ISLAM AGAMA
MULIA ?
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan
orang-orang yang diberi ilmu (agama Allah) beberapa derajat” (Al-Mujaadilah: 11).
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ
أَقْدَامَكُمْ
“Hai
orang-orang mukmin, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (Muhammad:7).
Muqaddimah
SESUNGGUHNYA kemuliaan
akhlak itu terwujud dengan membersihkan jiwa dari sifat-sifat rendah lagi
tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Salah satu simpul
kemuliaan adalah: kamu tetap menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan
hubungan denganmu, memberikan kebaikan kepada orang yang tidak mau berbuat baik
kepadamu, dan memaafkan kesalahan orang lain yang menzalimi dirimu.
Akhlak yang
mulia memiliki berbagai keutamaan. Ia merupakan bentuk pelaksanaan perintah
Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan akhlak yang mulia
juga, seorang akan terbebas dari pengaruh negatif tindakan jelek orang lain.
Dengan kemuliaan akhlak pula seorang akan memperoleh ketinggian derajat.
Menolong Agama al-Islam ?
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ
أَقْدَامَكُمْ
“Hai
orang-orang mukmin, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (Muhammad:7). Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah
menafsirkan Ayat di atas,
هذا أمر منه
تعالى للمؤمنين، أن ينصروا الله بالقيام بدينه، والدعوة إليه، وجهاد أعدائه،
والقصد بذلك وجه الله، فإنهم إذا فعلوا ذلك، نصرهم الله وثبت أقدامهم
“Ini adalah
perintah dai Allah Ta’ala kepada kaum mukminin agar menolong agama Allah
dengan melaksanakan agama-Nya sebaik-baiknya, mengajak manusia kepada-Nya
(berdakwah), berjihad melawan musuh-musuh-Nya dan mendasari semua itu dengan
niat ikhlas mengharap bisa melihat wajah-Nya (saat berjumpa dengan-Nya, pent.).
Jika mereka melakukan hal itu, niscaya Allah menolong mereka dan meneguhkan
kedudukan mereka.”
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan
orang-orang yang diberi ilmu (agama Allah) beberapa derajat” (Al-Mujaadilah: 11) .
Imam Malik rahimahullah
ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,
نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ
مَنْ نَشَاءُ
“Kami
tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki” (Yusuf:76), beliau berkata
بالعلم
(Kami
tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki) dengan sebab ilmu (agama Allah)”
Guru beliau
pun, ‘Allamah Zaid bin Aslam rahimahullah menafsirkannya,
إنه العلم، يرفع
الله به من يشاء في الدنيا
“Sesungguhnya
(penyebab ditinggikannya derajat seseorang) adalah ilmu (agama Allah), Allah
menninggikan derajat hamba yang Allah kehendaki di dunia”
Islam itu Mulia ?
Seorang
doktor bidang aqidah bertanya kepada Syeikh Dr. Umar Al Asyqor guru besar ilmu
aqidah: ” Wahai Syeikh, saya sudah mencapai gelar akademik tertinggi dalam ilmu
aqidah, namun saya belum merasakan dalamnya aqidah ini tertanam di hati dan
jiwaku”.
Maka Syeikh
Umar Al Asyqor menjawab: “Pertanyaan itu sudah pernah ditanyakan oleh Sywikhul
Islam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah kepada gurunya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjawab: “Apa yang engkau pelajari hanyalah
kaidah-kaidah (rumusan-rumusan) dalam masalah aqidah, sedangkan jika engkau
ingin merasakan dalamnya aqidah tertanam di dalam hati dan jiwamu, maka hayati
dan resapilah kandungan Al-Qur’an.”
Khalifah
Umar Bin Abdul Aziz berkata:
إِنَّ لِلإِيمَانِ فَرَائِضَ وَشَرَائِعَ وَحُدُودًا وَسُنَنًا ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ
إِنَّ لِلإِيمَانِ فَرَائِضَ وَشَرَائِعَ وَحُدُودًا وَسُنَنًا ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ
“Sesungguhnya
iman memiliki kewajiban-kewajiban, batasan dan aturan serta sunnah-sunnah,
barangsiapa menyempurnakannya maka sempurnalah imannya dan barangsiapa tidak
menyempurnakannya maka tidak sempurna pula imannya.” (HR. Bukhari)
إِنَّمَا
يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّداً
وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya
orang yang benar-benar beriman kepada ayat ayat Kami adalah mereka yang apabila
diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan
memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. Lambung mereka jauh dari
tempat tidurnya (karena sholat tahjjud) dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya
dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang
Kami berikan.” (QS As
Sajdah (32) : 15).
öقَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
öقَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam
sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya.” (QS. Al Mukminun (23) : 1-5).
Banyak orang
menyangka bahwa akhlakul karimah tidak ada sangkut pautnya dengan tauhid atau
aqidah, sehingga seseorang yang sudah belajar tauhid tidak sedikit pun merasa
risih untuk mengeluarkan sumpah serapah atau kata-kata kotor kepada saudaranya
sesama muslim. Ia demikian fasih memaki-maki saudaranya hanya karena perbedaan
pemahaman aliran keagamaan, sebagaimana fasihnya dalam membaca Al-Quran.
Padahal tauhid adalah inti iman dan dalam banyak hadits Rasulullah Shollallohu
‘alihi wa sallama selalu mengaitkannya dengan adab dan akhlak. Bahkan Allah
Azza wa jalla pun menjadikan amal shalih sebagai bukti keimanan seseorang.
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al Ashr (103) : 1 – 3)
Ucapan kita,
pandangan kita, pendengaran kita bahkan desiran hati kita adalah bukti/refleksi
dari iman dan tauhid kita.
Beliau Shollallohu ‘alihi wa sallama bersabda :
Beliau Shollallohu ‘alihi wa sallama bersabda :
الإِيمَانُ
بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ
شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu
ada 70 atau 60 cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha IllaLlah sedangkan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri dari jalanan. Dan rasa malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Muslim).
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau
diam saja.” (Muttafaq
Alaih).
Siapakah
orang yang bangkrut itu ?
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا
وَأَكَلَ مَالَ
هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ
وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا
عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّار
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya : “Tahukah kalian siapakah orang
yang bangkrut ( pailit ) itu ?” Mereka (para sahabat ) menjawab : “Orang yang
pailit di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta”. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan : “Orang yang pailit dari
ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa
dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya) dia telah mencela si
ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu
dan telah memukul orang lain (dengan tidak hak ), maka si ini diberikan
kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan
sedemikian juga, sehingga ketika kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi
segala dosanya (kepada orang lain), maka kesalahan orang yang dizhalimi di
dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka.” (HR. Muslim).
Kejayaan Muslim ?
Pertama adalah unsur keimanan yang sempurna. Keimanan inilah yang membersihkan mereka
dari keinginan apa pun selain dakwah. Mereka telah mendengarkan seruan, “Maka segeralah kembali kepada Allah.” (QS.
Adz-Dzuriyat: 50)
Kedua, unsur cinta, kesatuan hati, dan keterpautan jiwa. Faktor apalagi yang bisa menjadikan mereka
berselisih? Apakah mereka akan berselisih gara-gara kenikmatan dunia yang fana
ataukah karena perbedaan gaji, tugas, dan status, sedangkan mereka mengetahui
bahwa, “Sesungguhnya yang paling mulia
di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” (QS.
Al-Hujurat: 13)
Ketiga, adalah unsur pengorbanan. Mereka telah paham semua ini, sehingga rela
memberikan apa saja untuk Allah, sampai-sampai ada di antara mereka yang merasa
keberatan mengambil ghanimah yang telah dihalalkan oleh Allah untuk
mereka. “Maka makanlah dari sebagian
rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi
baik.” (QS. Al-Anfal: 69). Terhadap hal ini pun mereka merasa
keberatan dan menghindari. Mereka meninggalkannya karena mengharapkan pahala
dari Allah subhanahu wa ta’ala agar
amal mereka tidak dikotori oleh ambisi pribadi.
Sumber:1.http://www.eramuslim.com
2.http://www.hidayatullah.com
Jakarta 11/8/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar