BERJABAT TANGAN
DENGAN LAIN JENIS ?
إِنَّ
الْـمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْـمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ بِيَدِهِ
فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
“Sesungguhnya seorang
mukmin apabila bertemu dengan mukmin yang lain, lalu ia mengucapkan salam dan
mengambil tangannya untuk menjabatnya, maka akan berguguran kesalahan-kesalahan
keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun pepohonan.” (HR. Al-Mundziri dalam
At-Targhib 3/270, Al-Haitsami dalam Al-Majma’ 8/36, lihat Ash-Shahihah no. 526)
مِنْ تَمَامِ
التَّحِيَّةِ أَنْ تُصَافِحَ أَخَاكَ
“Termasuk
kesempurnaan tahiyyah (ucapan salam) adalah engkau menjabat tangan saudaramu.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 968, Asy-Syaikh Al-Albani t dalam
Shahih Al-Adabil Mufrad menyatakan: Sanadnya shahih secara mauquf)
لَأَنْ يُطْعَنَ
فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ
امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang
ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita
yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil
bin Yasar z, lihat Ash-Shahihah no. 226)
Muqaddimah
أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ n كَانَ
يَمْتَحِنُ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ الْـمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ الْآيَةِ
بِقَوْلِ اللهِ تَعَالَى {ياَ أيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْـمُؤْمِنَاتُ
يُبَايِعْنَكَ} إِلَى قَوْلِهِ {غَفُورٌ
رَحِيمٌ} قَالَ عُرْوَةُ: قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ
مِنَ الْـمُؤْمِنَاتِ، قَالَ لـَهَا رَسُولُ اللهِ
n: قَدْ
باَيَعْتُكِ؛ كَلاَمًا، وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ
فِي الْـمُبَايَعَةِ، مَا يبُاَيِعُهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ: قَدْ باَيَعْتُكِ
عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya
Rasulullah n menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman
Allah ta’ala: “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman
untuk membaiatmu….” Sampai pada firman-Nya: “Allah Maha Pengampun lagi
Penyayang.” Urwah berkata, “Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita
yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut’.”
Rasulullah n pun berkata kepadanya, “Sungguh aku telah membaiatmu”, beliau
nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” Aisyah berkata, “Tidak, demi
Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita
pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan
ucapan, “Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut.” (HR. Al-Bukhari no.
4891 dan Muslim no. 4811)
Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani t berkata, “Rasulullah n membaiat mereka hanya dengan mengucapkan
“Sungguh aku telah membaiatmu”, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut
sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan
menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)
Anas bin Malik z
berkata:
لـَماَّ جاَءَ
أَهْلُ الْيَمَنِ، قَالَ النَّبِيُّ n: قَدْ
أَقْبَلَ أَهْلُ الْيَمَنِ وَهُمْ أَرَقُّ قُلُوْبًا مِنْكُمْ، فَهُمْ أَوَّلُ
مَنْ جَاءَ بِالْـمُصَافَحَةِ
Tatkala datang ahlul
Yaman, berkatalah Nabi n: “Sungguh telah datang ahlul Yaman, mereka adalah
orang-orang yang paling halus/lembut hatinya daripada kalian.” (Kata Anas):
“Mereka inilah yang pertama kali datang membawa mushafahah (adat berjabat
tangan).” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 967, lihat Shahih
Al-Adabil Mufrad dan Ash-Shahihah no. 527)
Hadits Ma’qil bin
Yasar z yang telah disebutkan di atas.
Dalam hadits yang
dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad (2/213) dari Abdullah bin ‘Amr z, bahwasanya
Rasulullah n bersabda:
كَانَ لاَ
يُصَافِحُ النِّسَاءَ فِي الْبَيْعَةِ
“Beliau tidak
menjabat tangan para wanita dalam baiat.” (Dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh
Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 530)
Dijelaskan oleh
Sufyan bahwa maksud mereka adalah, “Marilah engkau menjabat tangan kami.” Dalam
riwayat Ahmad disebutkan dengan lafadz:
قُلْنَا: يَا
رَسولَ اللهِ، أَلاَ تُصَافِحُنَا؟
“Kami katakan, ‘Wahai
Rasulullah, tidakkah engkau menjabat tangan kami?’.”
Sementara memandang
wanita yang bukan mahram dengan sengaja adalah perkara yang dilarang dalam
syariat. Bila demikian, tentunya lebih terlarang lagi bila lebih dari sekedar
memandang.
Hukum Berjabat
Tangan ?
Menurut
jumhur (baca: mayoritas) ulama, berjabat tangan sesama mahram dibolehkan dan dihukumi
sunnah (dianjurkan).
Sedangkan
berjabat tangan dengan yang bukan mahram, ada silang pendapat di antara para
ulama, dibedakan antara berjabat tangan dengan yang sudah tidak punya rasa suka
(syahwat) dan berjabat dengan yang masih muda.
Menurut
Ulama Malikiyah, berjabat tangan dengan yang bukan mahram tetap tidak
dibolehkan walaupun berjabat tangan dengan yang sudah sepuh dan tidak punya
rasa apa-apa (tidak dengan syahwat). Mereka beralasan dengan keumuman dalil
yang melarangnya.
Ulama
Syafi’iyah mengharamkan berjabat tangan dengan yang bukan mahram, juga tidak
mengecualikan yang sudah sepuh yang tak ada syahwat atau rasa apa-apa. Mereka
pun tidak membedakannya dengan yang muda-muda.
Sedangkan
yang membolehkan berjabat tangan dengan non mahram yang sudah tua (yang tidak
ada syahwat) adalah ulama Hanafiyah dan ulama Hambali.
Namun untuk
berjabat tangan dengan non mahram yang muda, maka tidak dibolehkan menurut
mayoritas ulama dari madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalam pendapat Ibnu
Taimiyah, seperti itu dihukumi haram. Sedangkan ulama Hanafiyah mengaitkan
larangan berjabat tangan dengan yang muda jika disertai syahwat (rasa suka
padanya). Namun ulama Hambali melarang hal ini baik jabat tangan tersebut di
balik kain ataukah tidak. (Lihat bahasan dalam Kunuz Riyadhis Sholihin, 11: 452)
Pendapat 4 Madzhab ?
Maka
kami akan menyebutkan beberapa perkataan ulama madzhab yang terkenal dengan
keilmuannya akan Al-Quran dan Hadits Nabi. Sehingga dapat memberi pengetahuan
bahwa perkataan yang menyelisihinya adalah perkataan yang menyimpang dan tidak
sesuai dengan Al-Quran dan hadits Nabi.
1.Madzhab Hanafi
Penulis
kitab Al-Hidayah berkata: “Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki
untuk menyentuh wajah atau telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa
aman dari syahwat”
Penulis
kitab Ad-Dur Mukhtar mengatakan: “Tidak diperbolehkan menyentuh wajah
atau telapak tangan wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”
2.Madzhab Maliki
Imam
Ibnul Arabi, yang merupakan ulama madzhab Maliki, berkata mengenai firman Allah
yang artinya “Ketika datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
mengadakan janji setia kepadamu, bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah
dengan sesuatu apapun” (Al-Mumtahanah: 12) (Ayat ini turun berkenaan dengan
wanita-wanita muslimah yang ingin berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam. pent). Kemudian beliau menerangkan hadits dari Urwah
bahwasanya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shallallahu‘Alaihi
wasallam diuji dengan ayat ini “Jika datang kepadamu perempuan-perempuan
beriman”. Ma’mur berkata bahwasanya Ibnu Thawus mengabarkan dari bapaknya:
“Tidak boleh seorang laki-laki menyentuh tangan perempuan kecuali perempuan
yang ia miliki”.
‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha juga mengatakan di dalam Kitab Shahih Bukhari-Muslim:
“Tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam tidaklah menyentuh tangan
perempuan ketika membaiat (mengadakan janji setia)”. Dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam pun bersabda “(Ketika membaiat) Aku tidak berjabat
tangan dengan wanita, namun aku membaiatnya dengan ucapanku kepada seratus
orang wanita sebagaimana baiatku kepada satu orang wanita”. Diriwayatkan
pula bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam berjabat tangan
dengan wanita menggunakan bajunya.
Pada
riwayat yang lain, disebutkan Umar Radhiyallahu ‘Anhu berjabat tangan
dengan bajunya, dan ia memerintahkan para wanita untuk berdiri di atas batu
besar, kemudian Umar Radhiyallahu ‘Anhu membaiat mereka. Hadits ini
riwayatnya dhaif, namun bisa menjadi penguat dari hadits-hadits shahih
di atas.
Imam
Al-Baaji berkata dalam kitabnya Al-Muntaqa, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan
wanita”. Yakni tidak berjabat tangan langsung dengan tangannya. Dari hal
tersebut, diketahui bahwasanya cara berbaiat dengan laki-laki adalah dengan
berjabat tangan dengannya, namun hal ini terlarang jika membaiat wanita dengan
berjabat tangan secara langsung.
3.Madzhab As-Syafi’i
Imam
Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “Sahabat kami berkata bahwa
diharamkan untuk memandang dan menyentuh wanita, jika wanita tersebut telah
dewasa. Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan untuk memandang wanita yang
bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya atau dalam keadaan jual beli
atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya.
Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian.
Imam
Nawawi pun berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Hal ini menunjukkan
bahwa cara membaiat wanita adalah dengan perkataan, dan hal ini juga
menunjukkan, mendengar ucapan atau suara wanita yang bukan mahram adalah
diperbolehkan jika ada kebutuhan, karena suara bukanlah aurat. Dan tidak boleh
menyentuh secara langsung wanita yang bukan mahram jika tidak termasuk hal yang
darurat, semisal seorang dokter yang menyentuh pasiennya untuk memeriksa
penyakit”.
4.Madzhab Hambali
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu Fatawa, “Haram hukumnya
memandang wanita dan amrod (anak berusia baligh tampan yang tidak tumbuh
jenggotnya) diiringi dengan syahwat. Barang siapa yang membolehkannya, maka ia
telah menyelisihi Ijma (kesepakatan) kaum muslimin. Hal ini juga
merupakan pendapatnya Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi’i. Segala hal yang dapat menimbulkan
syahwat, maka hukumnya adalah haram tanpa keraguan di dalamnya. Baik itu
syahwat yang timbul karena kenikmatan memandang atau karena hubungan badan. Dan
menyentuh dihukumi sebagaimana memandang sesuatu yang haram.”
Ibnu
Muflih dalam Al-Furu’ mengatakan: “Diperbolehkan berjabat tangan antara
wanita dengan wanita, laki-laki dengan laki-laki, laki-laki tua dengan wanita
terhormat yang umurnya tidak muda lagi, karena jika masih muda diharamkan untuk
menyentuhnya”. Hal ini disebutkan dalam kitab Al-Fusul dan Ar-Ri’ayah.
Beliau
juga bercerita dalam kitab Kasyful Qina’ : “Abu Abdillah (Imam Ahmad)
pernah ditanya mengenai seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan wanita
yang bukan mahramnya, maka beliau menjawab, “Tidak boleh!”. Karena ingin
mendapat penjelasan lebih, maka aku bertanya: “Bagaimana jika berjabat
tangannya dengan menggunakan kain?”. Abu Abdillah pun mengatakan : “Tidak
boleh!”. Laki-laki yang lain ikut bertanya: “walaupun ia mempunyai hubungan
kerabat? Abu Abdillah (Imam Ahmad) juga mengatakan, “Tidak boleh!” Kemudian Aku
bertanya lagi, “Bagaimana jika ia adalah anaknya sendiri?”. Maka Abu Abdillah
menjawab: “jika yang ia jabat tangani adalah anaknya, maka hal ini tidaklah
mengapa”.
Ikhtitam
إِنِّي لاَ
أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لـِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي
لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku
tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus
wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita.” (HR. Malik 2/982/2, An-Nasa`i
dalam ‘Isyratun Nisa` dari As-Sunan Al-Kubra 2/93/2, At-Tirmidzi, dll. Lihat
Ash-Shahihah no. 529)
Sumber:1.http://muslim.or.id
2.http://rumaysho.com
Jakarta 25/8/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar