Kamis, 10 Januari 2013

MEMAHAMI TASAWUF

                                       Definisi Tasawuf/Sufi

Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di

zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol)(Majmu’ul Fatawa, 11/5-6).
Ilmu Tasawuf

Pendapat KH Siradjuddin Abbas, dalam buku beliau “40 Masalah Agama” Jilid 3, hal 30.Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu Tauhid (Usuluddin), ilmu Fiqih dan  ilmu Tasawuf.Ilmu Tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai keTuhanan, keRasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya .Ilmu Fiqih bertugas membahas soal-soal ibadat lahir, seperti sholat, puasa, zakat, naik haji dan lain

Ilmu Tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain.

Ringkasnya: tauhid ta’luk kepada i’tiqad, fiqih ta’luk kepada ibadat, dan tasawuf ta’kluk kepada akhlak

Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (usuluddin), supaya beribadat sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.

Pandangan paling monumental tentang Tasawuf muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa Tasawuf atau Sufi muncul dari akar-akar historis, bahasa, intelektual dan filsafat di luar Islam.

Dalam buku Ar-Risalatul Qusyairiyah ia menegaskan bahwa kesalahpahaman banyak orang terhadap tasawuf semata-mata karena ketidaktahuan mereka terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah firman Allah swt:

    “Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
    ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia mendzikirkan nama Tuhannya lalu dia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)
    “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa” (QS. Al-A’raf: 205)

    “Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 282)

Sabda Nabi saw:

    “Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
    Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
        Muhammad al-Jurairy:
        “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”
        Al-Junaid al-Baghdady:
        “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan dirimu bersama dengan-Nya.”
        “Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
        “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
        “Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
        “Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’ dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
        “Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
        “ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
        Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
        “Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”
        Abu Hamzah Al-Baghdady:
        “Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem, bunyi.”
        Amr bin Utsman Al-Makky:
        “Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”

        Mohammad bin Ali al-Qashshab:
        “Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”
        Samnun:
        “Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”
        Ruwaim bin Ahmad:
        “Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendaki-Nya.”
        “Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra dan memilih.”
        Ma’ruf Al-Karkhy:
        “Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
        Hamdun al-Qashshsar:
        “Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”
        Al-Kharraz:
        “Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”
        Sahl bin Abdullah:
        “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
        Ahmad an-Nuury:
        “Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya dan peduli orang lain ketika ada.”
        Muhammad bin Ali Kattany:
        “Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”
        Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
        “Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”
        “Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”
        Abu Bakr asy-Syibly:
        “Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”
        “Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, ‘Dan Aku telah

        Memilihmu untuk Diri-Ku’ (Thoha: 41) dan memisahkanmu dari yang lain. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, ‘Engkau tak akan bisa melihat-Ku’.”
        “Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
        “Tasawuf adalah kilat yang menyala dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
        “Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
        Al-Jurairy:
        “Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
        Al-Muzayyin:
        “Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
        Askar an-Nakhsyaby:
        “Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”
        Dzun Nuun Al-Mishry:
        “Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”
        Muhammad al-Wasithy:
        “Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
        Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
        “Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, ‘siapakah, yang menurutmu Sufi itu?’ Lalu ia menjawab, ‘Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit’. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”
        Ahmad ibnul Jalla’:
        “Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
        Abu Ya’qub al-Madzabily:
        “Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
        Abul Hasan as-Sirwany:
        “Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.”
        Abu Ali Ad-Daqqaq:
        “Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, ‘Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang’.”
        “Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”
        Abu Sahl ash-Sha’luki:
        “Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”

Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.

Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.

Pengertian Tasawuf Menurut Ahlinya

Menggambarkan tasawuf dengan gambaran akhlak, kezuhudan, peribadatan dan kekeramatan lahiriah semata-mata seperti yang telah dijelaskan, ternyata tidak tepat dan tidak menggambarkan intipati serta gambaran menyeluruh tentang tasawuf itu. Pengertian sebenar tasawuf itu ialah pencapaian darjat ihsan yang digambarkan dalam hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud “ihsan itu ialah engkau beribadah kepada Allah seolah-olahnya engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau”. Ternyata bahawa hakikat ihsan itu tercapai dengan dua perkara iaitu ibadah yang sempurna lagi berterusan dan kehadiran hati, kesedaran jiwa, serta penyaksian batin terhadap makna-makna ketuhanan (hakikat-hakikat tauhid) dalam ibadah tersebut. Penyaksian batin ini diistilahkan oleh ulama tasawuf sebagai muraqabah dan mushahadah dan ia mempunyai tingkatan-tingkatan yang tertentu. Pencapaian mushahadah inilah yang akan membuahkan berbagai ahwal dan maqamat dan dari sini jugalah timbulnya berbagai persoalan ilmu tasawuf.

Dengan kata lain, hakikat sebenar tasawuf itu ialah tercapainya kebersihan diri, zahir dan batin. Kebersihan zahir membawa maksud keterikatan anggota lahiriah manusia dengan peraturan atau hukum-hukum agama iaitu apa yang diistilahkan sebagai `ibadah. Kebersihan batin pula bermaksud kebersihan hati dari sifat-sifat tercela (takhalli) dan terhiasnya ia dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) iaitu apa yang disebut sebagai `ubudiyyah. Manakala kemuncak kebersihan batin manusia itu ialah terbuangnya sesuatu yang lain

dari Allah dari lubuk hati dan nyata kebenaran Allah di cermin hati itu (tajalli) iaitu apa yang dinamakan `ubudah. Kebersihan batin inilah yang membawa kepada tercapainya darjat ihsan seperti yang digambarkan dalam hadis.

Pengertian tasawuf seperti inilah yang dapat dilihat pada definisi yang diberikan oleh Shaykh `Abd al-Qadir al-Jilani. Menurut beliau, tasawuf itu ialah pembersihan hati (tasfiyah) dari sesuatu yang lain dari Allah. Menurut beliau, tasawuf itu diambil dari perkataan safa (musafat) iaitu bermaksud orang yang Allah bersihkan batinnya.

Pengertian ini jugalah yang ditemui pada definisi tasawuf yang dikemukakan oleh Shaykh Abu Bakr al-Kattani. Menurut beliau, tasawuf itu ialah kejernihan hati (safa’) dan penyaksian batin (mushahadah). Shaykh Ahmad Zaruq pula menjelaskan bahawa tasawuf telah dihurai, ditafsir dan didefinisikan sejumlah hampir dua ribu, semua itu terhimpun pada satu pengertian sahaja iaitu benarnya tawajjuh hati kepada Allah. Permulaan tawajjuh hati itu ialah terhasilnya intibah (kesedaran jiwa) yang membawa kepada taubah yang benar. Pertengahannya ialah merasai ahwal dan mencapai maqamat. Kesudahannya pula ialah tertumpu pandangan hati hanya kepada Allah semata-mata, tidak kepada yang lain dari-Nya. Di sinilah terhasilnya mushahadah dan inilah kemuncak ihsan.

Lahirnya Ajaran Tasawuf

Pada jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Islam tidak mengenal aliran tasawwuf, juga pada masa shahabat dan tabi’in (yaitu generasi setelah shahabat yang mereka itu menuntut ilmu dari para shahabat). Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu Sufi dengan nama tarekatnya Tasawwuf. (Dari kitab Sufiyyah fi mizanil kitab wa sunnah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).

Adapun hanya sekedar pengakuan tanpa adanya dalil yang menerangkan ataupun dari berita-berita dusta yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya ra. adalah juga golongan tasawwuf maka cara berhujjah seperti ini tidaklah dapat diterima oleh orang yang berakal.

Aliran Sufiyyah mempunyai banyak tarekat (jalan)

Antara lain : Tijaniyyah, Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Syadzaliyyah, Rifa’iyyah dan lainnya yang semuanya mengaku diatas jalan yang benar dan menganggap jalan yang lain adalah batil/salah.

Padahal Islam telah melarang adanya perpecahan (membuat jalan baru), seperti firman Allah :

“...dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum :31-32)

Aliran sufi memeliki sifat fanatisme terhadap syaikh-syaikh mereka

Sekalipun mereka menyelisihi Allah dan Rasul-Nya. Padahal Allah SWT berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat : 1)

Dan rasulullah SAW bersabda :

Tidak ada ketaatan bagi seseorang dalam berbuat maksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam berbuat baik. (HR. Bukhari & Muslim)

Namun kebanyakan manusia sekarang ini mengambil apa saja yang dikatakan oleh gurunya tanpa mau memeriksa apakah perkataan gurunya itu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak. Dia menelan apa saja yang dikatakan oleh gurunya yang disangkanya gurunya bebas dari kesalahan, maka jika gurunya sesat maka sesat pulalah dia, padahal dia bertanggung jawab terhadap setiap amalan dirinya kelak di hadapan Allah SWT.

Demikianlah yang menimpa ummat-ummat terdahulu, mereka mengikuti saja apa yang dikatakan oleh para guru-guru mereka, tanpa menyesuaikannya dengan Kitab yang telah diturunkan kepada mereka.

Allah berfirman :

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa. Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At-Taubah : 31)

Saat Rasulullah SAW membaca ayat ini didepan para Shahabatnya, maka berkata seorang Shahabat yang bernama ‘Adiy bin Hatim ; “Sungguh kami tidak menyembah mereka.” Beliau SAW bertanya ;”Tidakkah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, lalu kamupun mengharamkannya ? dan tidakkah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah, lalu kamupun menghalalkannya ?”

Aku (‘Adiy)menjawab, “Ya”. Maka beliau bersabda;”Itulah bentuk penyembahan kepada mereka.”

(Hadits Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan sanad Hasan)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).

Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).

Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan

tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. (Talbis Iblis hal 161).

Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17) “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).

Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14)

Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)

Asal-usul ajaran tasawuf


Banyak pendapat pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan

Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah[1]. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara orang penganut paham tersebut disebut orang sufi.

Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad [2].

Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah

, yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[3]

Beberapa definisi sufisme:
    Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
    Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen).

Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam:


    Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian
    menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [4]
    Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.]

Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam:

    Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
    (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).

    Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).

    Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam
    walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980)

    Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc)

Kedudukan Tasawuf Dalam Islam

Tasawuf adalah maqam ihsan. Ia merupakan sebahagian dari tiga bahagian utama agama iaitu islam, iman dan ihsan. Ketiga-tiga rukun agama ini dapat dilihat dengan jelas dalam hadis Jibril a.s. Ketika Jibril a.s. datang menemui Nabi s.a.w. dalam rupa seseorang yang tidak pernah dikenali oleh para sahabat, beliau telah mengemukakan beberapa pertanyaan mengenai Iman, Islam dan Ihsan. Pertanyaan itu sebenarnya merupakan suatu perkhabaran iaitu bertujuan mengkhabarkan kepada umat tentang rukun-rukun agama. Perkara ini dapat dilihat di mana Nabi s.a.w. menjelaskan bahawa “ Dialah Jibril yang datang kepada kamu untuk mengajarkan kepada kamu tentang agama kamu”.

Dari penjelasan Nabi s.a.w. terhadap pertanyaan Jibril jelas menunjukkan bahawa Islam itu merujuk kepada amalan lahiriah iaitu perlaksanaan terhadap perintah-perintah agama yang berpaksi pada lima rukun utamanya iaitu shahadah, solat, puasa, zakat dan haji. Iman pula merujuk kepada keyakinan hati terhadap rukun-rukun iman yang berpaksi pada enam rukun utamanya itu kepercayaan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhirat dan qada’ serta qadar. Manakala ihsan pula merujuk kepada amalan batin manusia iaitu penyaksiaan hati terhadap hadrat ilahi. Oleh itu islam melibatkan anggota lahiriah manusia, iman pula melibatkan anggota dalaman manusia iaitu hati, manakala ihsan pula merupakan gerak jiwa manusia.

Iman itu boleh diumpamakan sebagai tapak binaan, islam itu sebagai binaan asas, dan ihsan itu pula ialah pelengkap, penyempurna dan penyeri binaan. Tanpa iman, binaan tidak akan terbina kerana ketiadaan tapak. Tanpa islam, bererti hanya memiliki tapak

tanpa ada binaan. Tanpa ihsan, bererti hanya memiliki tapak dan binaan asas tanpa pelengkap dan penghiasnya. Kesempurnaan hanya tercapai dengan ketiga-tiga perkara itu. Memiliki tapak semata-mata tanpa ada bangunan menjadikan seseorang itu merasai keperitan kepanasan matahari dan kesejukan hujan. Demikian juga orang yang hanya beriman tanpa melaksanakan tuntutan islam akan diazab di akhirat sekiranya dosa-dosanya itu tidak diampunkan Allah, namun kesudahannya dia tetap ke syurga juga kerana keimanannya itu. Memiliki tapak dan binaan asas pula menjadikan seseorang itu dapat berteduh namun tempat berteduhnya itu tidak sempurna kerana tidak memiliki kelengkapan dan hiasan, malahan seringkali terdedah kepada kecurian. Demikian juga orang yang beriman dan melaksanakan tuntutan islam tetapi tidak berihsan, amalan yang dilakukan itu kurang sempurna malahan kadang-kadang amalan tersebut tidak diterima dan mengundang kemurkaan Allah. Perkara seumpama inilah yang dapat dilihat pada firman Allah yang bermaksud “celakalah bagi orang yang bersolat”.

Tasawuf sebenarnya merupakan saripati atau jiwa agama. Dengannya agama itu dapat dirasai kebenaran dan kemurniannya. Ia merupakan penyempurna kepada agama itu sendiri di mana ia memberikan nilaian tambahan terhadap keimanan dan keislaman.

Dalam hal ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “iman yang paling utama ialah bahawa engkau mengetahui bahawa Allah itu menyaksikan engkau di mana sahaja engkau berada”. Hadis ini menunjukkan bahawa iman itu mempunyai tingkatan yang berbeza, dan tingkatan iman yang paling utama ialah iman yang didasari atas pengetahuan dan penyaksian terhadap hakikat tilikan Allah serta taklukan sifat-sifat-Nya terhadap diri manusia. Inilah yang dikatakan ihsan seperti yang disabdakan oleh Nabi s.a.w. yang bermaksud “ihsan itu ialah engkau beribadah kepada Allah seolah-olahnya engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihat engkau”.

Cara Mencapai Tasawuf

Menurut Imam al-Ghazali, setiap maqam agama itu seperti taubat, sabar, syukur, reda, tawakkal dan sebagainya, adalah terdiri dari tiga perkara iaitu ilmu, amal dan hal (nur). Dengan ketiga-tiga perkara inilah tercapainya kesempurnaan maqam agama itu. Hal atau nur inilah merupakan intipati ilmu tasawuf. Ilmu diperolehi menerusi pengkajian dan pembelajaran dan ilmu itu pula menghendaki pengamalan. Amal yang jujur, bersungguh-sungguh, istiqamah dan berdasarkan ilmu itulah yang akan membuahkan hal. Oleh itu tasawuf dicapai menerusi ilmu dan amal. Perkara ini dapat dilihat pertunjuknya dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an, antaranya ialah firman Allah yang bermaksud “dan orang-orang yang bermujahadah pada jalan Kami (Allah), pasti Kami (Allah) akan tunjukkan (hidayat) kepada mereka jalan-jalan Kami (Allah)”, firman Allah yang bermaksud “wahai

orang-orang yang beriman, sekiranya kamu bertaqwa kepada Allah, nescaya Dia (Allah) akan menjadikan untuk kamu pemisah (furqan iaitu nur yang memisahkan antara haq dan batil)”, dan ayat-ayat lain lagi

Adapun amal yang menghasilkan tasawuf itu ialah amal yang berfungsi membersih dan mentawajjuhkan hati kepada Allah iaitu apa yang diistilahkan sebagai mujahadah dan riyadah. Amalan, tata-cara, adab-adab serta tunjuk-ajar dalam melaksanakan mujahadah dan riyadah inilah yang dinamakan tarekat. Mengenai amal tarekat ini, ulama tasawuf menjelaskan bahawa tarekat itu ialah engkau mengqasadkan hatimu kepada-Nya. Iaitu bermaksud, tarekat itu ialah berusaha sedaya upaya mentawajjuh dan menumpukan tumpuan hati kepada Allah menerusi amalan yang dilaksanakan. Apabila tawajjuh hati mula dicapai dan dirasai serta menjadi semakin kuat dan teguh, ia akan membawa kepada penyaksian batin (mushahadah) terhadap hakikat-hakikat tauhid iaitu apa yang disebut hakikat. Mengenai hakikat ini ulama tasawuf menjelaskan bahawa hakikat itu ialah engkau menyaksikan-Nya.

Intipati dari semua amal mujahadah dan riyadah yang membawa kepada tercapainya tasawuf itu ialah zikir. Menurut Ibn Qayyim, semua amal itu disyariatkan adalah untuk melaksanakan dhikrullah, iaitu apa yang dimaksudkan dengan amal-amal itu ialah dhikrullah. Menurut beliau lagi, tidak ada jalan untuk mendapatkan ahwal dan ma`rifah

itu kecuali menerusi zikir. Zikir sebagai amal penting dalam riyadah dan mujahadah ini dapat dilihat kebenarannya dalam banyak pertunjuk Nabi s.a.w. kepada para sahabat r.a. Dalam satu riwayat, Nabi s.a.w. ada menganjurkan para sahabat supaya memperbaharui iman. Mereka bertanya tentang cara bagaimana iman itu dapat diperbaharui. Nabi s.a.w. menjelaskan dengan sabda baginda yang bermaksud “perbanyakkan menyebut La ilaha illallah”. Memperbaharui iman itu bukan bermaksud menambah kepercayaan-kepercayaan baru, tetapi bermaksud memperteguh, memperdalam dan memperhalusi keyakinan sehingga hakikat-hakikat tauhid yang diimani dapat disaksikan kebenarannya oleh matahati. Caranya ialah selalu mengulangi kalimat tauhid sehingga ia tertanam teguh dalam hati sanubari.

Dalam riwayat yang lain, Nabi s.a.w. pernah mentalqinkan kalimat tauhid ini kepada sekumpulan sahabat. Shaddad ibn Aus meriwayatkan bahawa kami berada di sisi Nabi s.a.w. ketika baginda bersabda “angkatkan tangan-tangan kamu, lalu katakanlah La ilaha illallah”.

Tasawuf mengajarkan moral

Dalam kitab Ta’yad Al-Haqiqtul ‘Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh dan Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: “Tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”. Sedangkan Al-Junaid seorang pimpinan tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya:

“Ilmu Sufi (Tasawwuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya; Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya.”

Ilmu Tasawwuf dan Sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot, ketinggalan jaman, usang, out of date, bahkan disebut aneh. Akan tetapi di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawwuf memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawwuf. Sehingga ia menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang dengan mempelajari ilmu Tasawwuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.
Menurut Imam Malik ra. (94-179 H/716-795 M) menyatakan: “Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man

tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran).” Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.
Jadi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT. itu ada dan mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam Agma Islam. Selain itu pula untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan Tauhidullah sebagai Esensi Aqidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang syariat-syariat Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu Tasawwuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawwuf.
Cintanya orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu kenikmatan tersendiri dalam bertasawwuf, cara ini mampu membersihkan jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam dunia Sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya al-Hallaj yang mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori al-Hulul atau penitisan (Penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia). Perkataan dan perbuatan al-Hallaj ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam, sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi penyimpangan oleh seorang Waliyullah yaitu

Syeikh Siti Jennar yang mirip dengan teori al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para Wali di Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati seseorang.

Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini. Dengan bertasawwuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
Menurut Prof. DR. Hamka bahwa: “Tasawwuf Islam telah timbul sejak timbulnya Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur’an sendiri”. (Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid ada lima ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah Rasullaah Saw. dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
Oleh Karena itu Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam bidang Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman spriritual dalam Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan munafik. Sekali lagi bahwa tasawuf adalah mengajarkan moral, baik sesama manusia dan terhadap Tuhan. Wallah a’lam bis shawab

Abi Naufal (Jakarta 20-1-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman