidak pula mengharapkan balasan dari yang lain selain Allah."
"Mengharapkan dengan segenap hati, amal dan perbuatan mencari ridha Allah dan takut dari murka Allah."
"Menutupi kebaikan-kebaikan sebagaimana menutupi keburukan-keburukan."
"Tidak mengaku atau melihat dirinya telah berbuat ikhlas."...Dll...

Semua definisi diatas adalah benar dan saling melengkapi, intinya, ikhlas adalah tujuan seorang hamba dalam ketaatan dan taqarrubnya (mendekatkan dirinya) kepada Alah semata-mata hanya Allah saja tanpa yang lain. Bukan karena manusia, ingin dipuji, suka dipuji, ingin dilihat, didengar, ingin mendapatkan materi duniawi, popularitas atau yang lainnya.

Niat Bertaqarrub ?

Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut:

Pertama, dia memang ingin ber-taqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.

Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah rodhiallaahu’anhu bahwasanya Nabi shollallaahu’alahi wasallam bersabda, “Allah subhanahu wata’ala berfirman,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.

“Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya.”[1]

Kedua, dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan ber-taqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ

أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16).

Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.

Ketiga, dia bermaksud untuk ber-taqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya -disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya; dia berhaji -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syiar haji (al-Masya’ir) dan bertemu para jamaah haji; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala mengenai para jamaah haji,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُم

“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 198).

Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya,
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُواْ مِنْهَا رَضُواْ وَإِن لَّمْ يُعْطَوْاْ مِنهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58).

Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah rodhiallaahu’anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila-penj.) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah sholallaahu’alaihi wasallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi sholallaahu’alaihi wasallam tetap menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala.”[2]

Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Umar bin al-Khaththab rodhiallaahu’anhu bahwasanya Nabi shollallaahu’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

“Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrah-nya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut”.[3]

Ciri-ciri Beramal dengan Ikhlas

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

Menjaga Keikhlasan

Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di antara hal-hal tersebut adalah

1. Banyak Berdoa

Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:

 “Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad)

Nabi kita sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan padahal beliau adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan,

2. Menyembunyikan Amal Kebaikan

Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits,
“Tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki kedudukan, namun ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga meneteslah air matanya.” (HR Bukhari Muslim).

3. Memandang Rendah Amal Kebaikan

Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia. Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.”

4. Takut Akan Tidak Diterimanya Amal

Allah berfirman:

 “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut ( Tafsir Ibnu Katsir ).
Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia
Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya, beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim)
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak disukai manusia. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan pujian atau celaan orang lain sebagai sebab engkau beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas. Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia beramal saleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal sholeh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah diri) kepada Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagimu maupun celaan yang dapat membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita pilih wahai saudaraku, dipuji manusia namun Allah mencela kita ataukah dicela manusia namun Allah memuji kita

5. Menyadari Bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka
Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan berdiri di padang mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka, maka ia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka. Karena tidak satu pun dari mereka yang dapat menolong dia untuk masuk surga ataupun menyelamatkan dia dari neraka. Bahkan saudaraku, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai manusia terakhir berdiri di belakangmu, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya untuk mereka?
Keikhlasan seorang abrar adalah apabila amal perbuatannya telah bersih dari riya‘ baik yang jelas maupun tersamar. Sedangkan tujuan amal perbuatannya selalu hanya pahala yang dijanjikan Allah SWT. Adapun keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin adalah ia merasa bahwa semua amal kebaikannya semata-mata karunia Allah kepadanya, sebab Allah yang memberi hidayah dan taufik.
Dengan kata lain, amalan seorang hamba yang abrar dinamakan amalan lillah, yaitu beramal karena Allah. Sedangkan amalan seorang hamba yang muqarrabin dinamakan amalan billah, yaitu beramal dengan bantuan karunia Allah. Amal lillah menghasilkan sekedar memperhatikan hukun dzahir, sedang amal billah menembus ke dalam perasaan kalbu.
Pantaslah seorang ulama ahli hikmah menasihatkan,“Perbaikilah amal perbuatanmu dengan ikhlas, dan perbaikilah keikhlasanmu itu dengan perasaan bahwa tidak ada kekuatan sendiri, bahwa semua kejadian itu hanya semata-mata karena bantuan pertolongan Allah saja.“
Tentulah yang memiliki kekuatan dashyat adalah keikhlasan seorang hamba yang muqarrabin yang senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.wallah a’lam bishawab.

Jakarta 4-2-2011

1 komentar:

  1. alhamdulillah,,,,sangat jelas arah dan maksud dr kupasan makna ke ikhlasan.jazakallahu semoga tulisan ini menjadi ilmu yg bermanfaat bagi siapa saja yg membaca n mengamalkannya

    BalasHapus

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman