SIAPA ABDULLAH
bin SABA’ ?
Salah
satu kesimpulan Quraish Shihab
dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda.
“Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda
dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara
kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan
penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak
juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan II, hal. 265).
Berbeda
dengan Quraish Shihab, pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren
Sidogiri, dikutip sambutan KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren
Sidogiri yang menegaskan: “Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai
hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu,
kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi
dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung
pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Berikut ini kita kutip sebagian kritik dari Pesantren
Sidogiri terhadap Quraish Shihab (selanjutnya Quraish Shihab disingkat “QS” dan
Pondok Pesantren Sidogiri disingkat “PPS”). Kutipan
dan pendapat QS dan PPS diambil dari buku mereka masing-masing.
1.
Tentang Abdullah bin Saba’.
QS:
“Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin
Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain –
ilmuwan kenamaan Mesir – adalah salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu
Saba’ itu dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.” (hal. 65).
PPS:
Bukan hanya sejarawan Sunni yang mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’.
Sejumlah tokoh Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya oleh kaum Syiah juga mengakui
kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sa’ad al-Qummi, pakar fiqih Syiah abad ke-3,
misalnya, malah menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin Saba’, yang
dikenal dengan sekte Saba’iyah. Dalam bukunya, al-Maqalat wa al-Firaq, (hal.
20), al-Qummi menyebutkan, bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang memunculkan
ide untuk mencintai Sayyidina Ali secara berlebihan dan mencaci maki para
sahabat Nabi lainnya, khususnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Kisah tentang
Abdullah bin Saba’ juga dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nukhbati dan
al-Kasyi, yang menyatakan, bahwa, para pakar ilmu menyebutkan bahwa Abdullah
bin Saba’ adalah orang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Atas dasar
keyahudiannya, ia menggambarkan Ali r.a. setelah wafatnya Rasulullah saw
sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa a.s. Kisah
Abdullah bin Saba’ juga ditulis oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, Tarikh Ibn
Khaldun. (hal. 44-46).
2.
Tentang hadits Nabi saw dan Abu Hurairah r.a.:
QS:
“Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan
seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian
menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan. Disamping
itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah,
demikian juga pengenalan Abu Hurairah r.a. menyangkut Nabi saw berada di bawah
kemampuan sahabat-sahabat besar Nabi saw, atau istri Nabi, Aisyah r.a.” (hal.
160).
QS:
“Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadits Ahlusunnah
tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak
meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah,
padahal hadits-haditsnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal.
150).
PPS:
“Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadits
sekaliber Abu Hurairah r.a. dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan
pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan
bertentangan dengan dalil-dalil hadits, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka
ulama serta realitas sejarah. Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu
Hurairah r.a. sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan
rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah
tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut, diantaranya adalah
al-Burhan fi Tabri’at Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh Abdullah bin
Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abu Hurairah fi Dhau’i
Marwiyatih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan, Muhammad
?Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam dan lain-lain.”
Dalam
Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa Abu Hurairah r.a. merupakan
sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama.
Imam Syafii juga menyatakan, “Abu Hurairah r.a. adalah orang yang memiliki
hafalan paling cemarlang dalam meriwayatkan hadits pada masanya.” (hal.
320-322).
Karena
kuatnya bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah, maka PPS menegaskan: “Dengan
demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah
tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadits
demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru kesangsian
terhadap Abu Hurairah r.a. seperti ditulis Dr. Quraish Shihab: “Karena itu,
harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin
besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima
riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan.” (hal. 322).
“Pernyataan
seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya
muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama
sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang
keutamaan Abu Hurairah dalam hadits-hadits Nabi saw, data-data sejarah dan
penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadits dan
sejarah). Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak,
ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ?ala Sunnah
Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a.
Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status dan pemikiran
Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323).
Tentang
banyaknya hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a., Dr. al-A’zhami melakukan
penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah adalah
jika dihitung hadits yang substansinya diulang-ulang. Jika penghitungan
dilakukan dengan mengabaikan hadits-hadits yang diulang-ulang substansinya,
maka hadits dari Abu Hurairah yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal
1336 saja. “Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang
tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu
Hurairah, yang merupakan bagian dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang
dalam pandangan Syiah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Husain Kasyif
al-Ghitha’ (tokoh Syiah kontemporer yang menjadi salah satu rujukan kaum Syiah
masa kini), yang juga dikutip oleh QS: “Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi
saw kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub,
Amr bin Ash dan sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak
memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun.” (hal. 313).
PPS
juga menjawab tuduhan bahwa Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak mau
meriwayatkan hadits dari Imam-imam Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu
prasangka belaka dan tidak didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam
kitab-kitab Ahlusunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam
Bukhari memang tidak meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan
berbagai alasan, terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum
Syiah kepada Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari
juga tidak meriwayatkan hadits dari Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan
karena beliau membenci mereka. (hal. 324-330).
3.
Tentang pengkafiran Ahlusunnah:
QS:
“Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara
lain di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah
Imamiyah yang shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang
menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi Syiah itu.
Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka
tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.”
(hal. 120).
PPS:
“Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang
sesungguhnya memang seperti apa yang digambarkannya (tidak menganggap
Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa mengira bahwa faktanya tidak
seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita merujuk langsung pada
fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab
hendak mengelabui pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya,
Syiah tetap Syiah. Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan
keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan,
bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni
tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah… “Suatu ketika,
tokoh Syiah terkemuka, Muhammad al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masa’il
Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang
berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian
hukum antar shalat kita dan shalat mereka?” Muhammad Husain Fadhlullah
menjawab: “Boleh, asalkan dengan menggunakan taqiyyah.” (348-349).
Seorang
dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah)
seringkali shalat bersama Ahlusunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah
dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka
mengulangi shalatnya ketika pulang.” (hal. 350-351).
Banyak
sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan
PPS ini. Karena itu, mereka juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa
yang mengkafirkan Ahlusunnah hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. PPS
juga mengimbau agar umat Islam berhati-hati dalam menerima wacana “Persatuan
umat Islam” dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata
dalam kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi
zalim, sementara Syiah diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Buku
terbitan PPS ini memang banyak memuat fakta dan data tentang ajaran Syiah, baik
klasik maupun kontemporer. Terhadap Imam mazhab yang empat, misalnya, dikutip
pendapat dalam Kitab Kadzdzabu ?ala as-Syiah, “Andai para dai Islam dan Sunnah
mencintai Ahlul Bait, niscaya mereka mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan
tidak akan mengambil hokum-hukum agama mereka dari para penyeleweng, seperti
Abu Hanifah, asy-Syafii, Imam Malik dan Ibnu Hanbal.” (hal. 366).
Sumber:http://www.arrahmah.com
Jakarta 5/8/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar